1

783 15 0
                                    

Setelah libur pergantian tahun ajaran baru yang tidak seperti liburan itu usai, Jasmine mengawali perkuliahan di semester limanya dengan cukup lemas. Ia lupa berbelanja bahan baku untuk persediaannya di apartemen karena sibuk mengurus rekrutmen anggota baru Himpunan Profesi yang mengakibatkannya tidak sarapan hari ini. Dengan langkah pelan ia berjalan ke kelas pertamanya dengan mengunyah onigiri rasa salmon pedas dan menenteng tumbler berisi iced latte yang ia beli di minimarket lantai dasar apartemen. Bagi Jasmine, nasi kepal Jepang itu adalah camilan, bukan makan berat yang bisa dikategorikan sebagai menu sarapan.

"Semangat dikit dong, Mba' COO!" ujar Putra sambil merangkul bahunya dan ikut memasuki lift yang baru dimasuki Jasmine. "Masih pagi udah redup aja lo kayak putri malu abis dicolek."

"Gak usah banyak komentar kecuali lo mau bayarin biaya makan gue, ya, Wibi," balas Jasmine ketus tanpa melirik lawan bicaranya dan menyelesaikan gigitan onigiri terakhirnya. 

Meski posisi Jasmine di Himpro secara teknis di bawah Putra, yang menyandang posisi CEO, ia adalah tipe orang yang selalu bersikap adil pada semua orang tanpa pandang bulu.

Wibisana Putra yang selalu Jasmine ledek dengan panggilan Wibi hanya berdecih dan melepas rangkulannya. Mereka berjalan beriringan memasuki kelas Etika dan Hukum Bisnis di lantai 3 gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis universitas swasta paling bergengsi di Indonesia itu. Sebagai mahasiswa semester lima sekaligus petinggi himpunan profesi di jurusan Business Management, mereka sebenarnya tidak terlalu berselera dengan kelas pertama hari ini yang dari namanya saja sudah membuat pusing. Karena sama-sama tidak bersemangat, akhirnya mereka memilih duduk di deretan tengah agak belakang.

Seusai kelas pertama dengan profesor sekaligus mantan menteri perekonomian yang tempo bicaranya sangat lambat, Jasmine dan Putra berjalan dengan terburu-buru menuju kantin. Putra sebenarnya hanya mengejar Jasmine yang langkahnya entah kenapa bisa sangat cepat itu. Padahal tinggi Jasmine hanya setelinga Putra, yang berarti kakinya lebih pendek. Mungkin karena Jasmine cukup rutin lari sore jika tidak ada kelas atau agenda lain di sore hari. Atau mungkin memang hasratnya untuk menyantap makanan sangat besar mengingat waktu sudah memasuki jam makan siang.

Perempuan itu tidak memerlukan waktu untuk bingung memutuskan ingin makan apa. Ia langsung memantapkan langkahnya ke booth soto ayam yang menjadi langganannya itu.

"Mang Asep yang dermawan, soto ayam kuah santen plus nasi satu, ya!" pesannya langsung dengan senyuman paling tulus. Putra yang menyaksikannya hanya bisa geleng-geleng sudah paham namun tetap takjub.

"Gue beli nasi padang dulu ya, Min."

"Oke."

Mereka memilih duduk di kursi ujung yang menghadap taman kreasi meskipun setiap sudut ruang makan kantin sejuk, karena ber-AC. Re-fresh mata. Begitu ucap Jasmine setiap ditanya alasan selalu memilih kursi itu jika masih kosong.

"Jadinya mau kapan rapat besar pertama, Wib? Kemarin kan belum final keputusannya," tanya Jasmine usai menghabiskan seluruh soto, nasi, dan setengah air mineral botolnya.

"Menurut gue sih mending di weekend atau Jumat ini, ya. Beban kuliah harusnya belum terlalu banyak, jadi anak baru juga gak terlalu kelimpungan. Menurut lo gimana?"

"Setuju," jawabnya singkat.

"Kasih opini kek, walaupun ngulang doang!" ucap Putra dengan sinis. Jasmine memang tidak begitu suka basa-basi. Jika ia setuju dengan sesuatu, ia merasa tidak perlu repot-repot mengulang faktor yang sudah dijelaskan orang lain ataupun menambahkan poin yang dirasa tidak berdampak apapun.

"Nanti coba make sure semua c-level setuju aja lewat grup. Kayaknya tadi gue gak liat Kevin deh, di kelas." Mora menghabiskan sisa air mineral kemasan botolnya. "Kalo Rachel langsung cabut sama empat serangkainya pas kelas selesai."

"Setau gue kemarin dia clubbing. Belum sober kali," ujar Putra cuek. "Malem aja lah gue nanya di grup wa-nya. Lo pada kan baru muncul di grup kalo udah malem. Dasar pocong." Putra dan hobinya menyamakan manusia dengan segala hal yang bukan manusia.

"Saka, anjing! Si Runi lecet, nih! Ganti rugi, nyet!" maki Danu sesaat mereka tiba di parkiran motor FEB. Runi adalah motor vespa matic berwarna marun kesayangan Danu yang ia tunggangi dan rawat sejak ia memiliki SIM. Iya, marun, Runi.

"Kan lo yang nyuruh gue nyetir tadi." Saka menggantung helmnya di spion kanan motor yang sudah terparkir.

"Ya lo kan tau, gue mana bisa bawa si Runi ngebut-ngebut di gang sempit kost-an kita yang penuh ibu-ibu gak berbakat nyetir itu! Kita hampir telat!"

"Bukan gue yang bangun kesiangan. Bukan salah gue, dong." Saka terus melanjutkan langkahnya. Mereka hampir telat, itulah awal insiden Runi terluka karena tidak sengaja disenggol ibu-ibu oleng di pertigaan. Untungnya mereka tidak jatuh karena kaki Saka yang kuat menahan beban mereka berdua dan Runi.

Karena kalah debat, Danu memilih diam dan lanjut berjalan dengan muka cemberut. Sesampainya di kelas, Danu langsung berujar sambil meluapkan emosinya. "Lagian lo tuh kenapa sih malah bawa mobil padahal udah tau gang kost-an kita sempit? Bisa diitung jari, ya, seberapa sering mobil lo itu dipake setaun kita kuliah kemaren."

"Nanti kalo gue bawa motor, lo mau kesiangan setiap kelas pagi? Gue kan jadi bisa berangkat sendiri tanpa perlu nunggu lo?" tantang Saka.

Sebenarnya topik ini sudah sering mereka debatkan dari awal kuliah. Memang Danu saja suka cari ribut. Alasan sebenarnya adalah Saka tidak diizinkan oleh mamanya mengendarai motor lagi karena pernah menabrak pembatas jalan saat pulang sekolah. Sore itu, ia tiba-tiba mules sehabis makan bakso yang sedang ramai diperbincangkan. Entahlah, mungkin itu bakso daging tikus, atau memang Saka sedang apes. Padahal, skill menyetir motornya baik-baik saja sampai sekarang. Mamanya memang suka mendramatisir segala hal, persis seperti Danu.

Danu menggeram kesal. Yah, memang tujuannya hanya menumpahkan amarah akibat ditendang sampai jatuh dari kasur oleh Saka tadi pagi. Tidak penting ia menang berdebat atau tidak. Tujuannya hanya untuk marah-marah.

Setelah diam beberapa saat, Danu kembali bersuara. "By the way, lo kenapa jadinya masuk divisi finance sih, nyet! Kan udah gue bilang bareng gue di product aja! Pimpinannya cakep gila, man!"

"Udah syukur gue gak nipu lo pas oke-in ajakan lo masuk himpro, ya, Dan. Bagian finance, menurut analisis gue, punya beban kerja fisik paling rendah karena cuma ngurus keuangan internal. Makanya gue pilih," ujar Saka dengan bangga. Dasar anak rumahan.

"Mau bilang aneh tapi udah gak aneh lagi. Yah, semoga pimpinannya bener, ya. Gue denger-denger hobi keluyuran, tuh."

"Kayak ibu-ibu kurang kerjaan lo, gosip gitu," sinis Saka.

Danu balas dengan tatapan tidak kalah sengit. Walaupun obrolan mereka kebanyakan isinya perdebatan, entah kenapa pertemanan mereka awet sejak bangku SMP. Mungkin karena keduanya selalu jujur satu sama lain. Semua yang ada di otak selalu terucap tanpa disaring. Dan sejauh ini, hanya Danu yang betah dengan sifat anak rumahan ekstrem Saka. Danu memang punya banyak teman lain untuk keperluannya memenuhi energi sebagai seorang ekstrover. Namun, ia selalu akan kembali ke Saka. Seru diajak ribut, katanya.

Selesai sudah perkuliahan hari ini. Jasmine langsung melarikan diri ke parkiran mobil dan mengendarai mobil sedannya ke supermarket yang paling sering ia datangi selama dua tahun terakhir ini. Memanfaatkan sore hari lengangnya dengan berbelanja untuk mengisi ulang kulkas kosongnya.

Agenda berbelanja berjalan tanpa hambatan. Jasmine langsung bergegas pulang karena badannya sudah merindukan rasa basuhan air dari shower-nya.

**

Hi! Karena ini cerita pertama gue, it'll be great kalo banyak yang dukung lewat komentar atau votes. Beberapa chapter lagi akan ada rated scene. Be mindful, ya! xx

Lust Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang