***
Angin malam menerpa wajah kala kakiku melangkah lebar penuh kekuwatiran. Semakin lama aku masuk ke dalam hutan semakin gelap dan mencekam suasananya. Pohon-pohon mulai tampak seperti monster yang siap menerjang, semak-semak yang berdesir membuat jantungku tak aman. Yang kutakutkan, kawan. Seperti yang pernah kukatakan, bukan lah monster, penyihir, ataupun hantu penunggu. Justru dalam keadaan sunyi dengan cuaca berangin seperti ini lah yang memungkinkan munculnya kelompok bandit itu.
Aku belum pernah bertemu langsung dengan mereka, tapi mendengar desas desus disana dan disini membuatku ikut ngeri membayangkannya. Aku tidak mau membayangkan tubuhku tergeletak bersimbah darah di hutan ini hanya karena mengusik kegiatan berburu orang-orang aneh itu. Jangan kalian harapkan mereka akan bersikap ramah tamah kepada remaja homeless seperti halnya para penduduk kota kepadaku. Sebelum aku bisa duduk, kurasa kepalaku sudah terpisah dari leherku.
Aku berhenti sejenak untuk mengambil napas, oh lihatlah betapa gelapnya hutan malam ini. Kurasa cahaya bulan pun tidak membantu, dan aku mulai mengutuk diriku karena tidak membeli lampu minyak -ataupun setidaknya korek api.
Tapi... bodoh benar, aku bahkan tidak memiliki uang sepersen pun. Tidak perlu pusing memikirkan kedua benda penghasil cahaya itu.
Lantas, apa yang harus kulakukan saat ini? Aku benar-benar kehilangan arah. Niat awalku yang ingin singgah di hutan pupus kala menyadari bahwa hutan memang benar-benar bukan lah tempat untuk singgah, kecuali berkemah. Apa ini efek musim gugur yang menyebalkan? Aku jadi mulai sedikit bodoh akibat udara dingin yang terus-terusan menerpa tanpa belas kasih.
Suara ricuh kembali terdengar dari semak, sontak aku menghentikan langkah kakiku.
Apa itu? Apa seekor macan dahan? Atau beruang? Tapi aku tidak mendengar langkah- bahkan deru napas sekalipun. Lantas apa ini sesuatu yang lebih terasa ghaib seperti... hantu? Ah, lupakan saja!
Aku yakin ini akibat rasa parno dari cerita orang-orang yang senewen di kota, mana ada hantu. Kalaupun ada itu konyol, untuk apa mereka iseng menakuti diriku ini toh, harusnya para ruh-ruh ini bisa memilih mana kaum yang lebih elite untuk ditakut-takuti. Aku adalah Lewis Harper, penjelajah (sebetulnya gelandangan) hebat yang telah menjelajah setiap daerah bermodalkan nekat dan keberanian. Hantu di hutan belum ada apa-apanya dibanding dengan goblin jelek penggila harta yang pernah kutemui di daerah timur, mereka membuatku rugi 5 Arge (semacam uang logam) akibat kalah taruhan.
Selang beberapa menit berdiam diri, pada akhirnya kakiku kembali melangkah dengan tenang, terus-terusan mengalihkan rasa kuwatirku dengan terus mengingat kerugian yang kuperoleh dari para goblin jelek itu. Tapi tetap saja, semak yang gelap nan suram itu terus berderik mengikuti setiap langkah yang kuambil. Ini jelas membuatku merasa tak aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind the Shop
Teen FictionTentang toko permen Para Penyihir dan gadis mungil yang ada disana >~