prolog

25 7 11
                                    

Dara duduk di kursi tunggu bandara. Ini semester kedua setelah dia ambil S2 di Paris. Tentu dia bisa tenang karena hubungannya sudah di restui oleh kedua keluarga. Hubungan kisah cintanya yang cukup rumit.

Lamunannya buyar saat deringan telepon di tas mini bag nya. Senyumnya mengembang, pasti pacarnya mau menyusul ke Bandara. Sebelum dia akhirnya harus berangkat meninggalkan Indonesia lagi.

“Sayang, maaf. Sepertinya aku tidak bisa ke sana. Mama kurang sehat jadi aku gantikan papa untuk bertemu relasi. Mana sekarang terjebak macet. Maaf, ya sayang.” Ucap Panca melalui saluran udara.

Panca merasa tidak ada respon dari Dara.

“Biar aku tebak, bibir mu maju ke depan. Matanya melotot sampai ke akar-akarnya. Tangan kamu mengepal kuat seakan ada yang mau di lampiaskan.”

Dara mengerutkan dahinya. Kenapa pria itu tahu ekspresinya saat ini.

“Sok tahu.” Kilah Dara. Padahal memang itu yang dia rasakan saat ini.

“Maafkan aku, Sayang. Aku doakan kamu rajin belajar. Kalau cepat lulus kita bisa menikah. Aku janji tidak akan mengekang kamu untuk bekerja. Asal sesuai porsinya.”

Dara menghempas nafas dalam-dalam. Dia tidak boleh egois. Paham akan kesibukan kekasihnya, dia tidak marah kalau Panca tidak bisa menyusul.

Dia memandang cincin yang bersemat di jemari tangannya. Senyumnya mengembang. Pemuda itu sudah melamarnya di pernikahan kakak sepupunya. Restu sudah di tangan kedua belah pihak.

"Tante Echa, Om Panji," sapa Dara menyalami orangtua dari Panca.

Echa langsung memeluk Dara. Pelukan dari seorang wanita yang sempat menentang hubungan mereka. Bukan hanya itu, Oma Dewi dan seluruh keluarga besarnya ikut mendekati Dara.

"Oma tahu ini terlalu muda buat kamu. Tapi jika ada orang yang serius sama kamu dan pria itu orang baik, Oma tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Oma senang kalau ada pria yang sayang sama kamu. Mama kamu juga menikah seumuran kayak kamu ini. Tapi Oma tidak memaksa kamu mau nikah cepat atau lama."

"Dara, Tante minta maaf akan sikap tempo hari. Saya sadar kebahagiaan Panca adalah yang utama. Saya ibu yang egois hanya memikirkan diri sendiri." ucap Echa menggenggam erat jemari Dara.

"Nak, sini." Panggil Echa pada putranya.

Dara membulatkan matanya. Segenggam buket bunga sudah di tangan Panca. Itu artinya pemuda itu yang memenangkan buketnya.

"Tante...." Echa meletakkan tangan Panca untuk meraih tangan Dara. "Tante merestui kalian." kata Echa kemudian. Dara mengalihkan pandangan ke Panca. Masih ada rasa tidak percaya pada ibu dari kekasihnya.

"Mama dan papa mau jadi saksi? Oma dan semuanya, saya minta izin mau melamar Dara." Panca berlutut di depan Dara. Hanya saja dia tidak melamar memakai cincin. Melainkan bunga yang dia dapatkan dari lemparan pengantin.

"Andara Danuarta, Will you marry me!" Dara melempar pandangan ke orang-orang yang mengelilinginya.

Anggukan dari semua keluarga besarnya membuat dia mantap menerima Panca.

Suara operator bandara mengingatkan untuk naik ke pesawat. Lagi-lagi dia menoleh ke belakang, seperti yang dia tonton di AADC. Kembali dia menarik nafas dalam-dalam. Dara berjalan menuju pesawat.

Panca sedang mengendarai mobilnya. Sesekali melirik ke jam tangannya. Sungguh kemacetan sangat menyita perhatiannya. Panca membuka handphone, ingin menelepon kekasihnya. apakah Dara sudah ada di pesawat atau mungkin masih menunggu.

Panca memandang cincin yang tersemat di jemarinya. Lamaran yang dia berikan saat pernikahan Fajar satu tahun yang lalu. Iya sudah satu tahun mereka menjadi cinta. Atas perjuangannya restu dari keluarga kedua belah pihak. Dulu mamanya sangat menentang hubungan mereka. Ada gadis lain yang berharap kepadanya. Panca harus bekerja keras untuk mendapatkan restu dari orangtuanya dan orang tua Dara.

Mobil akhirnya kembali berjalan ternyata sudah 40 menit dia terjebak macet. Panca melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Mengingat dia juga harus hati-hati karena mobil belum lama di perbaiki. Bisa marah papanya kalau rusak lagi.

Jarak tempat kliennya masih sangat jauh. Apalagi dengan macetnya lalu lintas Jakarta, mengingat sebentar lagi sholat Jumat.

Panca pun masih melajukan kendaraannya dengan baik. Hingga ada adegan salip mobil yang tak terelakkan. Panca merasa rem mobilnya tidak bisa di kendalikan. Dia mencari cara agar tidak membahayakan kendaraan lain. Tak berapa lama ada motor yang menyalip mobilnya.

Panca semakin tidak bisa mengendalikan mobilnya. Sudah tidak terkendali lagi, dia sudah mencoba mengendalikan mobilnya tapi sepertinya nasib naas berpihak padanya. Hingga berputar menabrak pembatas jalan.

Tiba tiba ada ledakan besar dari mobil Panca. Tampak seseorang yang keluar dari mobil tumbuhnya sudah terbakar.

"Dara!" pekiknya.

"Kak Panca!"

Dara yang tertidur di pesawat seketika terbangun. Merasa ada firasat tidak enak. Dia mengelus dadanya seakan dapat mimpi buruk. Di sampingnya ada mamanya tertidur pulas. Dari tadi dia merasa gelisah, bibirnya menyebut nama Panca beberapa kali.

Vira mendengar isakan tangis putrinya ikut terbangun. Bukan hanya itu saja, dia pun membangunkan Dawa sang suami atas yang terjadi pada putri mereka.

"Nak, kamu kenapa?" tanya Vira.

"Aku tadi mimpi terjadi sesuatu sama kak Panca, Ma. Aku takut kalau memang terjadi sesuatu sama kak Panca. Apa kita pulang saja ke Indonesia? Aku mau pulang, Ma." rengek Dara.

"Nak, kamu hanya belum terbiasa jauh dari Panca. Kamu berdoa agar Panca diberi keselamatan di mana pun berada."

"Aku mau pulang! Perasaan ku masih tidak enak." isak Dara.

"Kamu bisa hubungi Panca setelah sampai nanti." Vira masih mencoba menenangkan Dara.

Dara terdiam sejenak. Pandangannya melempar ke jendela pesawat. Perasaannya masih tidak karuan. Dalam hatinya dia berdoa untuk keselamatan Panca. Pelukan mamanya sedikit membuat hatinya tenang. Di samping kanannya Dawa pun mencoba menenangkan hati anak semata wayangnya.

Radar cinta Andara Where stories live. Discover now