Terkadang ada beberapa hal yang memang tidak ditakdirkan untuk menjadi milik kita. Ada hal-hal tak tergapai yang menjadi bumbu kehidupan. Bukankah hidup akan terasa mudah jika semua yang kita inginkan bisa dimiliki? Tapi apakah cerita hanya akan berupa kemudahan belaka? Tentu kita butuh sesuatu yang bernama rintangan, untuk apa? Supaya kita paham makna berjuang. Lalu hal-hal yang tidak tercapai, menjadikan kita mengerti arti ikhlas yang sebenarnya.
Begitulah kurang lebih pelajaran yang kudapat dari Dokter Salma, psikiater yang menangani kejiwaanku setahunan ini. Beliau bukan hanya mendengarkan keluh kesah ku, tapi juga memberikan beberapa nasihat di waktu-waktu tertentu. Dan aku sebagai manusia pecinta kata-kata dan puisi menyerap nasihat beliau kemudian menjadikannya pengingat ketika 'fase depress'ku kambuh.
Setengah tahun berjalan sejak pertama kali aku bertemu Dokter Salma, awal mula yang biasa saja dan kukira tidak akan selama ini. Aku hanya mengalami insomnia disertai cemas dan sedih berlebih. Awalnya masih berupa diagnosa ringan menurutku, hanya gangguan kecemasan dan diresepkan obat tidur dosis rendah. Aku mengira semua akan berakhir disana, aku akan segera melewati masa insomnia dan kemudian selesai sudah. Nyatanya aku masih tidak bisa tidur, cemas dan sedih berlebih itu masih mengganggu malam-malam ku. Aku sampai berada di titik 'takut malam', dan bahagia saat siang hari.
Di pertemuan selanjutnya, diagnosa baru keluar. Keadaan bertambah parah, kali ini gangguan kecemasan disertai depresi ringan. Dan begitulah sampai hari ini. Tidak ada yang berubah. Diagnosa ku masih sama walaupun aku sudah mulai terbiasa dengan ritmenya. Obat dan serangan cemas atau fase depress. Kali ini aku tidak hanya mendapat obat tidur tapi ditambah anti depresan dan vitamin penunjang.
Sekarang sudah berjalan beberapa bulan, walaupun berat paling tidak aku sudah tahu apa yang harus dilakukan ketika serangan cemas, atau fase depress, apalagi obat. Awalnya aku merasa duniaku seolah berhenti. Beberapa teman-teman tidak bisa menerima keadaanku, kesulitan mengatur emosi di tempat kerja, obat tidur yang tidak bekerja, insomnia disertai sedih berlebihan sampai keinginan untuk melukai diri sendiri bahkan mengakhiri hidup.Di bulan ketiga aku menyerah. Aku memutuskan mengakhiri kontrak dengan Majayara dengan alasan kesehatan. Aku lelah harus melawan anxiety dan bekerja di saat bersamaan. Aku malu pada teman-teman dengan keadaanku. Saat itu aku pasti merepotkan mereka, dan aku tidak ingin hal itu berjalan lama. Seharusnya mereka mendapatkan tempat yang nyaman saat bekerja tapi keadaanku mungkin saja membuat suasana menjadi tidak nyaman. Entah karena khawatir denganku, atau mengambil pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabku, tentu saja itu membuatku tidak enak. Akhirnya keputusan sudah kubuat, berhenti bekerja, istirahat untuk memulihkan kesehatan jiwaku dan mencoba berdamai dengan keadaan.
Mungkin saat ini aku belum pulih seutuhnya. Oh iya, aku lupa, diagnosa ku juga sudah berubah menjadi gangguan depresi ringan menuju sedang. Artinya aku sudah tidak ada gangguan kecemasan walaupun kadang-kadang masih terjadi. Bukan berarti gangguan depresi itu bisa disepelekan. Tentu saja tidak. 'Fase depress'ku masih sering terjadi. Apalagi dengan keadaanku saat ini yang tidak sedang bekerja. Banyak sekali pikiran negatif seperti: apakah aku akan terus menjadi beban orang tua? Kapan aku akan mendapatkan pekerjaan? Kapan aku bisa membantu perekonomian keluarga? Pertanyaan semacam itu yang sering menghantuiku sekarang ini.
Dokter Salma membantuku menggali apa yang sebenarnya terjadi terjadi padaku. Hal apa saja di masa lalu yang membuatku trauma atau menjadi bayangan kelam. Yang pertama, aku jatuhkan pada 'Bapak'. Aku rasa beliau, keberadaan dan eksistensinya dalam hidupku yang malah menjadi pikiran negatif. Hadirnya antara ada dan tiada. Tapi Dokter Salma membantuku memahami bahwa tidak semua hal dihidupku bisa kamu yang mengatur. Kalau bisa, tentu saja kita akan memilih bapak yang baik, bapak yang selalu ada, siapa yang tidak mau punya bapak yang sempurna?
Yang kedua, kujatuhkan bayangan kelam itu ke 'gagal kuliah'. Kegagalan terbesar ku sampai saat ini. Mengapa aku tidak berjuang lebih keras lagi? Mengapa aku tidak punya keuntungan sama sekali untuk bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi? Mengapa aku tidak berada di keadaan yang memungkinkanku menggapai mimpiku? Sampai sekarang masih ada 'rasa tercubit' ketika melihat teman atau orang lain pergi ke kampus, kuliah, sampai wisuda. Tidak kupungkiri, aku iri. Disini Dokter Salma membantuku memahami bahwa tidak semua hal yang kita rencanakan akan berjalan mulus. Terkadang ada rintangan yang harus dilewati atau bahkan jalan yang disiapkan untuk kita bukan jalan yang kita rencanakan sehingga memaksa kita untuk berbelok ke jalan lain. Yang perlu dilakukan hanya tetap berjalan dan membiasakan diri dengan jalan baru, fokus pada tujuan yang baru.
Aku tidak tahu apakah masih ada trauma lain yang menjadi penyebab 'sakitku'. Saat ini aku hanya bisa mengingat dua hal itu. Sisanya aku masih mencoba menggali, mengingat-ingat kejadian buruk apa yang berpotensi menjadi trigger. Dokter Salma bilang, pelan-pelan saja, tidak perlu buru-buru. Jangan sampai proses menggali ini malah membuat pikiranku semakin kacau.
Walaupun sudah terbiasa, tapi tidak dipungkiri keadaan jiwaku saat ini cukup menganggu. Keberadaannya yang tiba-tiba memporak-porandakan hidupku. Aku terpaksa berhenti bekerja karena itu, dan sampai sekarang aku tidak bekerja untuk alasan yang sama. Kadang aku merasa hidupku berhenti disini, saat aku tahu bahwa jiwaku tidak bekerja dengan benar. Kata Ibuk, pikiran semacam itu justru yang memperparah keadaanku. Tapi aku bisa apa? Ini seperti lingkaran setan, keadaan yang memaksaku berpikir negatif tapi pikiran negatif itu juga yang mempengaruhi keadaan jiwaku. Rumit bukan?
Kalau ditanya apa yang kuinginkan sekarang, tentu saja sembuh. Tapi tidak semudah itu. Yang orang lihat aku hanya santai dirumah tidak bekerja, padahal aku juga stress diam di rumah tanpa melakukan apapun. Dalam diam itu aku banyak berpikir, nanti akan kerja apa dan dimana, apakah aku bisa melawan sakitku, apakah aku bisa berdamai dengan masa laluku, apakah aku bisa meraih masa depanku, terlalu banyak 'apakah' di kepalaku.
Begitulah perjalanan kesehatan jiwaku, dimulai dari hanya insomnia sampai depresi dan sempat melukai diri sendiri. Aku bersyukur atas apapun yang terjadi, mungkin belum se-ikhlas itu, tapi aku berusaha menerima dan bertahan di keadaanku yang sekarang. Bukankah semuanya sudah diatur oleh Tuhan, sudah dituliskan apa saja yang akan terjadi dalam hidup ini. Sebagai manusia yang hanya bisa menjalani, aku memilih untuk berusaha ikhlas. Aku percaya segala sesuatunya sudah diatur, dan akan indah pada waktunya. Tuhan itu maha baik, mungkin sekarang belum waktunya aku untuk sembuh, belum saatnya tiba di titik temunya. Sabar adalah kunci, sampai waktu dapat restu dari yang maha kuasa.
Aku ingin berdamai. Aku ingin bisa menerima bapak apa adanya. Walaupun banyak hal yang masih menjadi ganjalan, tapi bukankah akan lebih indah jika bisa memaafkan? Meskipun demikian kata maaf itu belum keluar, setidaknya aku bisa berdamai dan melanjutkan hidup. Lagi-lagi bahwa tidak semua hal bisa diatur oleh keinginan kita.
Dan soal kuliah, aku pasrah. Berusaha ikhlas lebih tepatnya. Tuhan pasti sudah menuliskan garis hidup ini, dan kalau memang di buku kehidupanku tidak ada jatah 'kuliah' bukankah akan sia-sia jika aku mengharapkannya sepanjang hidupku. Memang benar bahwa tidak semua hal yang di inginkan dapat menjadi milik kita.
Mungkin memang tidak ada 'kuliah' di dalam kisah hidupku. Memang tidak mudah, kedua hal yang sulit kulepaskan dari ruang bernama amygdala. Aku tidak ingin menghapusnya, hanya ingin membiarkan mereka berdua diam di kotak masa lalu. Aku perlu berdamai untuk tetap bisa melanjutkan hidup.
Tentang jiwa, aku juga berusaha untuk menerima keadaanku sendiri. Bahwa Tuhan memberikan hal entah disebut cobaan atau berkat. Kalau memang bernama cobaan, yakinkan aku, Tuhan, aku bisa melewatinya. Tapi kalau bisa disebut berkat, kenapa tidak? Ambil sebanyak mungkin hikmah di dalamnya.
Oh iya, berjalan setahun masa pengobatanku, diagnosanya sekarang adalah gangguan depresi berat dengan gejala psikotik. Obat bertambah, dan informasi lagi aku sempat ke UGD sendirian karena 'kambuh'. Di suntik obat dan oksigen sebentar lalu bisa langsung pulang. Apakah aku baik? Tentu saja tidak. Aku hanya berusaha untuk terlihat baik.
***
Hai ini Marina! Gimana part dua ini. Memang akan banyak narasi di ME, jadi jangan bertanya: mana dialognya? Ya jarang, bahkan nggak ada di part dua ini, ya kan? Semoga suka ya,
Xoxo, Marina.

KAMU SEDANG MEMBACA
ME
General FictionME adalah aku. Aku yang tinggal di dalam diriku. Kucintai dia bersama seluruh lukanya. ME adalah aku, dia dan cerita masa lalu, masa kini dan masa depannya adalah milikku. ME adalah aku yang kehilangan mimpinya. Yang terseok-seok mengais sisa dunia...