Duniaku berhenti saat aku gagal kuliah. Otakku mandeg dan tidak tahu harus melakukan apa. Alhasil, menjadi pengangguran selama hampir setahun. Huft, itu mimpi buruk yang tidak kubayangkan akan terjadi begitu aku lulus SMK. Batal kuliah tapi enggan bekerja, lalu aku harus apa?
Beberapa hari belakangan, aku tertarik untuk mulai mencari kerja. Aku berpikir bahwa mungkin sudah saatnya aku menyudahi hidup sebagai pengangguran. Lagipula mau sampai kapan? Aku hanya akan terus membuat hidup Ibuk semakin berat.
Masalahnya seminggu kemudian, disela waktuku mencari pekerjaan, menyeruak sebuah berita yang membuatku 'jatuh'. Covid. Astaga, sekarang seluruh pekerjaan seolah mati. Banyak karyawan dirumahkan, yang masih bekerja harus bekerja dari rumah, social distancing, lalu apalagi? Lantas bagaimana aku mendapatkan pekerjaan dengan kondisi seperti ini?
Disaat sudah hampir putus asa, Ibuk akhirnya punya ide untuk jualan makanan dirumah. Baiklah, aku bisa membantu. Hari-hari pun kulalui dengan pergi ke pasar, bekerja di dapur meracik bumbu, memotong sayuran, dan ikut melayani pembeli juga.
Jualan itu berjalan. Sekarang kekhawatiran Ibuk berubah dari bagaimana aku mendapatkan pekerjaan, menjadi bagaimana aku mendapatkan jodohku. Astaga! Yang aku pikirkan justru bagaimana aku menjalani hidup kedepannya. Membantu Ibuk jualan bukan berarti aku sudah mapan dan bisa memikirkan jodoh bukan?
Tapi menurut Ibuk, usiaku sudah pas untuk menikah. Pas bagaimana? Usiaku saat itu baru saja masuk sembilan belas. Aku masih tidak mengerti dengan kekhawatiran Ibuk. Jodoh bisa datang darimana saja bukan?
Tapi kata Ibuk: "kamu dirumah terus gini gimana mau ketemu orang, gimana mau dapat jodoh? Ibuk khawatir, Na."
Nah, aku baru menyadari hal itu. Ibuk benar juga. Bagaimana caranya aku bertemu jodoh kalau aku dirumah saja? Tapi menurutku aku masih terlalu muda untuk mencari jodoh. Nanti-nanti bisa dipikirkan, bisa saja setelah pandemi ini berakhir aku dapat pekerjaan lalu bertemu jodoh di tempat kerja. Iya 'kan?
Tapi kata ibuk: "kamu dari dulu keluar, sekolah, tetap nggak punya pacar. Cari pacar dong kamu ini, masa umur segini pacaran belum pernah!"
Nah itu benar. Aku memang belum pernah pacaran. Apa pentingnya sih pacaran itu? Bahkan dalam syari'at agama malah tidak diperbolehkan? Ya, walaupun aku tidak paham-paham betul apa yang menjadi syari'at. Maksudku, usiaku masih muda dan belum berpikir untuk menikah. Nah, kalau pacaran tapi tidak untuk segera menikah lalu pacaran itu untuk apa? Hanya buang-buang waktu. Bisa saja kita malah menjaga jodoh orang dengan pacaran di usia muda. Aish, pikiranku mulai kemana-mana.
Ibuk masih mencecarku soal jodoh sampai hari-hari selanjutnya. Tapi hanya kutanggapi sambil lalu. Lalu mau bagaimana lagi? Aku belum punya aktivitas diluar selain pergi ke pasar dan jualan.
Di saat pandemi mulai mereda, aku akhirnya ikut pelatihan yang diadakan Dinas Tenaga Kerja. Awalnya Bulik yang memberikan informasi dari temannya.
Kata Bulik: "kamu mau ikut pelatihan? Ini lagi dibuka nih, pendaftaran pelatihan. Ikut aja, buat mengisi waktu luang."
Baiklah, aku ikut. Benar juga untuk mengisi waktu luang. Toh kegiatanku membantu Ibuk masih bisa dilakukan sambil pelatihan. Aku mendaftar dengan hati yang sebenarnya tidak yakin akan diterima. Karena ternyata ada interview untuk menyeleksi calon peserta. Untuk bidang pelatihan aku memilih spa.
Aku lolos seleksi administrasi, dan dipanggil untuk tes tertulis dan wawancara. Tes tertulis berjalan lancar, sebagian besar pertanyaan bisa kujawab tanpa hambatan. Hanya seputar apa motivasi dan pandangan kedepan setelah pelatihan.
Nah saat wawancara, bapak yang mewawancarai ku menanyakan mengenai keadaan keluargaku. Aku memang menjawab dengan lancar, tapi disetai tetesan air mata.
"Ayah dan Ibu kerja?" Pertanyaan awal yang diajukan.
"Saya tidak tinggal bersama Ayah, Pak. Hanya Ibu, dan Ibu bekerja." Jawabku masih tanpa air mata.
Pak Irawan-bapak yang mewawancarai ku- kembali bertanya, "kalau boleh tahu, Ayah dan Ibu sudah cerai?"
Di pertanyaan itu mataku mulai panas. "Tidak cerai, tapi memang sudah tidak tinggal bersama saja, Pak. Jadi Ibu saya itu istri kedua. Ayah tinggal bersama istri pertamanya, dari dulu memang seperti itu. Tapi sudah sejak saya SMK, Ayah mulai jarang datang ke rumah kami, dan sekarang malah sudah sama sekali tidak datang. Begitu, Pak." Air mataku menetes di nafas terakhir aku bicara. "Maaf Pak, saya agak sensitif kalau menyangkut masalah ini," ujarku sambil menyeka air mata."
Pak Irawan mengangguk sambil tersenyum, dan minta maaf. "Saya yang harusnya minta maaf harus menanyakan hal privasi seperti itu."
Selanjutnya pertanyaan yang diajukan hanya seputar pelatihan dan hal-hal mendasar lainnya. Aku bisa menjawab sambil menahan air mata, tapi semua aman sampai pertanyaan terakhir. Di perjalanan pulang, aku berdoa semoga kalau tangisku mempengaruhi hasil wawancara, itu menjadi hal yang baik.
Dan memang menjadi berita baik. Dua hari kemudian diumumkan siapa saja yang lolos wawancara, dan aku adalah salah satunya. Alhamdulillah, mungkin air mata itu menjadi jalanku untuk pelatihan ini.
Dua hari menjalani pelatihan, aku mendapatkan kabar bahwa aku dipanggil wawancara kerja di salah satu percetakan terbesar di kota ku. Ini menjadi dilema, apakah aku akan melanjutkan pelatihan yang masih tersisa dua belas hari lagi atau mengikuti wawancara itu. Aku akhirnya berdiskusi dengan Ibuk, kira-kira dengan berbagai macam pertimbangan, keputusan mana yang menjadi terbaik.
Ibuk sebenarnya bersikap netral, menyerahkan seluruh keputusan padaku. Aku sendiri masih bimbang, apa yang harus kuambil sebagai keputusan? Akhirnya dengan segala pertimbangan, aku memutuskan untuk mengikuti pelatihan, karena bagaimanapun pelatihan ini sudah kujalani selama dua hari, aku harus menyelesaikannya. Biarlah wawancara itu hangus, semoga ada rejeki lain yang menungguku setelah ini.
Aku senang mengikuti pelatihan. Bertemu teman baru dan belajar ilmu baru, karena pada dasarnya aku senang sekolah. Di pelatihan aku dekat dengan salah satu peserta, namanya Mbak Ulya. Usia Mbak Ulya diatasku lima tahun. Kamu dekat karena merasa senasib, dibesarkan oleh ibu tanpa figure ayah. Kami beberapa kali nongkrong bersama dan saling curhat tentang berbagai masalah.
Di hari ujian kompetensi setelah pelatihan, aku mendapatkan kejutan. Jadi penguji ujian itu, namanya Bu Mentari, menawariku pekerjaan di spa miliknya. Astaga, aku tidak menyangka akan mendapatkan balasan pekerjaan secepat itu. Aku menangis di hadapan Bu Mentari dan berterimakasih sambil berkata bahwa aku mau bekerja di spa miliknya.
Setelah lulus dari pelatihan aku sempat melamar beberapa pekerjaan bersama Mbak Ulya, karena Bu Mentari belum juga mengabariku terkait pekerjaan yang ditawarkannya. Untungnya aku tidak diterima bekerja dimana-mana, karena sebulan kemudian Bu Mentari menghubungiku, dan berkata ingin interview secepatnya.
Interview yang dijanjikan Bu Mentari membawaku ke Jogja, tempat spa miliknya berada. Aku berangkat bersama Ibuk dan Sasa, adikku. Aku ternyata di interview oleh manager operasional di spa milik Bu Mentari, namanya Mbak Rani.
Setelah interview dan bincang-bincang mengenai kelanjutan kontrak kerja, Mbak Rani menawarkan mess untukku. Bisa kugunakan sementara sebelum aku mendapatkan kos di Jogja. Kemudahan kembali menyertaiku, aku langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.
Begitulah runtutan kisah bagaimana akhirnya aku terdampar di Jogja, kota yang menjadi rumah tinggal ku selama tiga tahun kedepan. Bekerja di spa Bu Mentari membuatku belajar banyak hal, bertemu macam-macam teman, macam-macam customer, dan memberiku banyak pengalaman. Lalu bagaimana aku keluar dari sana akan kuceritakan nanti. Juga masalah yang melatarbelakangi resign ku.
Selamanya aku akan ingat bagaimana kehidupanku di Majayara Spa, spa milik Bu Mentari. Sakitku yang ikut tumbuh disana, luka dan bahagia yang menjadi tawa dan canda. Juga dunia yang kuciptakan disana, lalu kubawa pulang ke rumah, dan menjadi kenangan yang abadi.
***
Hello, this is Marina. Welcome to ME, real story yang menjadi fiksi. Aku menulis ME untuk kenangan abadi yang menjadi latar belakang kehidupanku sekarang. Berikan cinta untuk ME dan semoga menjadi pelajaran untuk kita semua.
Xoxo, Marina.
KAMU SEDANG MEMBACA
ME
General FictionME adalah aku. Aku yang tinggal di dalam diriku. Kucintai dia bersama seluruh lukanya. ME adalah aku, dia dan cerita masa lalu, masa kini dan masa depannya adalah milikku. ME adalah aku yang kehilangan mimpinya. Yang terseok-seok mengais sisa dunia...