Bab 1

3 0 0
                                    

Langit malam berawan membuat malam semakin kelam. Bintang dan bulan bagai diselimuti selimut tebal, tak ada cahaya yang dapat lolos dari nya.

Sementara di bawah sana hutan tampak tak kalah gelap. Mata menyala hewan malam yang sedang berburu memenuhi setiap sudut hutan. Kelap-kelip kepakan sayap serangga hutan, membantu memberi penerangan.

Semakin ke dalam area hutan, maka akan semakin berbahaya, jarang sekali ditemukan kehidupan, selain hewan dan tumbuhan liar. Namun, di salah satu sudut terdalam hutan, di antara pepohonan terdapat sebuah rumah kecil yang tampak menyatu dengan alam sekitarnya. Berada di antara pepohonan, dengan lantai dan dinding kayu yang tampak kokoh dan nyaman, atap hijau dari dedaunan memberi kesan segar dan hidup, letaknya yang cukup tinggi membuat rumah itu semakin sulit terlihat. Lentera terlihat tergantung di beberapa sudut rumah. Di dalam lentera itu, terlihat serangga dengan sayap mirip kupu-kupu, yang membuatnya berbeda hanyalah sayap serangga ini mengeluarkan cahaya. Itu adalah Muent, serangga malam dengan sayap bersinar. Setiap kepakan sayapnya menjaga agar sinar nya tak padam.

Matahari yang mulai menampakkan wujudnya membuat hewan malam mulai kembali tidur, di gantikan hewan yang aktif di pagi hari untuk bangun.

Tak terkecuali pemilik rumah kecil itu. Seorang gadis dengan rambut orange panjang di ikat satu ke belakang, dengan mata hijau yang indah, terlihat dari balik pintu rumah yang terbuka. Dia adalah Rhea, gadis dari bangsa Eien yang telah memutuskan untuk tidak terlibat terlalu jauh dengan bangsa lainnya. Karena hal itu ia memilih mengasingkan diri tinggal di dalam hutan sendirian.

Sambil mengenakan jubah dan membawa keranjang kosong ia bersiap keluar. Setelah menutup pintu ia berhenti sejenak, menutup mata dan menarik nafas dalam-dalam, menikmati udara pagi. Sudah merasa puas, ia pun mulai melangkahkan kakinya, sampai di ujung teras rumah ia kembali berhenti melangkah. Posisi rumah nya yang cukup tinggi, membuatnya tak mungkin langsung melompat ke bawah. Rhea kemudian setengah mengangkat tangan kanannya, lalu merapal sebuah spell sihir.

"Ieries no Lignum scalae crea iageno" Cincin yang ia gunakan bercahaya.

Tepat setelah spell itu selesai dirapalkan, dari dalam batang pohon muncul bilah-bilah kayu kecil membentuk anak tangga. Rhea pun menuruni anak tangga itu perlahan.

Rhea menyusuri hutan mencari beberapa bahan makanan untuk hari ini. Ia pergi ke bagian hutan yang banyak di tumbuhi tanaman berry. Di tengah jalan ia tak sengaja menemukan beberapa tanaman obat dan jamur, Rhea pun memetik nya.

Sepuluh menit berjalan dari tempat ia menemukan tanaman obat dan jamur, Rhea sampai di dekat sebuah dinding tebing. Di sanalah banyak buah berry yang Rhea cari tumbuh, Ishi berry. Seperti namanya beri ini terlihat seperti batu, mulai dari warna hingga bentuknya. Bentuk tidak merata, berukuran kurang lebih seperti blueberry. Jika belum di masak memang tekstur nya sangat keras seperti batu, namun setelah di olah, tekstur akan menjadi seperti jeli dan sangat manis.

Satu jam ia memetik buah berry itu, Rhea beristirahat sebentar di bawah salah satu pohon. Menikmati udara pagi dan suara hutan.

Gemerisik dedaunan yang saling bergesekan ketika tertiup angin, suara kepakan dan kicauan burung, samar-samar juga terdengar suara deburan air. Dalam kesendirian dan kesunyian kehidupan Rhea, suara-suara ini lah yang selalu menemaninya dan membuat nya masih ingin untuk melihat hari esok. Menatap ke arah langit, terlihat matahari semakin tinggi, Rhea pun memutuskan untuk pulang. Baru saja akan berdiri, suara gemerisik dari semak-semak menarik perhatiannya. Suara itu ia yakin bukan akibat dari hembusan angin.

Grrssk grrssk...

Semak-semak tak jauh dari tempat Rhea duduk bergerak aneh. Seperti ada makhluk yang bersembunyi di sana. Rhea segera berdiri memasang sikap siaga, tangan kanannya sudah bersiap akan mengambil belati yang ia sematkan di tali pinggangnya.

Lima menit tak ada pergerakan, Rhea masih berada di posisi siaganya. Benar saja tak lama setelahnya seekor Usavire—mirip seekor kelinci dengan tinggi setengah meter dan taring tajam di kedua sudut mulutnya, dan mata merah menyala—melompat keluar siap menerkam siapa saja di hadapannya. Untungnya Rhea dengan belati nya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan hewan itu. Sudah biasa berhadapan dengan hewan-hewan liar di hutan, Rhea dengan lincah menghindari serangan pertama Usavire itu, lalu dalam sekali ayunan belati nya memenggal kepada hewan itu.

Usavire memang salah satu predator di siang hari, namun ia tak terlalu berbahaya. Hal yang perlu di waspadai hanya taring dan kecepatan nya saja.

Melihat hewan itu sudah tidak bergerak, Rhea memasukkan kembali belatinya lalu berjalan mendekati mayat hewan itu. Ia mengulurkan tangannya dan merapal sebuah spell.

"Libertatem animae"

Rhea merapal spell untuk mengirim jiwa hewan yang baru ia akhiri. Sebuah bola api kecil berwarna biru tampak terbang melayang sesaat setelah Rhea merapal mantra.

Sebagai seseorang yang pernah bertugas menjaga hutan, Rhea melakukan ini untuk menghormati jiwa para hewan dan makhluk lain yang tinggal di hutan.

Setelah itu ia membawa kembali keranjang dan tubuh serta kepala Usavire itu menuju sungai. Di sana ia menguliti tubuh Usavire, memisahkan bagian mana yang bisa di makan dan tidak. Ia mencuci hingga bersih daging Usavire itu sebelum akhirnya ia bawa pulang.

∞∞∞

Setelah sampai di rumah, Rhea menyiapkan peralatan memasaknya. Ia baru menyadari bahwa beberapa bumbu masakannya hampir habis, ia pun berniat untuk pergi ke desa siang nanti.

Rhea memang memutus hubungan dengan bangsa lain, namun bukan berarti ia tidak melakukan interaksi sama sekali. Dalam sebulan satu dua kali ia akan pergi ke desa untuk membeli beberapa bahan masakan, atau beberapa hal lain yang mungkin ia perlukan. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari nya, mungkin jauh di dalam lubuk hati Rhea, ia masih ingin untuk berhubungan dengan bangsa lain. Hidup dalam kesendirian ratusan tahun bukan lah hal yang mudah, bahkan bagi seseorang yang memiliki keabadian.

Namun mengingat, apa saja yang sudah terjadi, ia membuang jauh-jauh pikiran itu. Dan memberi batasan sejauh mana ia bisa berinteraksi.

Setengah jam berlalu...

Akhirnya acara memasak Rhea sudah selesai, kini ia menyiapkan meja di teras rumahnya. Semangkuk sup jamur dengan topping Ishi beri tampak mengepulkan asap, tak lupa Rhea menyiapkan sebuah teko yang telah berisi air mendidih dan bunga Gradientya. Bunga yang setiap warnanya memiliki cita rasa berbeda, sangat cocok untuk di seduh sebagai minuman di pagi hari.

Hari ini Rhea memilih bunga Gradientya berwarna pink dan ungu, perpaduan rasa manis dan pahit. Teko yang transparan membuat kita dapat melihat perubahan warna air ketika bunga tersebut di masukkan, sangat memanjakan mata.

Setelah berdoa singkat, Rhea pun mulai memakan sarapannya.

Kurang lebih beginilah keseharian Rhea setiap pagi. Mencari bahan makanan, memasak, dan menikmati sarapan dengan pemandangan hutan rindang seorang diri.

Kesepian? Rhea bahkan sudah lupa ada perasaan seperti itu. Baginya yang merupakan seorang bangsa Eien, kesendirian sudah seperti keluarganya.

Bangsa Eien yang memiliki kemampuan untuk berumur panjang, mereka tak bisa meninggal karena usia. Bahkan terkadang ada beberapa orang yang tidak dapat kehilangan nyawanya meskipun terluka. Salah satunya adalah Rhea.

Ada kalanya ia merasa sangat lelah dan ingin mengakhiri hidupnya, ia mencoba menusukkan belati tepat ke jantungnya. Namun apa daya keesokan harinya, ia terbangun tanpa luka sedikit pun. Ia akan pingsan sesaat setelah ia melukai dirinya, namun dengan darah bangsa Eien di dalam tubuhnya, regenerasi luka separah apapun akan sembuh dalam hitungan menit, hanya saja selama proses regenerasi ia akan kehilangan kesadarannya.

Berulang kali ia mencoba, hingga lelah sendiri karena mendapat hasil yang sama. Akhirnya ia menyerah dah berusaha menerima nasibnya sebagai bangsa Eien dan hidup dalam kesendirian ini selamanya.

Tentu ketika terlahir ia tak langsung memutuskan untuk mengasingkan diri. Dulu ia sempat memiliki teman dan seseorang yang sangat ia cintai. Namun, mereka telah pergi meninggalkannya. Perasaan kehilangan ini lah yang menyadarkan Rhea bahwa dirinya tidak bisa untuk menjalin hubungan dengan bangsa lain. Cepat atau lambat mereka akan pasti akan datang waktu dimana mereka akan meninggalkannya.

Rhea sering berimajinasi di rumah ini, ia tinggal bersama dengan teman dan kekasih nya. Tertawa bahagia, hidup bersama tanpa mengkhawatirkan apapun.

"Andai kalian masih ada di sini..."

EIENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang