Rhea masih mematung di tempatnya, air matanya tak berhenti menetes. Pria itu, atau bisa kita panggil Rien, terlihat panik dan bingung melihat Rhea yang tiba-tiba menangis.
Sambil menahan sakit, Rien bangun dari kasur dan mendekati Rhea. Ketika sampai di hadapan Rhea, Rien menatap mata Rhea dalam lalu tersenyum singkat dan memeluk Rhea.
Rhea tak membalas pelukan itu, masih setia dalam posisi mematungnya.
Setelah beberapa menit, akhirnya Rien melepaskan pelukannya. Ia menarik lembut tangan Rhea duduk di salah satu kursi di dekat mereka. Ia juga mengambil segelas air sebelum akhirnya duduk di samping Rhea.
"Apa aku mengatakan sesuatu yang membuat mu sedih?" Rien mulai bersuara. Setelah melihat Rhea meneguk habis air di gelas yang ia berikan.
Rhea menggeleng pelan, "nama mu, mengingatkan ku akan seseorang." Ucap Rhea akhirnya.
"Maaf kan aku, membuat mu mengingat hal kenangan tidak menyenangkan." Sambil menggenggam tangan Rhea, Rien berucap.
"Bukan salah mu. Apakah aku boleh bertanya sesuatu?" Rhea akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. Rien hanya mengangguk singkat.
"Menga-, luka mu!" Rhea berseru tertahan melihat perban putih yang ia balutkan tadi, kini sudah berubah sepenuhnya menjadi warna merah.
Rhea dengan sigap membaringkan kembali Rien ke atas kasur nya. Mengambil kembali kotak obatnya, Rhea dengan perlahan membersihkan dan membalut ulang luka itu. Terlihat wajah Rien yang semakin pucat. "Ini berbahaya" batin Rhea.
Rhea meletakkan tangan kanannya tepat di atas luka Rien yang di balut perban. Rien sedikit berseru tertahan menahan sakit ketika tangan Rhea menyentuh lukanya. Ia kembali merapal sebuah spell, cicin yang ia gunakan bersinar.
"Deae Sanatio sana fractos, vulneratos sana Iageno" Rhea merapal spell penyembuh. Sesaat setelah cincinnya tak lagi bercahaya ia terengah-engah kelelahan. Entah sudah berapa banyak mana yang ia gunakan hari ini.
Karena kelelahan ia pun akhirnya tertidur di samping tempat tidur nya. Tanpa sadar tangannya saling bertaut dengan Rien yang juga terlelap.
∞∞∞
"Nghh." Merasakan sinar matahari mengenai wajahnya, Rhea terbangun.
Ia perlahan ia mulai menyesuaikan pandangannya dengan cahaya. Begitu sudah bisa melihat dengan jelas, ia terkejut melihat kasur yang kosong.
"Pagi, mau sarapan?" Rien menyapa dengan senyum manis. Di atas meja makan terlihat sudah tersedia dua piring berisi roti panggang.
"Kau bisa memasak?" Rhea bertanya dengan nada meragukan.
"Tentu bisa," Rien menjawab sambil menoleh pada Rhea, karena hal itu tanpa sengaja ia menabrak salah satu meja di hadapannya, "akh!"
Rhea buru-buru menghampiri Rien yang mengaduh kesakitan, "Bodoh, jangan memalingkan wajah jika sedang bekerja." Ucap Rhea kesal.
Ia mengambil panci di tangan Rien lalu meletakkannya di atas kompor. Setelahnya, ia segera menarik tangan Rien membawanya menuju sofa di ruang tamunya.
"Duduk!" Rhea berkata tegas, Rien dengan patuh segera melakukan perintah Rhea.
Rhea membuka baju Rien dan memeriksa kembali luka nya. Syukurlah, benturan pada meja tadi tidak berakibat apa pun. Ia duduk di samping Rien dan bernafas lega. Matanya ia pejamkan sambil menarik nafas dalam, lalu ia hembuskan perlahan.
"Kenapa kau terlihat sangat khawatir? Padahal kita tak saling kenal." Rien berucap sambil memandang lurus ke arah Rhea. Rhea yang mendengar kalimat itu tersadar kembali bahwa ia tak seharusnya memperlakukan Rien seperti ini.
"Kemarin kau ingin menanyakan sesuatu kan? Ayo berbicara sambil sarapan." Rien yang melihat perubahan raut wajah Rhea, segera mengubah topik pembicaraan.
Rhea memakan sarapannya dalam diam, ia memandang ke jendela di belakang Rien. Langit biru, dengan hiasan awan yang tampak selembut kapas. Matahari baru saja terbit seutuhnya, menyebarkan sinar hangat keseluruh penjuru negeri. Rien yang menyadari Rhea terus memandang ke belakang nya, akhirnya ikut menoleh.
"Rien, apa boleh ku panggil seperti ini?" Rhea akhirnya membuka suara. Yang di tanya hanya mengangguk dengan senyum lebar.
"Kenapa, kau berada di hutan selarut itu kemarin malam?" Rhea kembali bertanya.
"Aku tidak ingat." Jawab Rien singkat. Sambil menggigit roti panggang nya.
"Entah sejak kapan aku berada di dalam hutan, dan untuk tujuan apa aku tidak bisa mengingatnya." Lanjut Rien setelah selesai mengunyah.
"Bagaimana bisa kau tidak ingat?" Rhea kembali bertanya, berbagai pertanyaan kini memenuhi pikirannya namun, ia berusaha setenang mungkin menyembunyikan fakta tersebut.
"Seingat ku, tiga hari lalu aku terbangun di tepi sungai. Saat badai aku tidak sengaja tergelincir ke sungai dan terbawa arus. Hanya itu yang dapat ku ingat." Rien menjawab, masih dengan aktivitas mengunyah sarapannya.
"Tempat asal, keluarga, dan lainnya apa kau juga tidak mengingatnya." Rhea kembali bertanya, Rien menjawab dengan gelengan kepala.
Rhea diam sesaat, jujur saja Rhea tak bisa sepenuhnya percaya pada ucapan Rien. Tapi tak mungkin juga ia berbohong, apa gunanya berbohong seperti itu pada orang asing yang tak sengaja ia temui. Ia sejak tadi juga terus memperhatikan gerak-gerik Rien. Walau pun wajah mereka mereka mirip, namun Rien yang di hadapannya dengan Rien yang ada di ingatannya, sangat jauh berbeda. Hal ini menambah tanda bahwa pria di hadapannya ini bukanlah Rien yang ia kenal.
"Ternyata memang tidak mungkin jika dia adalah Lorien yang ku kenal." Ucap Rhea dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
EIEN
FantasyRhea seorang gadis yang terlahir dalam garis keturunan bangsa Eien. Seperti namanya seluruh keturunan bangsa ini di karuniai sebuah kelebihan yaitu, keabadian. Dari pada kelebihan, mungkin lebih cocok di sebut sebagai kutukan. Setidaknya itu yang se...