Bagian 3: Pernikahan

361 86 14
                                    

TAMA's POV

Terbangun dari tidur, gue duduk cengo lama banget.

Waktu terasa berjalan begitu cepat. Perasaan baru kemarin gue sakit typhus dan ditengok Rhae, ternyata itu sudah hampir tiga bulan lalu.

Jujur aja, gue nggak ngerti gimana perasaan gue sekarang. Antara sedih dan senang. Gue sedih bakal kehilangan masa lajang gue. Bukan karena gue nggak bisa gonta-ganti pacar lagi, tapi karena... gue nggak tahu juga, sih. Yang jelas sedih. Di sisi lain, gue juga senang karena setidaknya dengan menikahi Rhae, orang tua gue bakal bahagia banget.

Apakah gue bahagia?

Jujur, gue nggak merasa begitu. Walaupun menikah sama Rhae bukan hal yang buruk, tapi pernikahan ini juga nggak bisa disebut hal yang bagus buat gue. Gue sayang sama Rhae, sebagai teman. Nggak ada perasaan lain-lainnya lagi.

Gue termasuk berengsek nggak, ya? Kalau iya, semoga Tuhan maafin gue.

Gue beneran pasrah. Pernikahan ini udah jadi takdir gue. Masih untung juga sih karena perempuan yang dipilih bokap dan nyokap gue tuh Rhae, bukan cewek yang benar-benar asing dan nggak punya history as friend sama gue.

Menikah sama Rhae mungkin sulit, tapi nggak akan jadi hal yang gue sesali, sepertinya. Feeling gue mengatakan kalau Rhae akan jadi istri yang baik buat gue. Hipotesis itu muncul karena gue kenal Rhae dari kecil. Kenal dekat sampai usia remaja dan cukup kenal di usia dewasa. Harusnya sih nggak susah buat mencintai Rhae dan memandang dia sebagai lover.

Harusnya.

"Anak Mama cakep banget," kata Mama begitu melihat gue sudah siap turun ke ballroom. Gue tersenyum melihat binar mata bahagia Mama.

"Mana mungkin nggak cakep, kan Tama anak Mama."

Mama terkekeh pelan. "Iya juga, ya."

Setelah memastikan seluruh anggota keluarga sudah siap, gue dan segenap keluarga gue beriiringan turun ke lokasi acara, tepatnya di gedung sebelah area hotel. Acara dibuka dengan menyambut iring-iringan keluarga gue oleh keluarga Rhae. Gue nggak melihat Rhae sama sekali, ternyata kata nyokap, Rhae akan muncul setelah ijab kabul selesai.

Gue baru tahu. Soalnya nggak ada gladi resik dulu sih sebelum hari pernikahan.

Begitu masuk ke venue dan persiapan untuk akad dilaksanakan, gue mendadak gugup. Saat MC mengarahkan gue untuk duduk di hadapan Om Raka—papanya Rhae, gue tegang setengah mati. Di sebelah Om Raka, ada petugas KUA yang sedang memberi wejangan, sementara di kedua sisi meja, ada saksi nikah kami.

Di sela menyimak wejangan, gue mengintip catatan kecil yang gue bawa. Isinya redaksi ijab kabul. Gue takut salah nyebut nama mantan pas ijab kabul nanti.

"Gimana, Bapak-Bapak? Dimulai saja ijab kabulnya?" tanya petugas KUA.

Gue dan Om Raka menjawab dengan anggukan.

Detik berikutnya, petugas KUA menyerahkan mik kepada Om Raka. Lelaki paruh baya itu kemudian mengulurkan tangannya dan gue sambut dengan sedikit gemetar.

"Dingin banget tangannya," kata Om Raka yang sontak membuat seisi ruangan terkekeh pelan.

Gue tersenyum kikuk. "Grogi, Yah."

Setelah semuanya kondusif, ijab kabul dibuka dengan bacaan basmalah.

"Saudara Gintang Mahendra Wardana bin Angga Wardana, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak kandung saya, Rhaenyta Syifa Ibrahim-Juanda binti Raka Ibrahim-Juanda dengan maskawin dua puluh lima gram logam mulia dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Rhaenyta Syifa Ibrahim Juanda binti Raka Ibrahim-Juanda dengan maskawin tersebut dibayar tunai."

"Sah?"

"SAH!" sambut seisi ruangan.

Usai ijab kabul selesai, petugas KUA membacakan hamdalah dan doa. Gue mulai agak tenang, nggak grogi lagi. Selesai berdoa, gue mengangkat wajah untuk menatap Om Raka. Rupanya beliau amat bahagia dan terharu sampai matanya berkaca-kaca.

Selesai prosesi itu, pengantin wanita dipersilakan masuk.

Gue tertegun melihat sosok Rhae dalam balutan baju pengantin. Cantik banget. Saking cantiknya, otak gue sampai nge-blank selama beberapa saat.

MC mengarahkan Rhae untuk duduk di sebelah gue. Kami masuk ke prosesi berikutnya yaitu tanda tangan surat-surat administrasi. Selesai dengan tanda tangan, acara dilanjutkan dengan penyerahan maskawin.

Sepupu gue, Tirza, menyerahkan kotak kaca berisi maskawin yang gue sebutkan sebelumnya. Gue tersenyum kecil mengingat drama maskawin yang ditimbulkan gara-gara Rhae. Waktu itu, dia menolak rencana gue buat memberi maskawin dengan nominal yang nggak sedikit. Nyokap gue sampai kaget karena Rhae cuma mau maskawin logam mulia aja, beratnya pun nggak seberapa. Cuma 25 gram.

Gue sampai nggak habis pikir sama Rhae.

Prosesi berikutnya yaitu tukar cincin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Prosesi berikutnya yaitu tukar cincin. Tirza kembali menyerahkan sebuah kotak beludru berisi sepasang cincin. Pertama, gue yang pasang di jari manisnya Rhae. Pas banget. Berikutnya, barulah Rhae yang memasangkan cincin ke jari manis gue.

"Senyum dong, Tama. Jangan tegang. Acaranya masih panjang!" bisik nyokap saat ada kesempatan buat bicara sama gue.

Gue menuruti kata beliau. Saat sesi foto, penampilan gue terlihat jauh lebih baik dengan tersenyum.

Petugas KUA kemudian menyuruh Rhae untuk mencium tangan gue sebagai bentuk bakti istri kepada suami.

"Tangannya bersih nggak, nih? Tadi di toilet sempet cuci tangan, kan?" tanya Rhae yang bikin kedua orangtuanya berdecak dan seisi ruangan tertawa.

"Bersih, lah!" kata gue yang disambut cengiran lebar Rhae. Ada-ada aja kelakuannya di saat sepenting ini!

Selesai mencium tangan gue, giliran petugas KUA menyuruh gue untuk mencium dahi Rhae. Gue nggak se-tengil dia, jadi gue melakukannya dengan penuh khidmat.

Sebelum masuk ke acara berikutnya, gue dan Rhae diharuskan untuk sungkem dulu kepada kedua orangtua kami. Dimulai dari sungkem ke orangtua gue terlebih dulu.

Pas gue sungkem ke bokap, beliau terlihat bangga dan terharu banget. Gue ikut terenyuh melihat senyuman beliau. Sementara pas sungkem sama nyokap, nyokap gue nangis. Melihat tangis bahagia beliau, mata gue jadi ikut berkaca-kaca. Sumpah, gue nggak bisa menahan air mata ini, sekeras apa pun gue berusaha.

Selesai dengan sungkem ke Mama-Papa, giliran gue dan Rhae sungkem ke Om Raka dan sang istri, Tante Ameena. Kedua orangtua Rhae menangis saat Rhae sungkem ke mereka. Tahu apa yang bikin kaget?

Rhae sama sekali nggak menangis. Dia malah cengar-cengir seolah prosesi itu sesuatu yang biasa.

"Nggak mau nangis, soalnya makeup aku mahal banget. Sayang," katanya yang sukses mengundang tawa dari hampir seisi ruangan.

Gue menggeleng pelan melihat tingkah Rhae. Dasar anak tengil!

TBC

Berhubung authornya lagi stres banget karena dunia perkuliahan tuh capeknya setengah mati, jadi author milih kabur dulu dengan update di WP. Nggak puas nulis, author bikinin gambar ala-ala. Semoga suka!

Jangan lupa tinggalkan jejak ya xixixi.

Love,

Rachel 💜

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 03 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Out of the BlueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang