Angin berhembus sangat kencang, rintik air mulai membasahi baju kerja-ku, oh apakah kalian berfikir bahwa aku adalah wanita karier yang bekerja di salah satu perusahaan? Jawabannya adalah salah. Karena baju kerja yang kumaksud adalah kaus oblong dengan blue jeans dan sneakers karena aku hanya bekerja di salah satu perpustakaan sederhana milik teman ayahku. Kini Bogor terasa sangat dingin dan sialnya lagi aku tak membawa jaket, aku memperkecil langkahku dan mencari tempat berteduh, namun semua halte yang biasanya kujadikan tempat andalanku ketika hujan saat ini sedang sesak dengan para karyawan yang baru saja turun dari bus, akhirnya aku melangkah mencari tempat lain. Pilihan terakhir hanya jatuh kepada salah satu cafe yang sedang ramai, aku tak pernah melihat cafe itu sebelumnya. Atau aku yang tak pernah memperhatikannya ya? Diluar cafe tersebut diberi plang dengan tulisan super besar 'Joy's cafe' . Aku masuk dengan pakaian basah kuyup dan rambut berantakan, untung saja aku tak diusir karena di kira orang yang memiliki gangguan jiwa, melihat penampilan ku yang seperti ini. Karena semua meja sudah terisi, akhirnya aku duduk di meja paling ujung yang bersebelahan langsung dengan jendela.
"Mau pesan apa, mbak?" Tanya salah satu pelayan cafe dengan ramah sembari memberikan buku menunya.
"Air putih saja." Jawabku setelah menutup buku menu, selain karena memang tujuanku hanya ikut berteduh, menu di cafe ini juga tak menarik seleraku, aku lebih suka makanan berat dibanding snack.
"Air putih tidak ada dalam daftar menu, mbak." Jawab pelayan itu dengan perubahan ekspresi dari sebelumnya. Senyumnya hilang entah kemana.
"Begitukah? Yasudah saya pesan secangkir kopi saja." Jawabku acuh, pelayan itu mengangguk dan berlalu. Aku merutuki diriku sendiri, kopi ?Aku jarang sekali menikmatinya, entah kapan terakhir kali aku meminumnya.
Dalam hitungan detik, pelayan itu kembali membawakan secangkir kopi. Woahh cafe ini benar-benar gesit! Aku memutar mutar cangkir kopi dengan bimbang. Minum. Tidak. Minum. Tidak. Min-
"What do you think about coffe?" Aku mendongak menatap pemilik suara boriton itu. Siapa dia? Dengan seenak jidat duduk satu meja denganku.
"Siapa kau?" Tanyaku dengan ketus. Pria dengan wajah blasteran itu tersenyum, memperlihatkan sederet gigi putihnya.
"Aku? Pengunjung cafe ini." Jawabnya sambil membuka jaket kulitnya.
"Ya, kau fikir aku bodoh?! Aku juga pengunjung cafe ini. Maksudku kau siapa? Kenapa duduk disini?" Tanyaku sembari menatapnya dengan gemas. Aku meraih cangkir, dan menyesap kopi hitam itu dengan nikmat. Ternyata rasanya memang enak.
"What do you think about coffe?" Aku hampir memuncratkan kopi yang berada di mulutku. Orang gila. Memangnya apa pedulinya mengenai pendapatku tentang kopi.
"Kau bisa pindah ke meja lain dan tak menghancurkan mood ku lebih banyak lagi," Semprotku dengan berapi-api.
"Kau saja yang pindah. Ini mejaku." Ucapnya sembari mengedikkan bahu, aku membelalakan mataku.
"Aku sudah memesan dan kau belum, jadi kau saja yang pindah," Jawabku sembari mengelus dada.
"Baiklah, aku akan pindah," ucapnya. Aku tersenyum penuh kemenangan.
"Tapi nanti ketika salah satu pengunjung sudah pulang. Kau tak lihat semua meja terisi?" Jawabnya sembari menyeringai. Aku melihat ke sekitar. Ucapannya benar.
Salah satu pelayan datang membawa nampan yang terdapat cangkir diatasnya. Lalu cangkir itu diarahkan kepadaku. Aku menyernyit tak mengerti.
"Ini milik siapa?" Tanyaku datar.
"Milik mbak, maaf kami telat mengantarkannya, jadi kalian tidak bisa menikmatinya bersama." Ucap pelayan itu tersenyum kepada pria di depanku.
"Ah tidak apa-apa." Jawab pria di depanku.
"Maksudnya? Buat aku mengerti." Kataku dengan tak sabar.
"Kopi yang tadi milik mas ini, karena tadi mbaknya telat datang jadi mas nya pesan duluan, lalu mas ini tadi keluar sebentar karena ada keperluan, benar kan mas?" Ucap pelayan itu.
"Tentu saja." Jawab pria di depanku dengan mantap.
"Jadi meja ini tidak kosong? Lalu kopi yang tadi ku minum seharusnya untuk dia?" Tanyaku dengan kebingungan.
"Lho? Jadi mbak bukan teman mas ini? Ya ampun, maafkan saya mas. Saya tidak memberi tahu mbak ini kalau meja ini sudah di booking oleh mas, saya fikir ini teman mas." Pelayan itu menunduk pria di depanku dengan wajah pucat.
"Sudah, tidak apa-apa. Kamu bisa kembali bekerja." Ucap pria di depanku kepada pelayan dengan menebarkan senyumnya.
Aku menunduk malu. Eh, malu? ini bukan kesalahanku, kenapa aku harus malu? Aku mengalihkan pandanganku ke kaca jendela, embun sudah menutupi pemandangan kota bogor. Cafe ini ternyata menyenangkan."Melihat caramu memandang nya sepertinya kau belum pernah datang kemari, benar?" Ah aku lupa bahwa seseorang masih disini.
"Memang belum." Jawabku singkat. Keheningan kembali menyelimuti. Ia tak mengatakan apapun lagi. Aku mengalihkan pandanganku dan menatapnya yang ternyata sedang menatapku juga.
"Kenapa? Aku tampan? ya, semua perempuan mengakui itu." Ucapnya menyombongkan diri. Aku mengangkat bahu dan menyesap kopi milikku.
"What do you think about coffe?" Pertanyaan itu lagi.
"Kenapa kau penasaran sekali huh?" Jawabku datar.
"Aku hanya ingin tahu, bagaimana pendapat orang tentang kopi. Apa orang lain juga menyukai kopi sebesar aku menyukainya," Jawabnya seraya menyesap kopi.
"Manis. Hanya itu pendapatku tentang kopi."
Hening. Tak ada yang menimpali lagi. Sampai saat ia berdiri menyampirkan jaket di bahunya, dan membawa secangkir kopi miliknya.
"Kau mau kemana?" Tanyaku spontan. Dagunya mengarahkan kepada meja dekat kasir yang kosong karena pengunjung baru saja selesai menikmati hidangannya.
"Tapi kau kan memang sebenarnya yang pertama duduk di kursi ini, kalau kau mau aku bisa pindah kesana," Tawarku tak enak hati. Dia menggeleng.
"Aku ingin menepati janji ku." Ucapnya sembari berlalu.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay
RomanceKisah ini bercerita tentang obsesinya, obsesinya kepadaku tanpa dia sadari. Ia selalu membicarakan tentang aku di saat kami tengah menikmati senja, ia selalu menemuiku dengan wajah lelah dan kusut nya sepulang bekerja, datang membawa novel baru yang...