01

37 12 8
                                    

Terik matahari tidak membuat semangat Aksara hilang untuk bertemu sang kakak.
Terhitung sejak sebulan mereka tidak pernah bertemu dan hari ini adalah hari yang ia nantikan. Ia merindukan kakak satu-satunya itu.

Aksara berteduh dari panasnya matahari, di halte depan sekolah. Ia masih menggunakan seragam putih abu-abu serta ransel yang terlihat berat. Senyumnya terukir kala melihat mobil kakaknya melaju mendekat.

"Cepat masuk!" Ujar sang kakak sembari membuka kaca mobilnya. Aksara mengangguk, ia berlari kecil dan duduk di samping kemudi.

Selang beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di sebuah restoran yang sering mereka kunjungi.
Restoran sederhana yang terletak di pusat kota ini memiliki banyak kenangan bagi pasangan kakak adik itu.

"Hari ini gue mau es krim sama gurame bakar aja kak," ucap Aksara setelah selesai melihat buku menu.

"Harus sama sayur!" Juna menatap adiknya yang tampak memanyunkan bibirnya, Juna terkekeh gemas melihatnya.

"Lo aja yang pesan. Nanti gue minta sayurnya dikit."

Juna menghela nafas pelan, kemudian mulai memesan makanan.
Tak lama, makanan datang, mereka makan dalam diam.
Setelah selesai, Juna memulai pembicaraan.

"Gimana sekolah lo?"

"Nggak gimana-gimana. Aman kok."

Juna mengangguk mengerti. Jauh dari sang adik membuatnya khawatir, adiknya akan mengikuti jejaknya dan berakhir dibenci oleh sang ibu.

"Nggak usah macem-macem di sekolah. Sekolah yang benar, kasihan ibu susah payah biayain lo sekolah kalau lo nya bandel."

Aksara hanya meresponnya dengan anggukan kala sang kakak memberi wejangan rutin tiap bulannya.

"Lo gimana kerjanya? Lancar?"

"Nggak begitu. Tapi cukuplah buat cicil apartemen sama makan."
Juna, pria berusia dua puluh tiga tahun itu memiliki studio foto yang ia dirikan sejak kuliah semester lima.
Hobinya yang suka memotret itu membawanya sampai sejauh ini.

"Kapan-kapan gue boleh main ke studio lo?"

"Bolehlah, tapi jangan buat kacau."

Aksara bersorak senang, lalu ia kembali menikmati es krim sebagai dessert.

"Lo nggak pernah balas pesan dari ayah ya? Ayah nanyain lo mulu."

Seolah tidak mendengar pertanyaan sang kakak, Aksara hanya menikmati es krim yang di pesannya.
Juna menghela nafas pelan.
"Sejauh apa ayah sakitin lo, dek?"

Sejauh apa? Aksara tidak pernah mengukur seberapa terlukanya dirinya atas perbuatan ayahnya.
Ayah memang tidak pernah melukainya secara fisik. Tapi, ayah seperti membunuhnya perlahan dengan ucapan tajam yang menyakitkan.

Ayah bilang dirinya yang membuat ayah dan ibu berpisah. Ayah tidak ingin bertemu lagi dengan dirinya, karena Aksara hanyalah hama bagi hidup ayah.

Masih banyak sebenarnya, aksara pun masih merekamnya dengan jelas di kepala kecilnya.
Kakak tidak pernah tau karena sejak kakak kuliah, kakak tidak pernah lagi menginjakkan kaki dirumah.

"Lo datang ke nikahan ibu kak?" Seperti biasa, Aksara selalu mengalihkan pembicaraan saat kakak menyinggung presensi ayah.

"Gue nggak punya alasan buat datang Sa. Ibu nggak pernah ngabarin gue soal apapun."

Aksara mengangguk mengerti. Ia paham betul perselisihan ibu dan kakaknya ini.
Keluarganya telah berantakan sejak ia kecil.

"Gimana ayah tiri lo? Dia memperlakukan lo dengan baik,kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Teman pulihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang