Perjalanan bus menuju hotel terasa lebih sunyi daripada biasanya. Sarah masih duduk di sebelahku, tapi kali ini tidak ada percakapan. Dia terus memandang ke luar jendela, sementara aku merasa ada sesuatu yang harus aku katakan, tapi kata-kata seolah tersangkut di tenggorokan.
"Sarah," akhirnya aku membuka suara, tapi dia tidak langsung menoleh. Dia masih asyik dengan pikirannya, entah apa yang dipikirkannya. Aku coba lagi, "Sarah, lo kenapa?"
Dia akhirnya menoleh, tapi hanya senyum tipis yang dia berikan. "Nggak apa-apa, Rick. Cuma... mikir aja."
"Mikir apa?"
Dia menghela napas panjang, seperti mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Mikir... tentang pertemuan kita ini. Tentang perjalanan kita di sini. Gue senang bisa kenal lo lebih dekat, Rick. Gue tahu lo nggak percaya cinta, tapi... buat gue, pertemuan kita ini berarti banyak."
Aku terdiam. Ada perasaan hangat yang merayap di dalam hati, tapi juga ada rasa takut yang tidak bisa aku jelaskan. Mungkin karena, untuk pertama kalinya, aku merasakan apa yang dulu selalu aku anggap remeh—perasaan yang selama ini aku pikir nggak ada.
Bus tiba di hotel, dan kami semua turun. Malam itu, ada acara api unggun di pantai. Semua siswa berkumpul, duduk melingkar, menikmati suasana yang hangat dan menyenangkan. Api unggun menyala, dan sinarnya memantul di wajah-wajah yang ceria.
Aku duduk di samping Rudy, tapi pikiranku terus melayang ke Sarah. Dia duduk di seberang, bersama teman-temannya. Di tengah-tengah keramaian, pandangan kami sesekali bertemu, dan aku tahu, ada sesuatu yang tak terucapkan di antara kami. Sebuah rasa yang entah bagaimana, mulai terasa nyata.
Setelah acara api unggun, aku memberanikan diri untuk mendekati Sarah. "Boleh ngobrol sebentar?" tanyaku. Dia mengangguk, dan kami berjalan ke tepi pantai, di mana suara ombak memecah keheningan malam.
"Sarah, gue mau minta maaf," kataku sambil menatap ombak yang datang dan pergi. "Gue sering bilang cinta itu palsu, love story itu bohong. Tapi, setelah kenal lo, gue mulai ngerti. Mungkin... mungkin gue salah selama ini."
Dia menatapku dengan mata yang berkilauan di bawah sinar bulan. "Rick, cinta itu nggak harus selalu masuk akal. Kadang, cinta datang tanpa alasan, tanpa kita tahu kapan dan bagaimana. Tapi yang jelas, gue senang bisa kenal lo, dan gue nggak menyesal sedikit pun."
Kami terdiam, hanya suara ombak yang menemani. "Jadi, lo beneran suka sama gue?" tanyaku, setengah bercanda tapi juga serius.
Sarah tersenyum, senyum yang kali ini berbeda, lebih hangat dan tulus. "Iya, Rick. Gue suka sama lo. Tapi, nggak apa-apa kok kalau lo nggak bisa bales perasaan gue. Temenan juga udah cukup buat gue."
Aku menatapnya, dan untuk pertama kalinya, aku tidak ingin menghindar. "Gue juga suka sama lo, Sarah. Gue nggak tahu gimana ini bisa terjadi, tapi gue mau coba. Gue mau percaya sama cinta."
Malam itu, di bawah langit Bali yang dipenuhi bintang, kami mengakhiri percakapan dengan perasaan yang lebih ringan. Ada rasa lega, ada rasa senang, dan ada harapan. Mungkin cinta memang nggak selalu masuk akal, tapi ternyata cinta nggak seseram yang aku bayangkan.
Keesokan harinya, kami harus kembali ke kota masing-masing. Perjalanan ke bandara terasa berat, tapi juga penuh kenangan manis. Saat di bandara, sebelum berpisah, Sarah memelukku singkat. "Sampai ketemu lagi, Rick."
"Sampai ketemu lagi, Sarah," jawabku sambil tersenyum.
Kami melangkah ke arah yang berbeda, tapi aku tahu, perasaan itu tidak akan hilang begitu saja. Ini bukan akhir dari cerita kami, hanya awal dari sesuatu yang baru. Cinta mungkin seperti game—kadang kita salah langkah, kadang kita menang. Tapi satu hal yang pasti, cinta adalah petualangan yang layak dijalani, dengan segala suka dan dukanya.
Dan kali ini, aku siap memainkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hate Love Story
Romanceperspektif tokoh utama yang awalnya skeptis terhadap cinta, namun akhirnya merasakan cinta itu sendiri.