02

37 21 16
                                    

"bisakah kita kembali di hari itu lalu mengambil kepingan kenangan yang terukir di masing masing hati kita, agar kita tak terjerat oleh rindu seperti sekarang"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"bisakah kita kembali di hari itu lalu mengambil kepingan kenangan yang terukir di masing masing hati kita, agar kita tak terjerat oleh rindu seperti sekarang"

- Sabrina Vallerina Amabel -

Sudah dua hari sejak pertemuan tak terduga itu. Kini, mereka masing-masing kembali tenggelam dalam kesibukan dunia kerja. Gevano dengan sekian tugas pemerintahan yang membebani, sementara Sabrina sibuk menangani kasus besar yang menjerat perusahaan tempatnya bernaung.

Jam menunjukkan pukul enam sore, langit mulai kehilangan sinar mataharinya, tergantikan oleh bulan. Sabrina duduk di ruang kantornya yang megah, menatap keluar jendela, memperhatikan hiruk-pikuk Kota Jakarta dari ketinggian gedung perusahaan. Tatapannya kosong, pikirannya berputar-putar mencerna apa yang telah terjadi.

"Kenapa aku masih merindukan setiap detik bersamanya? Padahal aku tahu, semua itu tak lebih dari kenangan yang membayangi hidupku kini" batinnya bergemuruh riuh dalam alunan rindu. Pikirannya terusik ketika seseorang mengetuk pintu, lalu masuk, membuat Sabrina sontak menoleh.

Miya, sekretaris setianya, berdiri di sana. "Maaf mengganggu waktunya, Bu Sabrina. Saya menemukan ini di antara dokumen yang Ibu berikan tadi siang," kata Miya sambil menyerahkan foto polaroid yang ia temukan di selipan map milik Sabrina.

Sabrina terkejut bukan main. Foto itu seharusnya sudah lama ia simpan dalam dompet, tapi rupanya terjatuh dan terselip saat ia mengganti dompet beberapa waktu lalu. "Oh, iya. Terima kasih, Miya," jawabnya sambil mengambil foto polaroid itu.

"Sabrina..." Miya mendekat, menghela napas panjang. "Kamu masih menyimpan foto ini? Foto kamu dengan laki-laki itu?" Miya bertanya dengan nada suara seorang sahabat, bukan bawahan.

Sabrina hanya menatap foto itu tanpa menjawab. Polaroid yang kini ada di tangannya adalah saksi bisu dari masa lalu yang tak pernah benar-benar ia tinggalkan. "Aku... aku masih mencintainya," jawab Sabrina, suaranya lemah namun penuh dengan kepastian.

Miya mengulurkan tangan, mengusap pundak Sabrina dengan lembut. "Aku tidak bisa menghakimi keputusanmu, Sabrina. Tentang cinta, itu urusan hatimu. Tapi tentang nyawamu dan masa depanmu, sebagai sahabat, aku berhak untuk ikut campur,bukankah kau juga memiiki lelaki yang terus bersamamu saat Gevano tak bersamamu, harusny kau lupakan Gevano dan terus lanjutkan dengan kekasihmu" kata Miya tegas, lalu melangkah keluar dari ruangan, membiarkan Sabrina tenggelam dalam pikirannya lagi.

Sabrina menangkup wajahnya, frustasi. Bohong jika ia mengatakan bahwa ia sudah melupakan Gevano dan memberikan hatinya pada orang baru nya, atau bahwa ia tidak ingin kembali bersama laki-laki itu. Namun, ia tahu betul, kembali bersama Gevano bukanlah ide yang bagus. Terlalu banyak bahaya yang mengintai mereka, meskipun cinta di antara mereka masih sama kuatnya seperti dulu.

Langit di luar semakin gelap, bulan kini telah sepenuhnya menggantikan matahari. Sabrina tenggelam kembali dalam ingatan, manis dan pahitnya kisah cinta mereka.

---

flashback on

Sabrina muda berlari kecil menuju gudang alat olahraga, hanya ingin mengambil alat peraga lalu pergi. Namun, di sana ia bertemu dengan Gevano, seorang siswa berparas tinggi yang terkenal cerdas dan sering mewakili sekolah dalam olimpiade. Nama "Gevano Alistair Vailan" tertulis di name tag yang dikenakan laki-laki itu. Nama yang tidak asing bagi Sabrina.

Gevano melangkah mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. "Jangan takut, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu," ujarnya dengan senyum kecil, sambil mengambil bola basket di rak belakang Sabrina.

Waktu seolah berhenti ketika mereka saling menatap. Itulah momen pertama kali Sabrina benar-benar mengenal Gevano, laki-laki yang kelak menjadi cinta sejatinya.

---

"Malam ini malam terakhir aku di Indonesia," kata Gevano, menatap dalam gadis yang ada di pelukannya. Tangis Sabrina pecah, pelukan mereka semakin erat. "Jangan sedih ya kalau aku nggak bisa kembali lagi ke pelukanmu," lanjut Gevano, suaranya serak menahan emosinya sendiri. "Ini demi keselamatan kita berdua."

Gevano diutus ke luar negeri bukan karena ambisinya sendiri, melainkan atas paksaan keluarganya yang menentang habis-habisan hubungannya dengan Sabrina. Ancaman demi ancaman dilontarkan, bahkan keselamatan Sabrina dipertaruhkan jika Gevano tetap keras kepala mempertahankan cinta mereka.

Gevano menceritakan semuanya pada Sabrina, agar gadis itu tahu bahwa kepergiannya bukan karena ia ingin menjauh, melainkan untuk melindungi Sabrina dari ancaman yang terus mengintai.

flashback off

---

Bunyi ponsel yang berdering membuyarkan lamunan Sabrina. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Dengan rasa penasaran dan sedikit cemas, Sabrina mengangkat telepon itu.

Tangannya gemetar saat menekan tombol jawab. Suara Gevano yang begitu akrab menggema dalam pikirannya, membuat setiap kenangan yang berusaha ia kubur kembali menyeruak ke permukaan

"Kita harus bertemu lagi," suara yang sangat familiar terdengar dari seberang.

"Untuk apa?" tanya Sabrina singkat, tanpa perlu menebak siapa yang meneleponnya.

"Untuk semua yang perlu dijelaskan."

"Saya sudah cukup paham atas semuanya. Sepertinya kita tidak perlu lagi bertemu," jawab Sabrina tegas, mencoba menutupi kegundahannya.

"Sabrina... Aku ingin kita bersama lagi..."

Sabrina terdiam, tertegun dengan apa yang baru saja ia dengar. Kata-kata itu menggema dalam benaknya, mengembalikan semua kenangan yang selama ini ia coba kubur dalam-dalam.

sabrina dengan cepat menutup telefon nya, mengambil tasnya dan berjalan keluar darinkantor mencari angis segar untuk menenagan pikirannya.

Jalanan kota Jakarta yang biasanya bising, kini terasa sepi baginya. Keramaian tak lagi membawa kegembiraan, hanya menghadirkan rasa kesendirian yang tak pernah ia sadari seberapa besar hingga detik ini

Sabrina menatap permukaan air di kolam kecil di depannya, melihat bayangan bulan yang samar-samar terpantul di atasnya. Di sini, dalam kesunyian yang hanya ditemani oleh suara gemericik air, ia merasa benar-benar sendiri. 'Apakah cinta selalu menyakitkan seperti ini?' pikirnya. Namun, di balik semua rasa sakit, ada kehangatan yang tak bisa ia buang. Nama itu, wajah itu, terus menghantui setiap sudut pikirannya. hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar-samar. Pikirannya kembali terpusat pada Gevano, pria yang dulu ia cintai dengan segenap hatinya. Kenangan mereka berputar dalam benaknya seperti film lama yang berulang-ulang diputar.

"Aku masih mencintainya," bisik Sabrina kepada dirinya sendiri, merasakan air mata yang menggenang di sudut matanya. "Tapi apakah cinta ini layak diperjuangkan? Atau hanya akan membawa lebih banyak luka?"

guys jangan lupa voment ya dan tinggalkan jejak, maafkan typo, tunggu up selanjutnnya ya..

Takdir yang retakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang