Bagian 2: Perundingan

439 92 7
                                    

Update lagi, hehe. Komporin ya, asal jangan sampai meledug!


RHAE's POV


***

"Serius habis nikah nanti lo mau langsung ngejalanin long distance marriage?"


Pertanyaan Dipta aku jawab dengan anggukan mantap. Dia kemudian melirik Vasha, seolah jawabanku adalah sesuatu yang aneh. Vasha sendiri masih melongo. Ekspresinya lucu banget sampai aku nggak tahan buat menyengir lebar.

Saat ini, aku dan dua sahabatku sedang berada di kafe Eighty Nine di daerah Kemang. Kebetulan kami baru menengok bayi teman kuliah kami di RSPP. Berhubung kerjaan lagi nggak padat, kami memutuskan buat ngopi bareng sebelum kembali ke kantor masing-masing.

"LDM tuh idenya siapa, sih? Elo? Atau Bang Tama?" tanya Vasha.

"Gue."

"Astaga. Gue tahu sih, lo anaknya rada sinting, Rhae, tapi masa iya lo bikin decision yang nggak pakai akal sehat kayak gini, sih?" tanya Vasha. "Ini pernikahan lho, Rhaenyta Syifa Ibrahim Juanda. Per-ni-ka-han!"

"Kenapa sih sama LDM?" tanyaku. "Ada masalah? Banyak kok orang yang LDR dan LDM, oke-oke aja, tuh."

"Ya ada lah, kocak!" Dipta menggeleng, tak habis pikir. "Lo tahu sendiri Bang Tama belum move on, bisa-bisanya lo ngide buat LDM-an—Tama tinggal di Bandung sedangkan lo tinggal di Jakarta? Kalau dia balik ke mantannya, apa kabar pernikahan lo?"

"Itu mah urusan nanti."

"Mana bisa kayak gitu, Rhae!" kali ini Dipta nyaris berteriak frustrasi.

Sebentar... perasaan yang mau nikah gue, kenapa yang kelihatannya stres malah Dipta, yha? Aneh. "I'll be fine. Memang takdirnya harus let them be happy, ya udah," tegasku.

"Maksudnya lo mau cerai aja gitu?" tanya Vasha.

Lagi, aku menjawab dengan anggukan. "Kalau memang diperlukan," tambahku.

Dipta refleks menyahut. "Allahu Akbar."

"Masya Allah," selaku cepat. "Tumben lo ingat Tuhan, padahal salat aja jarang."

"Sembarangan. Gue udah mulai rajin subuhan ya." Dipta mendengus sebal.

"Thanks to me, dong. Kasih kredit lah, kan gara-gara miscall gue, lo bisa sadar di waktu subuh," pintaku.

"Mana ada! Thanks to Dinda. Dia yang tiap pagi gedor-gedor pintu kamar gue buat ngebangunin subuhan."

"Jangan terkecoh sama Rhae yang mengalihkan topik, Dip." Vasha membongkar taktikku, membuatku menyengir jail. "Sekarang ini kita harus bawa Rhae ke jalan yang benar, nih."

"Jalan yang benar nggak selalu lurus anyway, guys." Aku mengingatkan. "Kadang berkelok-kelok juga jalan yang benar, membawa kita sampai tujuan."

"Lo aja nggak punya tujuan, gimana mau sampai?"

"Siapa bilang gue nggak punya tujuan?" elakku. "Gue punya, tapi tujuannya bukan pernikahan."

"Aturan sih, lo jangan terima perjodohan itu kalau memang nggak merasa sanggup." Vasha menghela napas panjang. "Pernikahan bukan main-main."

"Gue nggak bilang main-main, Sha."

Vasha memutar bola mata dengan malas. "You don't say it, Rhae. You do it."

"Hari gini jangan kalah sama tong sampah lah, Rhae," Dipta mulai sok memberikan petuah. "Tong sampah aja ada isinya, ya kali otak lo kosong melompong."

Aku berdecak. "Tong sampah banget?"

Out of the BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang