Emily duduk di kursi belakang taksi, pandangannya kosong mengarah ke luar jendela. Air matanya jatuh satu per satu, menetes tanpa henti, membasahi pipinya. Setiap tetesan itu adalah cerminan dari rasa sakit yang menusuk hatinya. Penglihatan tentang Jake bersama Miss Julia terus terbayang di benaknya, menggoreskan luka yang semakin dalam.
Dalam hati, Emily tahu bahwa Jake bukan miliknya. Jake tidak pernah menjanjikan apapun padanya, tidak ada ikatan, tidak ada komitmen. Tapi kenyataan itu tidak membuat rasa sakitnya berkurang. Sejak pertemuan pertama mereka, Emily merasakan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Perhatian Jake, meski singkat dan samar, telah membuatnya berharap, meski sedikit, bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan satu malam.
Namun, sekarang ia sadar bahwa harapan itu hanyalah ilusi. Miss Julia, dengan segala kekuasaan dan pengaruhnya di dunia gelap Underbrook, adalah seseorang yang tidak bisa ia tandingi. Emily hanyalah seorang wanita biasa di antara bayang-bayang dunia yang kelam ini, sementara Miss Julia berdiri di puncak, mengendalikan segalanya.
Emily meremas rok yang ia kenakan, mencoba meredam gejolak emosi yang membanjiri dirinya. "Aku tidak akan pernah bisa setara dengannya," gumamnya dalam hati, suara batinnya penuh dengan kesedihan. Baginya, dunia Jake terlalu jauh, terlalu berbeda, dan terlalu berbahaya.
Saat taksi melaju di jalanan kota yang penuh dengan kegelapan, Emily merasa semakin terisolasi, seolah-olah ia terperangkap dalam dunia yang tak memberinya jalan keluar. Dan meskipun ia mencoba menahan, air mata itu terus mengalir, menjadi satu-satunya cara untuk mengekspresikan perasaan yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Emily akhirnya tiba di klub tempat ia tinggal dan bekerja selama enam tahun ini, tempat yang selalu mengingatkannya bahwa ia adalah bagian dari dunia yang kotor dan penuh dosa. Baginya, kebahagiaan hanyalah sebuah mimpi yang tak pernah bisa digenggam, sesuatu yang selalu jauh dari jangkauannya.
Dengan langkah berat, ia naik ke kamarnya yang sempit dan sumpek. Ruangan itu adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa sedikit bernafas, meskipun hanya untuk beberapa saat. Emily menatap cermin yang terletak di sudut ruangan, melihat pantulan dirinya yang lelah dan hancur. Perlahan, ia mulai melepaskan pakaiannya, menggantinya dengan sesuatu yang lebih menarik, lebih sesuai untuk dunia tempat ia mencari nafkah.
Dengan tangan gemetar, Emily merias wajahnya. Setiap goresan lipstik, setiap sentuhan bedak, adalah topeng yang ia kenakan untuk menyembunyikan rasa sakit dan kehampaan di dalam dirinya. Ketika ia selesai, bayangan di cermin itu bukanlah Emily yang sebenarnya-itu hanyalah wajah seorang wanita yang dipaksa untuk bertahan hidup di tempat yang tak memberinya pilihan lain.
Ia turun ke lantai bawah, bergabung kembali dengan dunia gelap klub itu. Senyumnya terpampang di wajah, meskipun hatinya menangis. Setiap senyuman yang ia berikan, setiap sentuhan yang ia terima, terasa seperti duri yang menusuk lebih dalam. Tangan-tangan kasar mulai menjamah tubuhnya dengan kurang ajar, seakan-akan dirinya hanya sebuah objek tanpa perasaan, tanpa harga diri.
Namun, Emily tidak memberontak. Ia tahu peran yang harus ia mainkan di sini-peran seorang wanita yang sudah terbiasa dengan kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Dan meskipun hatinya teriris dengan setiap sentuhan yang merendahkan, ia tetap bertahan. Di tempat ini, kebahagiaan hanyalah ilusi, dan satu-satunya yang nyata adalah kesedihan dan kepahitan yang harus ia telan setiap hari.
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Emily mencoba menenggelamkan perasaannya dalam hiruk-pikuk klub, tetapi bayangan Jake dan Miss Julia terus menghantui pikirannya. Setiap tawa dan senyuman palsu yang ia lontarkan hanya membuat luka di hatinya semakin dalam.
Saat malam semakin larut, Emily merasa tubuhnya semakin lelah, namun hatinya masih belum bisa tenang. Semua yang terjadi malam itu terasa seperti beban berat yang menekan dirinya, membuatnya sulit bernafas. Ia berjalan menuju bar, mencoba mencari ketenangan dalam segelas minuman. Namun, bahkan minuman keras sekalipun tidak bisa menghapus rasa sakit yang ia rasakan.
Di pojok ruangan, ia melihat beberapa pria memperhatikannya dengan tatapan lapar. Emily tahu apa yang akan terjadi selanjutnya; ia sudah terbiasa dengan tatapan seperti itu. Tanpa banyak bicara, ia melangkah mendekati mereka, menjalani perannya dengan pasrah. Ia tidak bisa melawan-ini adalah hidup yang ia pilih, atau lebih tepatnya, hidup yang dipaksakan kepadanya.
Ketika malam berakhir, Emily kembali ke kamarnya. Ia merasakan kekosongan yang begitu dalam, seakan-akan jiwanya telah terhisap habis oleh kegelapan di sekitar dirinya. Ia berbaring di tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya yang gemetar. Namun, meskipun matanya terpejam, pikirannya terus berputar, menolak untuk membiarkannya tidur.
Pikiran tentang Jake, tentang malam yang mereka lewati bersama, dan tentang apa yang ia saksikan tadi di ruang istirahat membuat Emily merasa terjebak dalam lingkaran penderitaan yang tak berujung. Ia tahu bahwa esok hari tidak akan lebih baik-ia hanya akan terus mengulangi rutinitas yang sama, berpura-pura bahagia di dunia yang tidak memberinya kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang sejati.
Dan di tengah keheningan malam, satu pikiran terus berputar di kepalanya: bahwa di bawah kilauan dan kebisingan kota ini, ia hanyalah seorang wanita yang tersesat dalam kegelapan, seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah menemukan jalan keluar.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of the Underground 21+
Novela Juvenil21+ | Love | Sad | Underground | Mafia | Affair Kisah seorang petarung tangguh dan wanita malam yang terjebak dalam lingkaran kejam kehidupan bawah tanah menemukan diri mereka terjerat dalam hubungan yang tak terduga.