Keesokan paginya, Abraham sudah siap berangkat ke sekolah. Seperti biasa, ia akan menjemput Vina dan Nadira. Dengan semangat, ia mengendarai motornya menuju rumah Vina terlebih dahulu. Pagi itu, udara sejuk menambah semangat Abraham, dan ia merasa lebih ringan setelah percakapannya dengan Kakek Rusdi kemarin.
Sesampainya di depan rumah Vina, Abraham tidak perlu menunggu lama. Vina sudah berdiri di teras rumah, tersenyum cerah melihat kedatangan Abraham. "Pagi, Bram!" sapa Vina sambil berjalan ke arahnya.
"Selamat pagi, Vin! Kamu sudah siap?" jawab Abraham sambil tersenyum, mempersilakan Vina naik ke motor.
Vina naik ke motor Abraham dan langsung merangkul pinggangnya dengan santai. "Siap banget. Ayo, kita jemput Nadira."
Mereka berdua melaju ke rumah Nadira. Tak lama kemudian, mereka sampai di sana, dan Nadira sudah menunggu di depan gerbang. Senyum manisnya menyambut kedatangan Abraham dan Vina.
"Pagi, kalian," sapa Nadira ceria sambil berjalan mendekat.
"Pagi, Dira! Ayo kita berangkat," balas Abraham sambil tersenyum lebar.
Nadira pun naik ke motor, duduk di belakang Vina, merangkul bahunya dengan lembut. Perjalanan ke sekolah pun dipenuhi canda tawa ringan di sepanjang jalan. Abraham merasa nyaman dan bahagia melihat kedua gadis ini tertawa bersamanya.
Sesampainya di sekolah, suasana sekolah yang mulai ramai menyambut mereka. Beberapa siswa menoleh penasaran saat melihat Abraham, Vina, dan Nadira tiba bersama. Mereka bertiga turun dari motor dan berjalan ke dalam sekolah, tak memedulikan tatapan-tatapan penasaran dari siswa lain.
"Kita bikin mereka semua iri ya," ujar Abraham sambil terkekeh.
Vina tersenyum jahil, "Biarin aja. Yang penting kita senang, kan?"
Nadira hanya mengangguk sambil tersenyum. Meski sedikit malu, ia merasa nyaman berada di antara Abraham dan Vina. Hari itu mereka menjalani pelajaran seperti biasa, saling bercanda dan tetap dekat selama di kelas.
Saat bel istirahat berbunyi, Abraham, Vina, dan Nadira kembali berkumpul. Mereka duduk di bangku taman sekolah, suasana ceria seperti biasa. Abraham, yang tak pernah kehabisan ide untuk menghidupkan suasana, mulai menggoda lagi.
"Nadira, kamu tahu nggak kenapa aku nggak bisa berhenti senyum hari ini?" tanyanya tiba-tiba.
Nadira, yang sedang membuka bekalnya, menatap Abraham bingung. "Kenapa emangnya?"
Abraham mendekatkan wajahnya sedikit, lalu berkata dengan nada pelan, "Karena senyum kamu bikin hariku terang terus."
Vina tertawa sambil menepuk bahu Abraham, "Duh, Bram. Gombal lagi aja. Nadira harus siap-siap, nih, tiap hari ada gombalan baru."
Nadira tersipu malu tapi tetap tertawa kecil. "Hati-hati, Bram. Nanti kita beneran ketagihan denger gombalan kamu."
Mereka bertiga melanjutkan istirahat dengan penuh canda tawa, merasakan momen-momen mesra di antara mereka, sambil menikmati kebersamaan yang semakin erat.
Saat momen istirahat masih berlangsung, mereka bertiga duduk di kantin yang ramai. Vina dan Nadira saling berbicara dengan senyum di wajah mereka, sementara Abraham dengan santai memainkan sedotan minumannya, matanya bergantian memperhatikan kedua gadis itu. Dia tampak memikirkan sesuatu, dan Nadira menyadarinya.
"Ada apa, Bram? Kok diem aja?" Nadira bertanya sambil menyodok lengannya ringan.
Abraham tersenyum lebar dan menjawab dengan nada rendah, "Aku lagi mikir, kayaknya kalian berdua harus hati-hati deh."
Vina yang sedang menyeruput jus jeruknya ikut bingung. "Hati-hati kenapa, Bram?"
Abraham mencondongkan badan ke depan sedikit, membuat suasana seakan serius. "Soalnya... kalau kalian terus-terusan bikin aku jatuh cinta, nanti aku nggak bisa bangun lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Adresta The Another Time Line
Teen Fictionkita buat cerita lain tentang kakak beradik ini