Musim Gugur di Kota Kecil

0 0 0
                                    

Angin musim gugur yang dingin berhembus lembut, menerbangkan dedaunan kering di sepanjang jalan setapak. Aku berjalan sendirian menyusuri jalanan kecil menuju rumahku, setelah menghabiskan sore yang menyenangkan dengan teman-teman kuliah di kafe dekat kampus.

Kota kecil ini masih sepi, hanya ada beberapa orang yang lalu-lalang di trotoar. Aku merapatkan jaket tebalku, berusaha menahan dinginnya angin musim gugur yang menembus kulitku. Langkahku terhenti sesaat saat mataku menangkap sosok seorang lelaki yang berdiri di depan toko bunga di perempatan jalan.

Jantungku berdegup kencang saat melihatnya. Dia adalah Ikeda Takumi, salah satu mahasiswa di jurusan yang sama denganku. Aku sudah lama memperhatikannya dari jauh, terpesona oleh ketampanan dan kesopanan yang terpancar darinya. Dia selalu tampil rapi dan bersih, dengan senyum ramah yang sering ia perlihatkan pada orang-orang di sekitarnya.

Tanpa sadar, kakiku melangkah mendekatinya. Jarak kami hanya beberapa meter saat tiba-tiba dia menoleh ke arahku. Kami saling bertatapan selama beberapa detik yang terasa begitu lama. Wajahku memanas, aku merasa gugup dan salah tingkah.

"Hai, kau... Miyamoto Hana, kan?" sapanya dengan senyum lembut.

Aku tersentak, tidak menyangka bahwa dia mengenaliku. "I-iya, itu aku. Halo, Ikeda-san," balasku canggung.

"Kebetulan sekali bertemu di sini. Kau juga sedang pulang dari kampus?" tanyanya.

"Ya, begitulah. Aku baru saja dari kafe dekat kampus bersama teman-teman," jawabku pelan.

Dia mengangguk-angguk mengerti. "Ah, iya. Aku juga baru saja dari sana. Aku sedang menunggu seseorang."

"Begitu... Kalau begitu, aku pamit duluan. Sampai jumpa, Ikeda-san," ucapku cepat-cepat, tidak ingin mengganggu waktu bertemunya dengan orang yang sedang ia tunggu.

"Eh, tunggu dulu!" cegahnya. "Kau mau pulang? Kebetulan aku juga baru mau pulang. Bagaimana kalau kita pulang bersama?"

Mataku melebar, tidak menyangka dia akan mengajakku pulang bersama. Jantungku kembali berdegup kencang. "A-ah, iya. Tentu, kalau kau tidak keberatan," ucapku gugup.

Dia tersenyum lebar. "Tentu saja tidak. Ayo, kita bisa jalan kaki bersama."

Kami pun melangkah berdampingan menyusuri jalanan yang mulai sepi. Sepanjang perjalanan, kami saling berbincang ringan. Dia bertanya tentang kegiatan kuliahku, dan aku pun dengan senang hati menjawabnya. Sesekali kami tertawa menanggapi cerita masing-masing.

Entah mengapa, aku merasa nyaman berada di dekatnya. Ada perasaan hangat yang menjalar di dalam diriku, membuatku tidak ingin perjalanan ini cepat berakhir. Aku berharap bisa terus berjalan berdampingan dengannya seperti ini.

Tak terasa, kami sudah sampai di depan rumahku. "Nah, ini rumahku," ucapku dengan nada sedikit kecewa.

"Ah, benarkah? Kebetulan sekali, ternyata rumah kita searah," ujarnya senang.

"Benarkah? Wah, kebetulan yang menyenangkan," sahutku, tidak bisa menyembunyikan antusiasku.

Dia mengangguk. "Kalau begitu, besok kita bisa berangkat bersama ke kampus, bagaimana?"

Mataku berbinar-binar mendengar ajakan itu. "Tentu saja! Aku akan menunggu di depan rumah jam sembilan pagi," jawabku cepat.

Dia tersenyum lebar. "Baiklah, sampai besok, Hana-chan."

"Sampai besok, Ikeda-san," balasku dengan senyum.

Aku memperhatikan punggungnya yang semakin menjauh, hingga akhirnya hilang di tikungan jalan. Dengan hati yang berbunga-bunga, aku segera masuk ke dalam rumah. Selama perjalanan, aku tidak bisa berhenti tersenyum. Ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

Virgo dan Hati Yang TerlukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang