My Perfect Stranger

137 24 0
                                    

Tokyo di malam pertama musim gugur laksana kanvas hidup yang ditimpakan chat warna-warni saling bertabrakan. Langit temaram, bertabur bintang-bintang kecil, memancarkan cahaya lembut layaknya butiran permata yang terpencar di atas lautan kota.

Dari jendela-jendela gedung bertingkat, cahaya neon berwarna cerah memancarkan kilauan merah, biru, dan hijau, menciptakan ilusi bak pelangi yang melayang di tengah malam.

Angin beku berembus lembut, membawa aroma bumbu kayu manis dan kopi dari kafe-kafe kecil yang tersebar, mengalirkan rasa dingin hingga ke punggung.

Di sudut kafe Yessica duduk di dekat jendela, menyelipkan dirinya dalam kehangatan cahaya lampu meja. Jemari lentiknya menari pelan di atas kamera yang ia genggam, menyesuaikan setting lensa dengan cekatan, menunjukkan kemahirannya dalam menangkap momen.

Matanya fokus, pandangannya terarah pada detail kecil yang mungkin terlewatkan oleh orang lain. Sembari sesekali menyibak rambut yang jatuh menutupi wajah, ia mengangkat kameranya dan suara klik yang lembut mengisi keheningan, seakan menyatu dengan irama malam.

Tak lama lonceng kecil di atas pintu berdenting. Angin dingin menyusup masuk, membawa serta aroma aspal basah dan bunga sakura yang samar, bercampur dengan aroma kopi yang menguar dari dapur.

Seorang pria melangkah masuk, mengenakan jaket kulit hitam yang terlihat lelah dan lusuh. Setiap langkahnya berat, seolah membawa beban yang tak kasat mata. Tatapan matanya yang tajam menyapu ruangan, dan sesaat berhenti pada sosok Yessica. Ada percikan ketertarikan yang samar, namun terselubung dalam kelelahan.

Dengan langkah tenang, ia mendekati meja Yessica. Suara derit lantai kayu terdengar pelan seiring dia mendekat. “Permisi, meja ini udah direservasi?”

Suaranya rendah, sedikit serak, menggambarkan keletihan yang terbawa dalam setiap kata. Yessica mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan pria itu. Ada kilau keingintahuan di balik ekspresi tenangnya.

Senyum tipis menghiasi bibirnya, tidak terlalu mencolok namun cukup untuk memberikan rasa nyaman. “Nggak, aku cuma lagi nyari angle yabg pas,” jawabnya dengan suara lembut namun tegas..

Zafran mengangguk ringan, membuka kursi dengan gerakan yang hati-hati. “Kalau begitu, boleh saya gabung?” tangannya besarnya mulai membuka jaket dan menaruh tasnya di samping kursi.

Yessica hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. “Silakan!

“Makasih, ohiya kenakin, saya Zafran!” Pemuda itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Sentuhan tangannya terasa hangat di tengah dinginnya malam.

“Yessica. Tapi, panggil aja Ica,” balas Yessica seraya menyambut uluran tangan itu. Sentuhan mereka cepat namun penuh makna, seperti dua orang yang baru saja saling mengenali satu sama lain dalam sekejap.

Setelah itu, keduanya tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Zafran membuka laptopnya, menatap layar kosong yang memantulkan kilau lampu dari atas meja. Jari-jarinya melayang di atas keyboard, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya mulai mengetik.

Di sisi lain, Yessica kembali fokus pada kameranya, memotret bayangan lampu yang jatuh di atas meja, bermain dengan kontras cahaya dan bayangan. “Lagi nyari inspirasi, ya?” tanyanya, coba memecah keheningan di antara mereka.

Zafran tersenyum tipis, ada jejak kelelahan di matanya yang sayu. “Kadang, tempat baru bisa memunculkan banyak ide brilian,” jawabnya pelan. Suaranya terdengar seperti gumaman kepada dirinya sendiri.

Yessica memandang lelaki itu sejenak, mencoba menangkap cerita yang tersembunyi di balik tatapan lawan bicaranya tersebut. “Aku juga percaya, inspirasi hebat bisa datang dari hal-hal kecil yang kita temui,” ucapnya sambil mengangkat kameranya sekali lagi, mengabadikan bayangan lembut di dinding bata merah di seberang mereka.

One Shot (Chikara) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang