"Ternyata, tidak semua rumah bisa menjadi tempat untuk pulang."
Serinika, gadis 16 tahun yang baru saja memasuki masa SMA, terjebak dalam dilema yang tak berujung. Terpisah antara dua rumah yang seharusnya memberinya perlindungan, Rini justru merasa...
Malam sudah larut ketika Rini berdiri di ambang pintu kamarnya, menatap kosong ke luar jendela yang menghadap ke halaman belakang rumah ibunya. Bulan bersinar samar di antara awan hitam, menerangi sudut-sudut gelap yang tidak pernah benar-benar terasa seperti rumah. Setiap detik yang berlalu di tempat ini, setiap nafsu dan kecemasan yang mengendap, membuat Rini merasa semakin jauh dari tempat yang ia sebut rumah.
Ia masih ingat dengan jelas hari-hari ketika ibunya dan ayahnya masih bersama. Waktu itu, setiap sudut rumah terasa penuh dengan kebahagiaan dan rasa aman. Namun, semuanya hancur seiring berjalannya waktu dan keputusan yang diambil oleh kedua orang tuanya—keputusan yang kini membuatnya terjebak dalam dua dunia yang tidak pernah benar-benar bisa ia sebut rumah.
Di rumah ibunya, Rini sering kali merasa tertekan oleh kehadiran ayah tirinya. Meski ia berusaha bersikap baik, tatapan dan perilaku ayah tiri yang membuatnya merasa tidak nyaman terus menghantuinya. Di rumah ayahnya, ibu tiri dan adik tirinya memperlakukan Rini dengan dingin dan kejam, seolah ia hanyalah pengganggu yang tidak diinginkan. Kedua tempat itu hanya membuatnya semakin merasa seperti seorang asing di dunia yang seharusnya menjadi miliknya.
Ketika semua yang tersisa hanyalah kesepian dan keputusasaan, Rini bertemu Ardi, seorang pemuda dengan luka yang serupa. Pertemuan mereka seperti sebuah cahaya dalam kegelapan—sebuah pengingat bahwa ada orang lain yang juga merasa kehilangan, yang juga mencari makna di balik istilah "rumah." Namun, seiring waktu, perasaan yang mereka kembangkan satu sama lain mulai membingungkan Rini.
Rini menatap langit malam, jauh di dalam kegelapan atas langit ia bertanya kepada Tuhan, "Tuhan, kemana hati ini akan pulang?, jika tidak di rumah ibu dan ayah, apakah aku harus pulang ke rumah Mu?" air mata Rini menetes di pipi halusnya. Kesepian di hatinya lebih dingin dari angin malam yang memeluk tubuhnya malam ini. Rini memejamkan mata, menyebut nama seseorang yang sangat dia harapkan bisa datang memberinya kehangatan dalam hatinya saat itu.
Rini merasakan seseorang datang menuju padanya, entah siapa itu, ayahnya, ibunya atau kah Ardian?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.