“Lagi-lagi telat. Telat, telat, dan telat. Niat enggak sebenarnya kamu kerja di sini?”
Ibu Helni langsung memarahiku begitu sampai, toko sudah buka, dan bahkan semua barang-barang sudah dikeluarkan. Satu teman karyawanku juga terlihat santai sambil duduk menunggu pembeli. Biasanya bila tidak ada pembeli ia akan mengelap bagian-bagian yang kotor. Rupanya ia sudah selesai pada tugas apa pun.
“Saya mau beli bakso, laper. Ibu mau dipesankan?”
Aku mengeluarkan rayuan mautku, wanita bersanggul dengan urat leher kebiruan itu perlahan melirik padaku lalu menetralkan suaranya, ia mengangguk.
Aku langsung tersenyum dan pergi, aku memang selalu berhasil untuk mengajaknya berdamai. Senyumku jadi sedikit lebar, langkahku makin gontai memasuki warung bakso yang berada tepat di depan toko Ibu Helni. Jaraknya sekitar sepuluh meter dan hanya dipisahkan jalan raya yang sesekali dipenuhi kendaraan berlalu lalang. Tangan aku angkat sekadar memberi isyarat sebelum berjalan, lalu segera melangkah, tetapi--
“Ikut!”
Entah dari mana seseorang sudah menarikku dan membawa masuk angkot. Aku tergagap dan tak bisa menolak. Semuanya terlalu tiba-tiba, lebih lagi saat mendapati sosok yang menjadi pemilik tangan itu. Lelaki bermanik mata hijau dengan rambut sedikit gondrong, tetapi tetap terlihat tampan dengan kulitnya yang kuning langsat dan bibir bawahnya yang membelah.
“Nona, ini kamu, 'kan?”
“Nona siapa? Lepas!”
“Jangan pura-pura!”
Tangannya masih belum lepas menarikku. Hanya ada aku dan dia di angkot ini? Apa ia baru saja merencanakannya dan membuat angkot sesepi mungkin?
“Nama saya Rahma, Anda salah orang! Lepas!”
“Bohong!”
Ray makin mengeraskan tarikannya, bahkan sudah mirip cekalan. Lelaki ini benar-benar kurang ajar, apa ia tak punyak kerjaan sampai harus mengurusi orang lain?
“Anda mau apa? Saya harus kerja. Jangan halangi jalan saya. Minggir!"
Aku masih berusaha tenang, meski tak urung nadaku mulai meninggi. Lengan berkali-kali coba aku hentakkan, tetapi yang ada lenganku makin memanas karena cekalannya.
“Kita baru tadi malam melakukannya. Apa ingatanmu sependek itu sampai melupakannya?”
Aku mendelik, dadaku makin memanas.
“Melakukan apa, hah? Omong kosong! Saya tak kenal Anda!"
Ray tersenyum sinis, tatapannya makin lekat, dapat aku temui keyakinannya melalui senyum itu.
“Apa sebegitu miripkah sampai suaramu juga sama, Nona Bintang?”
“Saya Rahma, harus berapa kali Saya katakan, hah? Anda salah orang!"
“Tidak mungkin! Kau buktikan dulu. Aku akan melepaskan kalau ada bukti.”
Ia tak kalah sengit mengatakannya. Bibirnya setengah tersenyum sinis. Mendadak aku menggigit lalu mendorongnya. Sudah itu aku memilih keluar dari angkot dengan tubuh setengah meloncat. Orang lain bisa memperlakukan apa pun pada tubun Nona Bintang, tetapi tidak dengan Rahma!
****
Napasku sedikit ngos-ngosan, keringat sebesar biji jagung membanjiriku. Ini melelahkan, meski akhirnya Ray tidak mengejarku, tetapi aku lebih memilih lari. Apa pun topengku haruslah tetap menjadi rahasia. Tak ada siapapun yang bisa tahu, meski itu Ray.
“Kau kenapa?”
Airin sedikit menyenggol lenganku dengan kerutan kening, dia teman kerjaku. Sepertinya ia baru saja melayani pelanggan, ia bahkan belum selesai membuang tumpukan sampah yang kurasa berasal dari dalam tas. Ia menuntunku duduk dan mengisyaratkan untuk membuang sampah.
“Pelanggan di club?” Ia sedikit mengecilkan suaranya, mungkin khawatir Ibu Helni mendengarnya. Wanita itu sudah merengut lagi padaku, mungkin karena baksonya gagal aku beli. Aku tidak mau terlalu mengambil risiko, bisa saja Ray menemuiku lagi. Uh, kenapa juga tadi harus bertemu?
“Dia mengejarku. Dia menyakini aku sebagai Nona Bintang.”
Airin terbelalak, mulutnya menganga. Aku mendadak mendengkus sembari sedikit mengibaskan tangan di depannya. Ini bukan pertama kalinya aku cerita, harusnya ia tak perlu seterkejut itu, bukan?
“Kamu itu harusnya berhenti kerja di sana, Ra. Ntar bisa dituduh pelacur lo. Mau kamu dapat titel itu? Ndak keren tau!”
“Ah, kamu selalu itu-itu saja. Bosan aku, Rin.”
Kukibaskan tangan lagi. Gadis ini memang tidak tahu apa pekerjaan asliku. Yang ia tahu aku hanya bekerja di sini dan bekerja sampingan di sebuah club sebagai waiters, tetapi inilah dia, aku memang tak ingin siapapun tahu.
Assalamualaikum cinta sejati ....
Assalamualaikum kekasih hati ....
Nada Assalamualaikum Beijing dari hp androidku mengalihkan perhatian. Aku angkat, tetapi sebelumnya sudah memilih ke kamar mandi. Dari Ray, tumben dia harus meneleponku. Apa ingin membahas hal tadi? Ah, ini benar-benar melelahkan!
"Kau bisa menemuiku?”
Tanpa basa-basi ia sudah mengajakku. Nadanya sedikit pelan meski masih terdengar ciri khas manjanya. Itu nada yang sama tiap kali ia meminta Nona Bintang melayaninya, tetapi aku Rahma, saatnya menjadi Rahma. Lagipula kenapa harus aku, ada istrinya yang cantik bisa menemaninya. Bukankah mereka sudah berkumpul lagi?
“Na, kamu bisa dengar aku? Please ... aku butuh kamu.”
Suaranya terdengar lebih parau, ada apa dengannya? Apa sikapku yang mengabaikan perkatannya menyinggungnya?
“Aku kerja, kau tau, ‘kan, aku punyak kesibukan sendiri.”
“Na, dunia seperti itu membosankan. Ayolah, kita tidak pernah sehari pun melewatkan waktu bersama selain malam. Aku juga ingin bicara.”
“Bicara apa?”
Aku masih berusaha tegas meski jujur sedikit deg-degan. Ini bahaya, aku tahu Ray. Lelaki itu sedikit banyak bisa sensetif, apa ia hendak melakukan sesuatu karena masih menyakini tentang dugaan tadi? Apa ia akan memaksaku mengaku kalau Rahma dan Nona Bintang adalah orang yang sama? Oh no! Aku saja tak mengakui itu. Bagaimana mungkin ia bisa menghakimi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penghibur
RomanceBLURB Setelah kepergian ayahnya dan luka di masa lalu, Ervina Rahma terpaksa menjadi wanita penghibur. Ia menggunakan nama Nona Bintang untuk menyamarkan identitas aslinya, sampai akhirnya ia bertemu dengan Rayhan Bagaskara, lelaki Arogant yang mema...