+9677xxxx
Mbak, terima teleponku. Kita perlu bicara. Aku calon istri Mas Zain.
Pesan obrolan yang mendarat begitu saja di ponsel Asa, membuat perasaannya seketika tak nyaman. Sekujur tubuhnya mendadak lemas. Ia hampir limbung dan hanya bisa bersandar pada pinggiran meja dapur. Tak hanya itu, jantungnya pun langsung berdebar-debar.
Aku calon istri Zain. Kalimat itulah yang mengganggunya. Bagaimana mungkin kekasihnya memiliki calon istri sementara mereka masih resmi sebagai sepasang kekasih. Bahkan, Zain telah berjanji akan menikahinya segera setelah studinya selesai. Selain itu, bagaimana bisa orang yang mengaku sebagai calon istri Zain itu menghubungi dan memberitahunya, alih-alih sang kekasih sendiri?
Adakah pesan itu benar, atau hanya ulah orang iseng saja? Mengingat nomor yang masuk bukanlah nomor Indonesia. Melihat kode negaranya, sepertinya Yaman. Mirip nomor ponsel Zain.
Beberapa menit sebelumnya, 23 panggilan tak terjawab dan satu pesan obrolan, membuatnya tak bisa untuk tak memeriksa ponsel. Tapi, saat telah diperiksa, hanya ada sesal dan selaksa tanya juga curiga di hati.
Ya, Asa menyesal memeriksa HP di sela-sela jam kerja. Seharusnya, dia memeriksanya nanti saja. Sampai detik ini, ia belum juga mampu menenangkan diri. Telepon pintar masih di genggamannya. Ia belum punya keputusan untuk tindakan selanjutnya. Langsung menjawab pesan itu jelas bukan cara bijak.
“Asa!”
Suara seruan yang berasal dari pintu dapur membuat Asa terkejut dan hampir menjatuhkan ponselnya. Ia seketika mendongak seraya berusaha berdiri tegak. Menyembunyikan telepon genggamnya di belakang tubuh. Seorang perempuan pertengahan tiga puluhan berdiri di ambang pintu dapur.
“Peak time dimulai.” Perempuan itu mengembuskan napas seraya menggeleng menatap Asa. Sepertinya dia tahu bahwa sebelumnya gadis yang bertugas menjadi pramusaji sekaligus helper itu telah melanggar peraturan tempat mereka bekerja.
“Maaf, Mbak Nadia. Tadi soalnya—”
“Jangan diulangi lagi, ya?” Perempuan pemilik tempat makan itu tersenyum. “Udah, sekarang siap-siap. Nggak sampai sepuluh menit lagi waktunya makan siang.”
Asa mengangguk dan Nadia berlalu.
Dengan kegundahan yang masih menggelayut di hatinya, Asa menuruti saran Nadia. Bagaimanapun juga, dia bekerja di sini sudah sangat nyaman. Dibanding pekerjaan sebelumnya, penghasilan dan kenyamanan bekerja di warung ini sangat jauh lebih baik. Asa mendapat tempat tinggal gratis dan gaji yang lebih dari cukup baginya. Membuatnya bisa menabung untuk pendidikan dan terapi adiknya nanti. Lagipula, ia bekerja di sini juga atas bantuan Zain dan kebaikan hati Nadia menerimanya.
Beberapa menit selanjutnya, gadis yatim piatu itu telah tenggelam dalam kesibukan warung makan tempatnya bekerja. Para santri mahasiswa, dosen, anak sekolah, dan pekerja, menyerbu tempat makan itu.
Lokasi tempat makan ini memang strategis. Berada di sekitar kompleks pesantren modern di Kota Surabaya ini. Pemiliknya pun masih ada hubungan kerabat dengan keluarga pesantren. Keponakan lebih tepatnya.
Pada jam-jam sibuk semacam ini, Asa bertugas sebagai pramusaji. Dan nanti setelah semua usai, dia akan segera kembali pindah ke dapur untuk mencuci peralatan makan dan memasak yang kotor.
Hanya beberapa jam Asa melupakan kejadian pesan obrolan itu. Lantas ketika sore menjelang, saat warung telah lengang dan pekerjaan sudah tak sebanyak saat siang, ia kembali teringat pesan itu. Ia ingin menanyakan pada Zain secara langsung.
Sebenarnya ia tahu bahwa tiga minggu ini kekasihnya berkata bahwa tengah bersiap menghadapi ujian dan meminta agar tak diganggu. Tapi, ia tak mau bertindak tanpa sepengetahuan Zain.
Hanya saja, ia tak mau lagi melanggar peraturan. Ia berasumsi bahwa jika menghubungi Zain, kemungkinan mereka akan mengobrol dalam waktu lama. Karenanya, Asa memutuskan untuk menunggu hingga usainya jam kerjanya hari ini.
Sisa jam kerja dihabiskan untuk berusaha fokus dan mengabaikan keresahannya. Barulah bakda salat Magrib, ia menyempatkan diri untuk menghubungi kekasihnya.
Saat memeriksa ponsel, kembali puluhan panggilan tak terjawab mendarat di ponselnya. Tak hanya itu, 99+ pesan juga telah masuk di aplikasi obrolannya.
+9677xxxx
Mbak!!!!!
+9677xxxx
JAWAB, DONK
+9677xxxx
Woy, apa susahnya ngejawab telepon, sih?
+9677xxxx
Perempuan gak jelas! Jawab donk. Jangan cuma dibaca.
+9677xxxx
Kamu takut ya? Dasar pengecut. Hadapi ini dengan berani.
+9677xxxx
Cemen sekali. Aku cuma pingin ngomong sama kamu. Mastiin aja kalau kamu nggak bakal mengganggu hubunganku dan Mas Zain.
Perasaan Asa jadi tak enak. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin menetes dari pelipisnya, membasahi pinggiran mukenah yang masih ia pakai.
“Apakah pengirim pesan ini memang calon istri Kak Zain?” batinnya
Dan karena tak nyaman juga cemas, ia langsung memblokir nomor itu. Asa pun mengarsipkan nomor itu.
Cepat-cepat Asa mencari kontak Zain. Ia segera mengetikkan pesan dan mengirimkannya.
Asa
Kak Zain, maaf aku ngubungin sekarang. Semoga nggak ganggu, ya? Soalnya, ada nomor nggak kukenal yang nelpon mulu sejak tadi tapi nggak aku angkat soalnya lagi kerja. Dia malah kirim WA dan bilang bahwa dia calon istri Kak Zain.
Pesan terkirim. Centang satu tak jua berubah jadi centang dua apalagi biru. Untuk beberapa menit, Asa berusaha bersabar. Lantas, ia mengecek penunjuk waktu. Sudah jam enam petang. Itu artinya, di Yaman masih sekitar jam dua siang. Ia berpikir, mungkin saja Zain tengah sibuk di kampus.
Asa memutuskan kembali ke warung. Kembali berusaha mengabaikan perasaanya—meskipun jelas kali ini ia tak mampu. Sama sekali.
Keadaan sudah tak seramai saat pagi. Hanya ada beberapa pembeli berdiri di depan konter kasir. Sepertinya mereka pembeli yang membeli makanan untuk dibawa pulang. Pembeli yang makan di tempat hanya tersisa tak sampai lima orang. Itu pun mereka sepertinya hanya memesan kudapan dan kopi. Memang setelah jam lima sore biasanya warung makan ini akan relatif sepi. Pasalnya, para santri mahasiswa sudah dilarang keluar asrama.
“Siapa yang menghubungi, Sa?” tanya Nadia ketika melihat karyawannya datang dari arah dapur.
“Nggak tahu, Mbak. Nggak jelas.” Asa mengedikkan bahu. Ia berusaha menyembunyikan keresahannya seraya berhenti dan berdiri di samping majikannya yang tengah duduk tak jauh dari konter kasir, mengawasi para karyawannya.
“Kalau nggak jelas, ngapain kamu sampai galau seharian?”
Asa tersenyum. Berusaha menjaga ekspresi wajahnya. “Ya, karena …”
“Ya udah kalau kamu keberatan ngasih tahu. Mbak cuma nggak pingin liat kamu galau. Biasanya kamu itu, kan, tebar senyum seharian. Positive vibes terus.”
Asa tersenyum tipis.
“Ya udah. Kerja lagi sana. Bentar lagi warung bakal tutup.”
“Makasih, Mbak,” ujar Asa seraya berlalu.
Sekitar satu jam kemudian, warung tutup. Segera Asa kembali ke kamarnya. Biasanya dia akan segera beristirahat agar besok bisa bangun pagi dan membantu Nadia menyiapkan bahan. Tapi kali ini, ia tak bisa segera beristirahat. Pesan yang ia kirim pada Zain, tak jua berubah centang dua. Dan satu hal yang tadi luput dari perhatiannya adalah gambar profil Zain yang tiba-tiba menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Asa
RomanceApakah menjadi yatim piatu dan miskin merupakan sebuah kekeliruan?