Anarkali berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke gang sempit di Jaipur, dengan keraguan yang menggerogoti hatinya. Angin malam yang lembut menyapu wajahnya, membawa serta aroma bunga mawar yang mekar di halaman rumahnya. Namun, tak ada yang bisa menenangkan keresahan yang mengisi hatinya. Sudah enam bulan sejak tunangannya, Harshvadhan, menghilang tanpa jejak di Pakistan. Meskipun keluarganya terus berharap, Anarkali merasa putus asa setiap kali memandang cincin pertunangannya yang kini hanya menjadi lambang kehilangan.
Setiap malam, ia terjaga, memikirkan Harshvadhan. Di kamarnya yang sederhana namun penuh kenangan, foto-foto mereka berdua bersama terpajang di dinding, menyaksikan betapa bahagianya mereka sebelum kejadian itu. Ia duduk di kursi kayu tua, memandang ke luar jendela dengan pandangan kosong. Cahaya bulan menembus celah-celah tirai, menerangi air mata yang mengalir di pipinya.
Ibunya sering memandangnya dengan penuh kasihan dan sekaligus kemarahan. "Anarkali, kapan kau akan melupakan dia? Harshvadhan sudah pergi, dan kita bahkan tidak tahu apakah dia masih hidup," ujar ibunya suatu hari, suaranya terdengar tajam seperti pisau. Anarkali hanya diam, menahan air matanya, memilih untuk tidak menjawab. Setiap kata yang keluar dari mulut ibunya seperti duri yang menusuk hatinya. Dia tahu bahwa mereka hanya ingin yang terbaik untuknya, tetapi bagaimana mungkin dia melupakan Harshvadhan? Cinta mereka begitu dalam, dan dia merasa tidak bisa melanjutkan hidup tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya.
Hari-harinya berlalu dalam kebosanan yang monoton, hanya ditemani oleh keributan pasar di kejauhan dan derap langkah orang yang berlalu-lalang di gang depan rumahnya. Terkadang, Anarkali duduk di dekat jendela, mendengarkan anak-anak bermain di luar, suara pedagang yang memanggil-manggil, dan bunyi lonceng sepeda yang melintas. Semua ini terasa seperti kontras dengan perasaannya yang kosong dan sepi. Hingga suatu hari, sebuah berita mengguncang dunianya. Anarkali mendengar kabar tentang seorang wartawan India yang melihat Harshvadhan di Lahore. Detak jantungnya berdegup kencang, dan ia merasakan semangat baru yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.
“Aku harus pergi mencarinya,” bisiknya kepada dirinya sendiri, meskipun dia tahu betul risiko yang ada di depan mata. Pikiran untuk pergi ke Pakistan, tanah yang tidak dikenalnya, tempat yang dianggap penuh bahaya, terasa sangat menakutkan. Tapi apa yang lebih menakutkan daripada kehilangan Harshvadhan selamanya?
Ayahnya, seorang pria tradisional yang keras kepala, menentang idenya dengan tegas. "Pakistan bukan tempat bagi seorang wanita India, terlebih lagi, untuk mencarinya di sana tanpa bantuan. Kau gila!" seru ayahnya, wajahnya merah padam. Suaranya menggema di ruang tamu mereka yang luas, membuat Anarkali merasa terpojok.
"Ayah, aku harus tahu. Jika dia masih hidup, aku tidak bisa tinggal diam," jawab Anarkali, suaranya gemetar tapi penuh tekad.
"Apa yang kau harapkan akan kau temukan di sana, Anarkali? Kau hanya akan menempatkan dirimu dalam bahaya," lanjut ayahnya dengan suara lebih lembut, seakan mencoba meredakan emosinya.
Namun, tekad Anarkali tak tergoyahkan. Baginya, menemukan Harshvadhan adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri ketidakpastian yang telah menguasai hidupnya. "Aku lebih baik mengambil risiko daripada menunggu di sini tanpa melakukan apa-apa," jawabnya tegas.
Setelah pertengkaran panjang dengan keluarganya, Anarkali akhirnya memutuskan untuk pergi dengan atau tanpa restu mereka. Dia berkemas dan menyiapkan paspor serta beberapa barang berharga lainnya, termasuk foto Harshvadhan, berharap ini akan membantunya di Pakistan. Dia menggenggam foto itu erat-erat, menatap mata Harshvadhan yang tampak hidup dalam gambar. "Aku akan menemukannya," gumamnya pada dirinya sendiri, suaranya penuh keyakinan yang baru ditemukan.
Keesokan harinya, dengan langkah pasti, dia naik kereta menuju Amritsar, tempat terdekat sebelum melewati perbatasan menuju Lahore. Sepanjang perjalanan, Anarkali terpesona dengan pemandangan yang berganti-ganti; dari sawah hijau yang membentang luas hingga perbukitan yang menjulang tinggi, seolah-olah memagari jalan menuju tujuannya. Burung-burung terbang di atasnya, seakan memberi pertanda baik untuk petualangannya. Meski hatinya berat, ada kegembiraan dalam ketidakpastian ini.
Di dalam kereta, dia duduk bersebelahan dengan seorang pria muda, berpenampilan rapi dengan rambut hitam tebal yang tersisir ke belakang. Ia memperkenalkan diri sebagai Azaan, seorang pria Pakistan yang pulang ke Lahore setelah kunjungan singkat ke India. Mereka mulai berbincang tentang berbagai hal; tentang cuaca, perjalanan, dan pada akhirnya, tentang keindahan Kashmir, tempat yang sama-sama mereka kagumi. Azaan berbicara dengan penuh semangat tentang pegunungan bersalju, danau-danau yang tenang, dan kebun bunga yang menutupi tanah dengan warna-warni cerah.
"Apakah kau pernah mengunjungi Srinagar?" tanya Azaan, matanya berkilat saat ia menceritakan perjalanannya.
"Belum," jawab Anarkali, tersenyum samar. "Tapi aku selalu ingin pergi ke sana. Sepertinya tempat yang sangat indah."
Azaan tertawa kecil, "Lebih dari sekedar indah. Itu seperti surga di bumi." Namun, di balik percakapan yang ringan ini, Azaan merasakan ada sesuatu yang disembunyikan Anarkali. Mata Anarkali, meski tersenyum, menyiratkan kegelisahan.
"Kenapa kau mau pergi ke Lahore, seorang diri?" tanya Azaan akhirnya, mencoba untuk bersikap santai, tapi jelas terdengar kekhawatiran dalam nada suaranya.
Anarkali tersenyum tipis. "Aku punya urusan yang harus kuselesaikan di sana," jawabnya, berharap tidak perlu memberikan lebih banyak penjelasan.
Azaan menatapnya dalam-dalam, seakan mencoba membaca pikirannya. "Kamu pasti tahu, perjalanan ini tidak mudah. Banyak risiko yang harus dihadapi."
Anarkali mengangguk pelan. "Aku tahu, tapi aku tidak punya pilihan lain."
Azaan terdiam sejenak, memandangi Anarkali dengan rasa ingin tahu yang lebih besar. "Apakah ada yang bisa kubantu?" tanyanya.
Anarkali terkejut oleh tawaran itu, tapi merasa bahwa ini bukan saatnya untuk mempercayai seseorang yang baru saja ia temui. "Terima kasih, tapi aku rasa ini adalah sesuatu yang harus kulakukan sendiri," katanya dengan tegas.
Kereta terus melaju, dan obrolan mereka berangsur-angsur terhenti. Azaan merasa ada misteri yang tersembunyi di balik keinginan Anarkali pergi ke Lahore. Dia merasa tertarik sekaligus ingin melindungi perempuan ini, yang tampak begitu berani namun rapuh.
Saat malam tiba, kereta perlahan mendekati perbatasan. Suara-suara kereta yang berderak, bercampur dengan suara peluit dan teriakan petugas di stasiun perbatasan, membuat suasana semakin tegang. Anarkali mengeluarkan nafas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu, dari titik ini, tidak ada jalan untuk kembali.
Namun, ketika ia melangkah keluar dari kereta, di antara kerumunan orang yang sibuk dengan barang-barang mereka, ia merasa bayang-bayang Harshvadhan menunggunya di suatu tempat jauh di depan. Di tengah keramaian dan hiruk-pikuk, ia merasa sendirian, tapi tak gentar. Pencariannya baru saja dimulai, dan apapun yang terjadi, ia tidak akan berhenti sampai menemukan Harshvadhan — atau kebenaran di balik kepergiannya.
💕
Hi! It's my first story. Please support 💕
YOU ARE READING
MANZIL : Sebuah Perjalanan
RomanceAnarkali, gadis muda India, nekat menyeberangi perbatasan secara ilegal ke Pakistan setelah tunangannya, Harshvadhan, hilang tanpa kabar selama enam bulan. Berjuang tanpa dukungan keluarga dan dana yang terbatas, ia bertemu Azaan, pria Pakistan yang...