Bagian 1: Permulaan

1.2K 122 7
                                    

TAMA'S POV


Buat beberapa keluarga, perjodohan adalah hal yang umum. Termasuk di keluarga gue. Nyokap dan bokap gue menikah karena perjodohan, sampai sekarang pernikahannya langgeng, dan nggak pernah ada masalah. Dua kakak perempuan gue juga dijodohkan sama laki-laki pilihan orangtua, their marriage life is beyond happy, sependek yang gue tahu.

Dari dulu, gue udah akrab sama yang namanya kisah perjodohan. Beranjak dewasa, gue sadar kalau kemungkinan besar, gue akan menikah dengan cara dijodohkan. Gara-gara itu, gue jadi rajin gonta-ganti pacar. Dari zaman SMA malah. Gue puas-puasin pacaran, biar udah nikah nanti, gue nggak penasaran sama yang namanya cewek.

Biasanya gue memacari cewek karena satu alasan aja: cantik. Makanya, gue dicap playboy karena setiap kali gue punya pacar, pasti cantik, dan pasti hubungannya nggak langgeng, karena nggak berlandaskan cinta. Cuma suka-sukaan doang, begitu udah pacaran dan bosan, gue akan pergi.

Gue baru ngerasain yang namanya jatuh cinta sejak mengenal Amiya. Sebelum kenal dia, gue cuma pacaran atas dasar suka aja, bukan cinta. Bahkan setelah Amiya mengalami kecelakaan dan fisiknya nggak lagi sempurna, gue tetap cinta sama dia.

Gue juga nggak ngerti kenapa begitu.

Pertama kali gue confess ke Amiya, dia nganggap gue cuma bercanda. Semakin gue seriusin, Amiya malah semakin meledek gue. Setulus apa pun perasaan gue ke dia, Amiya nggak pernah sadar kalau yang gue utarakan tuh apa adanya, alih-alih dia menganggap gue gombal doang.

Gue pun memutuskan nembak dia dengan ngasih cincin. Harganya mahal. Gue pengin Amiya tahu kalau gue serius banget sama perasaan gue ke dia. Makanya, walaupun cincin yang gue kasih ke dia tuh harganya setara sama pendapatan gue selama dua bulan, gue nggak menyesal membelinya. Pengorbanan gue sebanding sama kebahagiaan yang gue dapatkan karena Amiya mau jadi pacar gue.

Masih ingat banget deh gue, pertama kalinya pacaran sama Amiya. Gue bahagia banget. Rasanya, seumur hidup, gue nggak pernah sebahagia ketika Amiya menerima ajakan gue buat pacaran. Waktu itu gue ngasih dia cincin. Iya, kayak lebay banget pakai cincin segala, tapi buat gue, Amiya sespesial itu. Nggak ada yang lebay kalau semuanya menyangkut soal Amiya.

Gue beneran tobat jadi playboy setelah kenal Amiya. Pas jadi pacarnya, gue meninggalkan yang namanya flirting tipis-tipis ke cewek. Tangki kasih sayang gue sudah cukup diisi sama cintanya Amiya aja, gue nggak butuh cewek lain, selama masih ada Amiya di hidup gue.

Perjalanan cinta gue bisa dibilang mulus banget di awal. Gue dan Amiya jadi pasangan yang bahagia. Satu-dua kali kami berantem, tapi cuma sebentar. Paling debat urusan pekerjaan aja, nggak masalah sih buat gue, gue tahu Amiya tuh cewek pintar dan salah satu konsekuensinya, Amiya sering mendebat gue. Cekcok dikit adalah hal yang biasa. Sisanya, hubungan gue dan Amiya diwarnai sama kebahagiaan karena memiliki satu sama lain.

Sebelum kenal sama Amiya, gue bisa jadi cowok yang berengsek. Maksud gue, gue biasa macarin cewek cuma dalam hitungan bulan, kalau bosan, gue minta putus. Sama Amiya enggak. Gue nggak pernah bosan sama dia, sekalipun. Nggak perlu usaha keras buat mempertahankan rasa cinta yang ada karena Amiya selalu bisa bikin gue jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi, dengan mudahnya.

Kalau kalian tanya sama gue kenapa gue bisa secinta itu sama Amiya, gue juga nggak tahu jawabannya. Amiya memang cantik, tapi bukan itu yang bikin gue setengah gila ngangenin dia setiap harinya. Nggak cuma fisik sih, hati Amiya juga cantik banget. Gue sering dengar staf-stafnya Amiya di Zwei Corner—kafe punya Amiya— memuji sang pemilik. Amiya yang care banget sama stafnya, Amiya yang selalu punya ide brilian, Amiya yang sayang banget sama adiknya—walaupun cuma adik tiri, dan Amiya yang sering diam-diam bersedekah. Semua gue dengar dari mereka yang kenal dekat sama Amiya, tapi nggak pernah gue dengar dari mulut dia sendiri. Amiya se-humble itu.

Out of the BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang