"Kenapa, dek? Sedih gitu," tanya laki-laki yang sedang mengendarai becak. Matanya sesekali melirik gadis yang duduk di sebelahnya, terpaku dan menatap kosong ke jalanan yang mereka lalui.
Saat itu, sore hari. Laki-laki berpenampilan layak preman itu memang kerap kali mengantarnya pulang. Sudah beberapa bulan sepertinya mereka kenal. Dan beberapa kali pula laki-laki itu menggodanya, bertanya hal-hal kecil untuk menarik perhatian sang gadis yang selalu tampak diam dan cuek atas kehadirannya.
Namun, kali ini. Gadis itu berbeda, dia terang-terangan menatapnya pada sang lelaki. Sang laki-laki makin tersenyum, girang, mungkin lampu hijau akan terbuka sebentar lagi. Pikirannya.
"Kayaknya..." kata sang gadis memulai pembicaraan, sang lelaki semakin tersenyum, menunggu dengan sabar lanjutan sang gadis. Mulutnya ikut terbuka, greget menunggu kelanjutan kalimat.
"Kayaknya...?"
"Kayaknya... Becak ini makin kecil, deh. Sejak kapan supir dengan penumpang dempetan gini. Bisa geser lagi gak!" katanya dengan datar, mungkin sedikit tajam. Sang lelaki gelagapan. Dia memundurkan tubuhnya dari sang gadis. Memang benar, dari awal ia memang duduk sedikit mendekat pada sang gadis.
Ukuran becak pun sengaja ia ubah agar bisa berdekatan, berkenalan, jatuh cinta, dan menikah. Namun, angan-angan itu pupus, setelah sang gadis menyadari ukuran becak yang berbeda dari biasanya.
Apa tadi karena bahu mereka beradu, ya?
"Haha," sang lelaki tertawa, "gak kok, ukuran yang biasa kok ini," katanya dengan meyakinkan. Sang gadis hanya melengos, kemudian memberhentikan becak yang berjalan, dan ia memilih untuk turun di sana.
"Lho, kok turun disini. Rumah kamu kan bukan disini." Sang lelaki memberhentikan becaknya, matanya menatap bingung. Bukannya becak akan berhenti saat sampai di tujuannya. Tapi kok si gadis berhenti disini.
"Gak usah banyak tanya. Lagian aku kok yang hendak pergi," ujar sang gadis, membayar seperti biasanya dan tentunya akan di tolak seperti biasanya oleh sang lelaki.
Malas berdebat yang berakhir ia yang kalah, sang gadis pergi dan masuk ke gang. Menuju rumah tempat ia janjian dengan sang teman.
*
Esoknya, si gadis kembali pulang ke rumahnya. Masih menaiki kendaraan yang sama, tetapi dengan supir yang berbeda. Ia sedikit bertanya-tanya, kemana si lelaki yang selalu mengantarnya pulang. Sedikit kecewa ia karena bukan laki-laki itu yang mengantarnya.
Apakah kini ia mulai menyukai kehadirannya?
Selama perjalanan si gadis terlihat murung, terlebih mengingat kembali kata-kata temannya yang menceramahi ia akan sikap cueknya yang berlebihan.
"Eh, aku liat, Abang itu suka kamu, lho?" kata teman sang gadis di suatu hari saat mereka bertemu.
"Siapa?"
"Yang sering nganterin kamu pulang,"
"Oh, biasa aja. Ngapain juga ia suka sama aku. Aku kan jelek, gak secantik kamu apalagi cewek-cewek lain."
"Tuh, kan. Gitu lagi. Coba, deh, pikir. Kenapa dia sering ngaterin kamu. Godaan-godain kamu. Padahal secara tampang, dia kan kek preman gitu. Gak etis kan preman tapi narik becak. Mana aku liat-liat penumpang yang dia bawa cuma kamu seorang lagi."
Karena kata itu, si gadis terdiam. Merutuki sikapnya yang memang keterlaluan. Tapi dalam sudut pandang si gadis, ia bersikap seperti itu karena ia malu, dan gugup jika bertemu dengan laki-laki. Apalagi jika laki-laki itu berdandan seperti preman, ia lebih ketakutan duluan sebelum menyadari dia sudah jatuh cinta diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asam Manis Yuan Naura
Teen FictionYuan itu melabeli dirinya sebagai cowok terperfect di dunia. Tapi bagi Naura, Yuan tidak lebih seperti cowok terfuck di dunia. *** Berawal dari ancama sang mama. Naura nekat kabur ke ibu kota sambil membawa kartu nama misterius yang ia curi dari san...