Bab 1: Undangan yang Tak Terduga

12 3 0
                                    


Serenith Aurelaris menyesuaikan ikatan rambutnya coklat gelap panjang bergelombang saat ia melangkah keluar dari kafe kecil tempat ia bekerja pagi itu. Kota ini ramai dengan aktivitas-mobil di jalan raya, kerumunan orang yang berbicara, dan desiran kehidupan kota yang tiada henti. Namun, meskipun suasananya sibuk, Serenith merasa terasing, seolah-olah ia hanya menjadi penonton di dunia yang tidak sepenuhnya ia miliki.

Ia berjalan cepat menyusuri jalan yang ramai, pikirannya melayang ke pekerjaan paruh waktu berikutnya, kota berikutnya, kerumunan yang tak bernama lainnya. Hidupnya adalah rangkaian momen-momen singkat, masing-masing hanya sebuah sambungan sementara sebelum ia pergi. Rutinitas ini adalah sebuah kenyamanan yang ia cari, atau mungkin yang dia inginkan. Tidak tahu pasti tetapi dia sudah lama hidup seperti ini. Saat dia memutuskan untuk mulai hidup mandiri.

Saat ia tiba di apartemennya yang kecil, ia menjatuhkan diri ke sofa yang sudah usang dan melihat ponselnya. Ada email baru yang masuk, dengan judul yang menarik perhatiannya: "Undangan Pernikahan Ibumu Tercinta"

Dia menghela nafas pelan, Serenith membuka email tersebut. Pesan itu singkat namun tak terduga. Ibunya, yang jarang dihubungi, akan menikah. Email tersebut menyertakan undangan resmi untuk pernikahan dan alamat sebuah manor yang jauh di luar kota. Kata-kata ibunya ceria dan penuh semangat, tetapi Serenith tidak bisa menghilangkan rasa cemas yang menyelimutinya.

"Aku berharap kamu bisa datang," tulis email itu."Akan sangat berarti bagi kami. Manor ini agak terpencil, tapi sangat indah. Aku menantikan untuk melihatmu di sana."

PS : Aku yakin kau membutuhkan liburan, tempat ini jauh dari peradaban, kurasa kau akan cocok di sini!

Serenith menatap layar, dia merasa tidak yakin. Permintaan mendadak ibunya terasa tidak pada tempatnya, seperti hantu dari masa lalunya yang tiba-tiba muncul.

"Apa aku harus datang?" katanya pada dirinya sendiri. Pemikiran tentang ketidakhadirannya pasti membuat ibunya sangat malu. Terutama, hanya Serenith lah anggota keluarga satu-satunya. "Ah sial"

Dia menelepon beberapa rekan kerjanya dan meminta mereka untuk mengganti hari saat ibunya menikah. Dan ya, itu akhir pekan ini, luar biasa! Bagaimana ibu bisa mengirimkannya hari senin sedangkan dia akan menikah hari minggu.

"Bisa kau menggantikan shift ku untuk sabtu dan minggu?" Tanyanya hati-hati. "Ah tentu aku akan mentraktirmu makan siang minggu depan."

Serenith berhasil menyelesaikan masalah pekerjaan waktunya. Sekarang apa yang harus dikenakan di acara tersebut?

Dia membuka lemari baju tuanya. Menarik sebuah kardus, dan menepiskan debu tipis di atasnya. Dia membukanya.

Sebuah gaun berwarna biru lembut, dilipat rapi di sana. Tahun lalu ibunya mengirimkan gaun ini sebagai hadiah ulang tahun.

Hari-harinya sudah sibuk dengan pekarjaan paruh waktunya, jadi tidak ada waktu dan acara yang tepat untuk mengenakan gaun seperti ini. Saat menerimanya dia hanya bergumam, tentu mana ibunya tahu kehidupan apa yang dia jalani selama ini sehingga dia bisa memberikan hadiah seperti ini.

Dia memutuskan untuk mengemas barang-barangnya dan bersiap untuk perjalanan, menganggapnya sebagai satu lagi kewajiban dalam hidupnya yang harus dipenuhi.

Dia melihat alamat yang tertera di email. Dia tahu kota manor itu berada dan itu sekitar empat jam dari kotanya menggunakan kereta.

Dia membuka kunci blokir nomor ibunya dan mengirim kan pesan, "Aku akan datang" singkat padat. Tidak lama ibunya membalas. "Oh! bagus. Aku akan mengirimkan seseorang untuk menjemputmu, umm kau kemari dengan apa? Akhirnya kau tidak memblokir nomorku"

Serenith mengerang,"Akan ku kirim kan detailnya begitu aku mendapatkan tiket kereta." Dia meletakan ponselnya dan mengabaikan balasan ibunya.

Seorang laki-laki berjas dan nampak kaku menjemputnya sebegitu dia tiba di stasiun.

"Nona Serenith?" Tanyanya sopan. Serenith hanya mengangguk. Dan laki-laki itu mengarahkannya ke mobil.

Perjalanan menuju manor memakan waktu lama dan berliku, membawanya melewati hutan yang padat dan pohon-pohon kuno yang tampaknya membisikkan rahasia. Serenith memilih diam di sepanjang perjalanan.

Saat matahari mulai terbenam, melemparkan bayangan panjang di sepanjang jalan, kegelapan yang semakin mendekat meningkatkan rasa tidak nyaman Serenith. "Aku tidak menyangka jaraknya sejauh ini," pikirnya, melirik jalan yang berkelok di depan. Dia memeriksa lokasi manor di ponselnya lagi. Seharusnya ini adalah tempat wisata, pilihan yang tidak biasa untuk lokasi pernikahan. Perjalanan yang seharusnya hanya satu jam dari stasiun ternyata memakan waktu lebih lama dari yang diharapkan. Setiap belokan di jalan tampaknya membawanya lebih dalam ke wilayah yang tidak dikenal, dikelilingi oleh kanopi pohon yang semakin tebal dan bayangannya..

Pohon-pohon menekan lebih dekat, dahan-dahannya saling mengait di atas untuk menciptakan langit-langit dari kayu dan daun yang saling terkait. Jalannya menjadi semakin sempit, hampir seolah-olah hutan itu sendiri membimbing mereka lebih dalam ke jantungnya. Sinar lampu depan mobil menembus kegelapan, tetapi terasa seolah-olah mereka hanya mencakar permukaan kegelapan pekat. Ketidaknyamanan Serenith tumbuh dengan setiap menit yang berlalu. Udara semakin dingin, Dia merasa hari sudah berganti malam, tapi dia hampir tidak bisa melihat langit di atas sana.

Akhirnya, mobil melewati belokan terakhir, dan di kejauhan, melalui kabut yang semakin mulai turun, Serenith menangkap sekilas sesuatu yang besar dan mengesankan. Nafasnya tertahan di tenggorokan saat dia melihat bayangan bangunan besar menjulang tinggi. Manor itu benar-benar berdiri tinggi dan menakutkan, seperti penjaga gelap yang mengawasi hutan. Ada pemikiran dalam benaknya untuk meminta sang supir berputar kembali ke stasiun dan membiarkannya pulang ke apartemen kecilnya.

Rasa gelisah semakin tidak terkendali ketiak bayangan manor semakin mendekat, menara-menara nya menembus langit, diselimuti kabut. Suatu rasa dingin menjalar di tulang belakang Serenith saat mobil mendekat. Hutan tampaknya menjauh, meninggalkan ruang terbuka di mana manor muncul dari tanah seperti bangunan kuno pada buku sejarah.

Saat mobil mendekati gerbang besi besar yang berderik terbuka dengan suara mengerikan, hati Serenith berdetak kencang di dadanya. Dia tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa setelah dia melangkah masuk, tidak ada jalan kembali.

Mobil melambat dan berhenti di depan pintu oak yang besar. Serenith menatap struktur yang menjulang tinggi, pikirannya berpacu dengan pertanyaan dan keraguan. Sopir berbalik kepadanya dengan senyum sopan, hampir terlalu formal. "Kami telah tiba, Nona Serenith."

Namun sebelum dia bisa mengumpulkan pikirannya, pintu-pintu itu terbuka seolah-olah mengharapkannya, memperlihatkan lobi manor yang redup di dalamnya. Cahaya temaram memantul di sepanjang dinding, mengundangnya untuk melangkah masuk, meninggalkan dunia yang dikenalnya.

Serenith ragu sejenak, tangannya pada gagang pintu mobil. Segalanya dalam dirinya berteriak untuk melarikan diri, untuk kembali ke keamanan kehidupan yang dikenalnya. Namun, dia tahu bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari sesuatu yang tidak pasti.

Dan saat dia melangkah keluar dari mobil, pintu-pintu di belakangnya berderik menutup, mengunci segala kecemasan dan keinginannya untuk melarikan diri. Kenapa dia menjadi penakut seperti ini? Padahal dia tahu apapun yang ada di depan, Serenith tahu dia tidak punya pilihan selain menghadapinya.

"Ini dia," gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya hampir tidak terdengar oleh angin yang berdesir melalui pepohonan. Dia menatap bangunan besar di depannya, menara-menara yang menjulang seolah menyentuh langit. "Pernikahan ibuku... Aku datang."

Pintu-pintu itu terbuka lebih lebar, seolah menyambutnya, dan dengan satu tatapan terakhir ke langit yang semakin gelap, Serenith melangkah maju, siap menghadapi apapun yang menantinya di dalam.

Legacy of ShadowsWhere stories live. Discover now