Bab 6

44 8 2
                                    

Situasi di ruang IGD siang ini terbilang cukup ramai. Tiap bed yang hanya dibatasi selembar gorden yang ada di sana hampir semuanya terisi pasien, hanya beberapa saja yang masih kosong. Bapak-bapak, ibu-ibu, remaja pun ada, hanya Putri satu-satunya anak kecil yang masuk IGD siang ini. Suara rintihan, percakapan, sampai tawa pelan terdengar di sini, termasuk dari meja pendaftaran yang berisi para perawat.

Setelah selesai mengisi formulir pendaftaran, aku menuju salah satu bed yang terletak agak di tengah di mana putriku satu-satunya terbaring dengan selang oksigen. Perawat dan dokter yang memeriksa baru saja pergi. Suntikan Epinephrine dan antihistamin pun sudah diberikan. Alhamdulillah kondisi Putri mulai stabil, tak terlihat lagi gejala sesak nafas. Ruam merah di wajah pun perlahan memudar.

“Sejak kapan Putri punya alergi sama kacang?” tanya Angga yang masih fokus memperhatikan Putri. Sekalipun malaikat kecilku kini mulai memejamkan mata, efek dari obat yang diberikan, Angga tetap tak melepaskan pandangan dari Putri.

“Yang pasti sih dari kecil udah begini, tiap kena kacang sedikit aja pasti langsung ruam. Tapi yang sampai sesak nafas baru kali ini,” jawabku sambil menarik kursi dan duduk di sisi ranjang.

Tak mendengar respon lagi, aku pun menoleh. Terlihat Angga terdiam dengan kening berkerut seperti tengah memikirkan sesuatu.

“Kenapa? Aneh ya?”

Namun, Angga hanya tersenyum kecil dan beranjak ke kursi tunggu yang berada di dekat meja pendaftaran lalu menyibukkan diri dengan ponselnya. Di saat yang sama ponsel di saku rokku juga tiba-tiba saja bergetar, nama Lydia muncul di layar. Segera aku keluar ruang IGD agar bisa leluasa menjawab panggilan.

“Ya, Mbak. Kebaya Mbak Anita? Sudah dikerjakan Melly kemarin, coba Mbak Lyd tanya Melly ya. Aku sekarang lagi di IGD, Putri tiba-tiba sakit. Dicari Bu Sandra? Iya, nanti saya ke sana kalau kondisi Putri sudah baikan.”

Setelah panggilan ditutup, aku kembali ke dalam dan duduk kembali di tempat semula. Lalu mulai menyisir chat demi chat yang dikirim klien dan teman-teman di galeri. Perasaan bersalah pun hinggap di hati karena mestinya aku berada di sana. Karena menurut chat Intan, galeri kedatangan beberapa tamu sementara Tante Sandra sedang tidak di tempat.

Mestinya tadi aku tidak menuruti keinginan Putri untuk makan es krim, kalau tahu akan begini. Tak tega rasanya melihat gadis kecilku lagi-lagi terbaring di sini. Untung saja tidak sampai diinfus. Tapi, mau gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal pun tak ada artinya lagi. Semoga saja Putri lekas membaik, agar aku bisa kembali ke galeri secepatnya.

Sibuk berbalas chat sampai tidak sadar kalau Angga sudah berpindah ke dekatku. Lelaki itu lalu mendudukkan dirinya di tepian ranjang. Pandangannya masih tak lepas dari Putri sejak tadi. Sampai-sampai ia yang pertama tahu kalau Putri mulai membuka mata. Angga dengan sigap menggeser duduknya lebih dekat ke Putri lalu tersenyum manis.

“Halo, Tuan Putri,” sapa Angga lembut. Tangannya bahkan sudah meraih tangan kecil Putri dan menggenggamnya erat.

“Kok Om masih di sini?” tanya Putri dengan suara pelan yang hampir-hampir tak terdengar.

“Iya, Om kan khawatir sama Tuan Putri. Tuh Mama Dinda juga ada di sini. Gimana? Apa yang dirasain?”

Mendengar namaku disebut, aku jadi menegakkan punggung dan tersenyum saat keduanya melihat padaku. Entah apa yang seharusnya aku rasakan, tapi situasi begini membuatku sedikit terharu. Ini pertama kalinya aku tak merasa sendirian saat menghadapi kondisi yang serius begini.

“Udah nggak susah nafas lagi sih, Om. Cuma Put masih ngantuk.”

Angga tertawa kecil mendengar jawaban Putri yang polos. “Nggak apa-apa, itu efek dari obat. Nanti juga hilang sendiri. Tuan Putri mau tahu satu rahasia nggak?”

Pelangi Hati Dinda Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang