Ceroboh

7 2 0
                                    

"Apa ini?"

Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray?

Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan ....

Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban?

Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.

"Iya, Bu?"

"Ini aku, Kak Rahma, Laila."

"Oh kamu, Dik. Ya?"

"Kakak sehat?"

"Ya, Alhamdulillah."

"Kakak mau pulang tahun ini?"

"Iya, Dik."

Tentu, idul fitri kemarin aku tidak pulang, bagaimana mungkin sekarang tidak lagi? Meski dalam waktu dekat ini tidak ada perayaan-perayaan tertentu tapi setahun lalu aku pernah bilang akan pulang setahun lagi dan itu artinya tahun ini. Aku tidak mau lagi-lagi hanya memberi harapan tak pasti pada Lail terutama pada Ibu.

"Pastikan, ya, Kak, kami sudah kangen."

Kali ini suaranya lebih pelan dan seperti menahan tangis? Ada apa dengannya? Apa dia secengeng itu?

"Pasti, tapi kau baik-baik saja, 'kan?"

"Kami kangen Kakak, Ibu juga sampai-"

"Sampai apa, Dik? Ibu tidak apa-apa, 'kan? Beliau sehat, 'kan? Bagaimana dengan obatnya? Jangan sampai habis. Bilang sama Kakak kalau sudah tinggal sedikit, biar lebih dulu dipesankan."

Aku tidak bisa lagi menahan bibirku dari buruan pertanyaan. Aku meninggalkan Ibu dalam keadaan sakit dan itu jelas tidak tidak perlu lagi ada pertanyaan mengapa aku terkesan khawatir, aku tak mau Ibu kenapa-napa.

"Ibu baik-baik saja, Kak. Tapi ...."

Sampai di situ Lail menggantung kalimatnya lagi. Aku menunggu dengan cemas, remasan sebelah tanganku yang lain bahkan sampai membuat ujung bajuku mengkerut. Namun, sampai beberapa menit masih saja tak ada kelanjutan kalimat dari Lail. Aduh, Dik, ayolah ... jangan siksa kakak dengan kecemasan ini.

"Kalau Kakak sudah cukup uang, Lail lebih senang Kakak pulang. Tidak perlu banyak ole-ole, kedatangan Kakak adalah oleh-oleh terbaik untuk kami, kami rindu, Kak."

Tidak, ini pasti bohong! Aku menangkap ada sesuatu yang disembunyikan adikku itu. Apa ia sudah sepintar itu membohongiku? Umurnya baru tujuh belas tahun, apa kecerdasannya mendewasakan cara berpikirnya juga? Oh ayolah, tidak selamanya berbohong dalam keadaan seperti ini dikatakan dewasa juga, bukan? Aku tak suka bila itu berhubungan dengan Ibu, dan Lail yang pernah tinggal belasan tahun denganku pasti lebih tahu alasannya!

"Tunggu sajalah, tidak mungkin satu minggu Kakak pastikan sudah ada di sana."

"InsyaAllah, Kak."

Ia seolah menohokku dengan ucapannya. Ah, sepertinya aku sudah terlalu terbiasa tanpa ucapan itu. Padahal ini sosok Rahma.

"Ya, insyaAllah dalam satu minggu."

"Aamiin semoga sampai, ya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam."

Sudah itu aku langsung menyudahinya. Bertanya tentang Ibu pada Lail? Tidak! Bocah itu sudah terlalu pintar sekarang. Aku tidak tahu apa karena ia mewarisi kepintaran itu dari Ibu. Selalu mengatakan baik-baik saja, sekalipun aku tahu tak selamanya defenisi baik menunjukkan keadaan sebenarnya, bahkan kadang harus bertolak belakang dengan kenyatannya.

Tuhan ... apa lagi ini? Setelah kesalahan hubungan yang tadi kulakukan tanpa memakai kondom, Engkau hendak menumpukinya dengan Ibu? Namun ... oh tidak, itu dua hal yang berbeda, kond*m itu milik Nona Bintang dan Ibu milik Rahma.

Sedikit kulirik angka yang tertera dalam buku ATM.

75 juta tiga ratus lima puluh lima ribu. Lumayan dan kurasa cukup untuk oleh-oleh pulang dan modal warung kecil-kecilan buat Ibu sekaligus percetakan undangan sesuai feshionku.

Tentu saja setelah sebelumnya aku memisahkan nominal paling besar, aku tidak mau ibu mencurigaiku karena jumlah uang yang tak wajar. Aku hanya perlu menyimpan uang itu sekadar berjaga-jaga bila ada sesuatu yang tak diinginkan.

Mulai kumasukkan lagi dalam dompet, memperhatikan lemari yang sebentar lagi pasti kosong, keputusanku sudah final. Pu-la-ng.



Wanita PenghiburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang