4.

87 12 1
                                    

Buntalan awan yang tanpa terasa waktu berlalu telah berusia satu bulan itu mulai terbangun dari tidurnya dengan perlahan membuka matanya yang masih lembab. Ia menatap ke atas, mencari sumber cahaya yang terang di ruangan itu. Buntalan putih itu kemudian mencoba menggerakkan tangan kecilnya yang terbungkus sarung tangan, bermaksud menemukan apa yang ada di sekitarnya. Desiran air dari arah kamar mandi mulai mengganggu ketenangannya, membuat dirinya dilanda kegelisahan.

Lalu perlahan, suara tangis pun mulai terdengar, menuntut perhatian dari seseorang yang berada di dalam kamar mandi itu. Dengan bertahap, suara tangis itu semakin keras, menandakan bahwa ia butuh perhatian segera. Seokjin segera datang mendekat sembari tersenyum teduh, dengan handuk yang menutupi tubuh basahya. Ia segera membawa bayi mungil itu ke pangkuannya, memberikan ciuman selamat pagi yang hangat dan menenangkan tangisan bayi kecil itu dengan suara lembut. Tak perlu berlama-lama untuk si bayi tenang kembali, menikmati kehangatan dan cinta kasih sang ayah.

"Selamat pagi bayi ayah. Terbangun ya, nak", sapa Seokjin pada bayinya yang kini menatapnya dengan mata berair itu. Seokjin tersenyum teduh, untuk kesekian kalinya.

"Tidak apa-apa, bayi boleh menangis. Ada ayah disini untuk bayi", Seokjin terus berbicara dengan lembut. "Bayi cantik sekali, sih, padahal kan, laki-laki, ya? Kok tidak tampan seperti ayah tapi malah cantik seperti buna?", lanjut Seokjin. Bayi Yoongi tersenyum menampakkan gusi merahnya, seolah bahagia karena sang ayah mengingat sang bunda.

Seokjin meletakkan kembali sang buah hati pada ranjang, lalu ia bergegas mengenakan pakaiannya karena hawa dingin mulai terasa. Setelahnya, ia melangkahkan kaki menuju dapur dengan Yoongi dalam dekapan, tujuannya adalah membuatkan susu untuk jatah pagi si bayi.

.

.

.

Sore ini terasa sangat tenang. Di ruang keluarga yang hangat dan nyaman, Seokjin duduk di sofa sambil menggendong Yoongi. Bayi itu tampak tenang di pelukan sang ayah, dengan mata sipit yang penuh rasa ingin tahu memandang sekeliling. Di sebelah Seokjin, adik laki-lakinya, Taehyung, duduk sambil memegang secangkir es kopi.

Taehyung tersenyum melihat keponakannya, "Bayi benar-benar mirip Kakak waktu kecil, ya?"

Seokjin tertawa kecil, mengalihkan pandangannya dari televisi untuk melihat sang adik. "Memangnya kamu pernah lihat diriku saat bayi? Kau lahir saja aku sudah 5 tahun, tuh", jawab Seokjin sedikit mengejek.

Taehyung berdecak pelan, "Fotomu bertebaran di album, Kak. Jangan pura-pura bodoh, deh", balas Taehyung malas.

Seokjin kali ini tertawa sedikit keras, lalu memandang sang anak di gandongannya. "Semoga bukan hanya wajahnya yang mirip denganku. Aku harap dia mewarisi sifat baikku juga, bukan hanya wajah". Ujar Seokjin tersenyum.

Giliran Taehyung yang tertawa. "Kalau begitu, semoga dia tidak mewarisi kebiasaan Kakak yang suka tidur larut malam!", ujar Taehyung yang entah mengapa terdengar sangat bersemangat.

Seokjin menggelengkan kepala sambil tersenyum, lagi. "Sekarang, dengan ada dia disini, aku malah tidur lebih awal. Tidak ada lagi waktu untuk begadang, Tae".

Mereka berdua tertawa, menikmati momen kebersamaan itu. Suasana percakapan terasa ringan, penuh kehangatan, dan sedikit nostalgia. Sementara itu, bayi di gendongan Seokjin perlahan-lahan mulai tertidur, tenang mendengarkan suara-suara hangat dari ayah dan pamannya.

Taehyung kemudian bertanya, "Kak, bagaimana rasanya jadi ayah?".

Seokjin menatap adiknya, wajahnya berubah menjadi lebih serius. "Luar biasa, tapi menantang, Tae. Kadang, aku merasa belum siap menangani ini sendiri. Tapi, setiap kali melihat dia tertidur dengan tenang dan nyaman seperti ini, semua keraguan itu hilang. Rasanya seperti aku menemukan tujuan baru dalam hidupku, apalagi setelah kehilangan bundanya."

Taehyung menggangguk mengerti. "Entah aku berhak mengatakannya atau tidak, Kak. Tapi, aku bangga pada Kakak. Kak Seokjin pasti bisa jadi ayah yang hebat".

Seokjin tersenyum hangat, tangannya terangkat untuk mengusap puncak kepala Taehyung. "Terima kasih, Tae. Aku harap begitu".

Percakapan mereka berlanjut, membahas berbagai hal termasuk persoalan kantor, diiringi suara nafas bayi yang lembut dan damai. Momen itu terlihat begitu sederhana, namun penuh dengan makna.

.

.

.

Di tengah malam yang sunyi, hanya suara angin yang berhembus lembut di luar jendela. Namun, di dalam kamar yang remang-remang, suasana terasa jauh dari kata tenang. Bayi Yoongi yang seharusnya sudah terlelap dalam tidurnya, justru gelisah. Tubuh kecilnya menggeliat di tempat tidur, dan sesekali terdengar tangis kecil yang memecah keheningan malam.

Ayahnya, Seokjin, yang sedang tertidur pun perlahan membuka mata dan duduk bersandar pada ranjang. Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang. Dengan penuh kasih saying, ia bangkit dan segera menggendong Yoongi yang rewel. Bayi itu merengek, wajahnya tampak gelisah, dan matanya yang kecil sesekali terbuka, seolah mencari sesuatu yang bisa menenangkannya.

"Bayi kenapa terbangun?", tanya Seokjin dengan suara serak khas bangun tidur. Ia meraba pantat bayinya, mengecek apakah sang anak buang air, namun ternyata tidak. Pikirnya, mungkin Yoongi mimpi buruk, namun tidak bisa mengatakannya.

Seokjin berjalan mondar-mandir di kamar, mengayun-ayunkan tubuh kecil itu dengan lembut sembari bersenandung pelan, berharap sang anak akan tenang. Namun, tangisnya tidak juga reda. Rasa lelah mulai merayapi tubuh Seokjin, tapi dia tidak berhenti. Setiap kali tangis bayi itu semakin kencang, Seokjin mencoba berbagai cara -mengubah posisi menggendong, menyusui dengan botol, atau sekedar menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Tapi malam ini, tampaknya tidak ada yang bisa menenangkan si kecil.

Sementara waktu terus berjalan, Seokjin merasakan matanya kembali memberat, tetapi hatinya penuh dengan tekad untuk tidak menyerah. Rasa sayangnya yang mendalam membuatnya bertahan, meski setiap menit terasa seperti jam. Kadang-kadang, ia menatap keluar jendela, melihat bintang-bintang yang tampak begitu jauh dan sunyi, berbeda dengan dunia kecil yang kini ia alami -dunia yang penuh tangis bayi dan malam tanpa tidur.

Di antara kegelisahan itu, ada momen-momen kecil yang tak ternilai. Seperti ketika Yoongi akhirnya terdiam sejenak di pelukan Seokjin, menghisap ibu jarinya, dan melihat ayahnya dengan mata kecil yang polos. Dalam tatapan itu, Seokjin menemukan kekuatan baru. Meski lelah, ia merasa ada kebahagiaan yang tak bisa diukur oleh apapun. Menjelang fajar, ketika langit mulai berubah warna menjadi lembutnya biru, sang bayi akhirnya tertidur dengan damai. Seokjin perlahan menurunkannya ke tempat tidur, berhati-hati agar tidak membangunkannya. Saat ia menatap putranya yang kini tertidur dengan tenang, ada rasa lega yang membanjiri hatinya. Dia tahu bahwa ini hanya satu dari banyak malam tanpa tidur yang akan datang, tetapi di balik semua itu, ia merasakan kebahagiaan yang mendalam.

Seokjin merebahkan diri di samping tempat tidur bayi itu, akhirnya bisa menutup matanya, meski hanya untuk beberapa jam. Di tengah keheningan pagi, suara napas bayi yang lembut menjadi musik yang menenangkan jiwanya. Meskipun lelah, Seokjin merasa bersyukur. Malam yang berat itu mengingatkannya betapa besar cinta seorang ayah untuk anaknya, bahkan di tengah kerepotan dan kurangnya tidur. 

(bonus pict: Uie and Uncle Tae <3)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(bonus pict: Uie and Uncle Tae <3)



tbc...

Big Love for My Universe, Yoongi.

and, Happy Late B'Day Golden Bunny!

see ya, onti-onti Uie <3

Love-Hate Ayah & UieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang