Bab 7. Dekat yang Menggoda

219 37 3
                                    

Pagi keempat datang dengan atmosfer yang berbeda. Kairo bangun dengan tekad yang makin kuat. Setiap hari yang berlalu membuatnya makin yakin bahwa Willow adalah seseorang yang spesial—tidak seperti gadis-gadis lain yang mudah jatuh ke dalam pesonanya. Hari ini, dia tahu, harus menjadi hari di mana dia melangkah lebih jauh, menguji batasan Willow dengan cara yang lebih langsung dan berani.

Sementara itu, Willow bangun dengan firasat tidak menyenangkan. Sudah tiga hari berlalu, dan Kairo belum menunjukkan tanda-tanda menyerah. Sebaliknya, dia merasa Kairo makin intens dalam usahanya, seolah ingin melihat seberapa jauh dia bisa bertahan. Tapi kali ini, dia bertekad untuk tidak membiarkan Kairo menang dengan mudah.

**

Kairo sudah menunggu di depan pintu gedung fakultas ketika Willow tiba. Ia tampak santai, bersandar pada dinding dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Namun, ada sesuatu dalam cara Kairo berdiri yang membuat Willow merasa waspada—seolah dia sudah merencanakan sesuatu yang lebih dari biasanya.

"Selamat pagi," sapa Kairo begitu Willow mendekat. Senyum yang terlukis di wajahnya tampak lebih misterius dari biasanya.

Willow hanya mengangguk singkat, mencoba untuk tetap acuh tak acuh. "Apa lagi sekarang, Kairo? Aku nggak punya waktu untuk main."

Kairo tertawa kecil, melangkah mendekat dengan gerakan halus. "Hari ini aku nggak bawa kopi, kalau itu yang kamu khawatirkan," katanya sambil mengangkat kedua tangannya, menunjukkan bahwa dia tidak membawa apa-apa. Tapi kemudian, dengan cepat dia meraih lengan Willow, menariknya lebih dekat dengan kecepatan yang membuat Willow tidak sempat mengelak.

Willow terkejut dengan tindakan Kairo yang tiba-tiba. "Kai, lepasin!" serunya, mencoba menarik tangannya, tetapi cengkeraman Kairo kuat dan penuh kontrol.

Kairo menunduk sedikit, menatap dalam ke mata Willow. "Aku cuma mau kamu dengerin aku bentar," bisiknya, suaranya rendah dan menggoda. "Aku serius, Wil. Dan hari ini, aku akan membuktikan seberapa jauh aku bisa pergi untuk mendapatkan perhatian kamu."

Willow merasakan jantungnya berdegup kencang, akan tetapi dia tidak ingin Kairo melihat bahwa dia mulai terpengaruh. Dia menegakkan bahunya, berusaha menunjukkan ketegasan. "Aku nggak tertarik dengan permainan ini, Kai. Lepasin aku sekarang."

Akan tetapi Kairo tidak segera melepaskannya. Sebaliknya, Ia malah semakin mendekat, membuat jarak di antara mereka hampir tidak ada lagi. "Aku nggak akan nyerah. Kamu bisa menolak, tapi kamu juga tahu kalau ada sesuatu di antara kita yang nggak bisa kamu abaikan."

Willow menahan napas, merasakan aroma khas dari parfum Kairo yang menguar begitu dekat. Ia mencoba melangkah mundur, tapi Kairo tidak memberinya ruang untuk kabur. Tanpa berkata apa-apa lagi, Kairo mengangkat tangannya yang bebas dan dengan lembut menyentuh sisi wajah Willow, jemarinya menyusuri garis rahangnya dengan sentuhan yang terasa hampir seperti sentuhan hantu.

"Kai ..." suara Willow hampir berbisik, merasakan ketegangan yang membakar di antara mereka.

"Kamu bisa pura-pura nggak ngerasain ini, tapi aku tau kamu tau," bisik Kairo, suaranya terdengar semakin dalam. Jemarinya perlahan bergerak dari rahang Willow ke lehernya, menyentuh kulit halus di bawah telinganya.

Willow merasa seperti tubuhnya terkunci di tempat. Ia tahu Ia harus menarik diri, menolak Kairo sekuat tenaga, tapi sentuhan pria itu begitu lembut dan hipnotis, membuatnya merasa seperti sedang berada di bawah pengaruh mantra. Namun, sebelum Kairo bisa melangkah lebih jauh, Willow akhirnya menemukan kekuatannya.

Ia mendorong Kairo dengan keras, cukup untuk membuat pria itu mundur beberapa langkah. "Jangan pernah lakuin itu lagi, Kairo," katanya dengan nada yang lebih tajam daripada yang pernah Ia gunakan sebelumnya. "Aku nggak akan terjebak dalam permainan kamu."

Kairo tersenyum samar, mengangkat tangannya sebagai tanda menyerah. "Aku nggak akan memaksa kamu. Tapi aku juga nggak akan berhenti."

***

Hari itu berjalan dengan cara yang membuat Willow terus merasa terganggu. Setiap kali Ia melihat Kairo, Ia merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk—antara marah, bingung, dan sesuatu yang Ia tidak ingin akui sebagai ketertarikan. Kairo memang berhenti mencoba menyentuhnya lagi, tetapi pandangannya selalu menelusuri setiap gerak-geriknya, seolah-olah dia adalah sebuah misteri yang ingin dia pecahkan.

Ketika kelas pagi selesai, Willow segera bergegas ke luar dari gedung, berharap bisa melarikan diri sebelum Kairo mendapat kesempatan lain untuk mendekatinya. Dia berencana ke perpustakaan sambil menunggu kelas berikutnya yang masih satu jam lagi. Namun, begitu ia keluar dari pintu, ia merasakan kehadiran Kairo di belakangnya. Ia menoleh, dan benar saja, pria itu berjalan dengan santai mengikutinya.

"Kemana sih buru-buru?" tanya Kairo, suaranya terdengar ringan tapi dengan nada yang membuat Willow merasa waspada.

Willow tidak menjawab, mempercepat langkahnya menuju parkiran. Namun, Kairo tetap mengikutinya, membuat Willow merasa seperti ia sedang diburu. Begitu sampai di parkiran, Willow segera menuju mobilnya, berusaha membuka pintu secepat mungkin. Tapi sebelum ia sempat masuk, Kairo sudah ada di sampingnya, menahan pintu mobil dengan tangannya.

"Kairo, mau kamu apa sih?" seru Willow, merasa frustrasi dengan keteguhan pria ini.

Kairo menatapnya dengan intens, menempatkan dirinya lebih dekat lagi, hingga tubuh mereka hampir bersentuhan. "Aku mau kamu mengakui sesuatu, Wil."

Willow mendongak, bertemu dengan tatapan Kairo yang begitu dalam, seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi tertahan. "Mengakui apa?" tanyanya, meski ia bisa merasakan bahwa ia tahu jawabannya.

"Aku mau kamu mengakui kalau kamu juga merasakan ini," bisik Kairo, suaranya begitu dekat hingga Willow bisa merasakan hembusan nafasnya. "Kalau ada sesuatu di antara kita, sesuatu yang lebih dari sekadar permainan."

Willow ingin menyangkalnya, ingin menepis pernyataan itu dengan keras. Akan tetapi ketika Kairo menggeser tangannya, meraih pinggangnya dengan sentuhan yang kuat namun lembut, ia merasakan detak jantungnya makin cepat.

"Kairo ... aku nggak ..." Willow mencoba berbicara, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan.

"Kamu bisa mengelak sekeras apapun, tapi aku akan terus di sini. Sampai kamu bisa mengakui apa yang sebenarnya kamu rasain," Kairo berkata dengan tegas, menggenggam pinggang Willow sedikit lebih erat, tapi tetap memberi ruang bagi Willow untuk mundur jika ia mau.

Willow menutup matanya, mencoba menenangkan diri, mencoba menemukan cara untuk menghentikan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Tapi ketika ia membuka matanya lagi, melihat ketegasan di wajah Kairo, ia tahu bahwa ia tidak bisa lagi mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya—perasaan yang ia tak pernah ingin akui.

Namun, sebelum ia bisa merespons, Kairo melepaskan genggamannya, mundur selangkah dan memberi Willow ruang untuk masuk ke mobilnya. "Aku siap menunggu," katanya pelan, dengan senyum yang lebih lembut kali ini. "Sampai kamu siap mengakui itu."

Willow hanya bisa mengangguk pelan sebelum masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Saat ia melaju pergi menuju gedung perpustakaan, perasaannya masih campur aduk—marah, bingung, tapi juga sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatnya tidak bisa berhenti memikirkan Kairo.

Kairo menatap mobil Willow yang menjauh, dengan senyum puas di wajahnya. Dia tahu bahwa hari ini, dia telah melangkah lebih dekat ke tujuan utamanya—dan dia tidak akan berhenti sampai Willow benar-benar jatuh ke dalam pelukannya.

***

Sepi amat ya kalau update di WP tuh, lebih rame di Karyakarsa padahal di sana berbayar.

Mungkin karena para readers rezekinya melimpah, jadi mau berbagi dengan penulis, Aamiin.

Yuk vote dan komen lagi.

Bite Me SoftlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang