Happy Reading!
***
7. Pertengkaran Sadam Aruna
Perbincangan antara Aruna dan Wulan hari itu membuat malam-malam Aruna tidak tenang, hatinya terus bertanya-tanya mengenai kebenaran akan cerita penculikan sepuluh tahun lalu yang melibatkan dirinya dengan Dhava. Sambil mencari kebenaran, Aruna masih menimbang-nimbang untuk bertanya langsung kepada Sadam selaku orang yang dijadikan saksi mata sepuluh tahun lalu.
Berbagai informasi dari internet dia cari, berita-berita yang mungkin pernah diangkat mengenai penculikan anak di daerah mereka tidak pernah naik ke pemberitaan. Aruna sudah menduga bahwa mencari kebenaran dari internet untuk kasus lama seperti itu akan membuahi kekecewaan. Satu-satunya opsi yang tersisa adalah menanyakan langsung kepada orang yang berada di kejadian tersebut.
Makan malam kali ini hanya ada Aruna dan Sadam, kedua orang tuanya dan adik bungsu mereka malam ini pergi ke klinik gigi untuk melakukan pemeriksaan rutin Rafa. Mama sengaja tidak masak dan menyuruh kedua anaknya untuk beli diluar. Nasi goreng Cak Dul depan komplek menjadi menu makan malam kedua kakak beradik tersebut. Sambil makan, Aruna tidak bisa berhenti menatap Sadam sehingga membuat kakaknya itu risih karenanya.
"Ada yang mau diobrolin sama Mas, Na?" tanya Sadam dengan mudah membaca gerak gerik Aruna.
"Nggak." Entah kenapa bibir Aruna malah bertolak belakang dengan hatinya.
"Terus ngapain liatin mas sampe matamu mau copot gitu?"
Seperti biasa Sadam selalu menjawab dengan kalimat aneh yang memprovokasi Aruna untuk membuka suara.
"Oh, atau kamu terkagum-kagum sama potongan rambut baru Mas? Iya sih bagus, potong di barbershop high class soalnya."
Memang tidak ada yang bisa diharapkan dari Sadam yang terlalu over-pede.
"Terserah kamu deh, Mas."
Melihat Aruna yang biasa saja dan tidak terprovokasi dengan candaannya, Sadam semakin tertarik untuk membuat adiknya bicara dengannya.
"Mantan pacarmu minta balikan?"
"Enggak! Apa sih, Mas. Kok jadi bawa-bawa dia."
"Ya lagian kamu kenapa nggak jujur aja sih kalau emang ada yang mau di tanya, gini-gini Mas juga peka kali."
Gigihnya Sadam dalam mengorek keresahan Aruna membuahkan hasil, saat ini Aruna tengah mempersiapkan dirinya untuk membuka percakapan yang mungkin tidak akan pernah Sadam sangka akan menjurus pada topik tersebut.
"Kemarin Wulan cerita ke Una kalau dia kenal sama Dhava."
"Ya, terus? Wajar dong dia kenal Dhava, wong kalian masih kecil aja aku sama Dhava yang suruh jaga kalian."
"Masalahnya tuh, Wulan bisa langsung ngenalin Dhava padahal kan dia udah sembilan tahun lalu pergi dari rumah Opa Hans. Una aja udah lupa mukanya kayak apa."
"Itu mah kamunya aja yang pikun."
"Bukan, ini bukan karena Una yang pikun atau Wulan yang punya memori luas."
"Terus kalau bukan karena itu, apa alasan Wulan bisa ngenalin Dhava secepat itu?"
"Dia bisa tau itu Dhava karena bekas luka di pelipisnya."
"Walah, keren juga ya Wulan bisa tau orang dari bekas lukanya."
"Dan dia cerita kalau bekas luka itu selalu dia inget karena ada sangkut pautnya sama kejadian sepuluh tahun lalu."
Seketika wajah Sadam berubah dingin, tangannya tak lagi memegang sendok dan malah diam di tempat.
"Sepuluh tahun lalu ada insiden penculikan yang melibatkan Una dan Dhava. Mas tau itu?"
Alih-alih menjawab, Sadam malah bangkit dari duduknya dan membawa piringnya. "Kalau kamu udah selesai makan, piringnya di cuci ya. Mas mau ke kamar duluan."
"Sepuluh tahun lalu, aku main sama Mas Sadam dan Dhava. Tapi kenapa bukan Mas Sadam yang nyelamatin Una dan malah Dhava yang bukan siapa-siapanya Una berkorban sampai dia ikut diculik dan terluka gitu?!"
Piring itu tak sengaja ditaruh dengan kasar di wastafel oleh Sadam sehingga menimbulkan suara yang cukup keras. Aruna terkejut akan suara piring yang beradu dengan seng wastafel, bahkan gadis itu sampai menutup kedua telinganya.
"Kamu nggak perlu bahas hal yang udah berlalu. Nggak akan berubah apa-apa, Na."
Aruna geram, dia tau jika Sadam membuka luka lama itu pun tidak akan mengubah fakta bahwa Aruna pernah berhutang budi dengan Dhava. Tapi Aruna masih ingin mendengar penjelasan atas sikap Sadam yang tidak ada untuk melindunginya saat itu.
"Emang benar itu nggak akan merubah fakta kalau Dhava lebih cocok jadi kakak buat Una ketimbang Mas Sadam yang bahkan nggak cukup berani buat ngelindungin Una!"
"Kamu nggak tau situasinya, Na!" Sadam kali ini membentak Aruna dengan penuh emosi. Ini pertama kalinya Sadam menaikkan nada bicaranya dengan Aruna. Sadar akan kesalahannya yang meninggikan suaranya membuat Sadam makin frustasi, "Maafin, Mas. Tolong jangan bahas ini lagi."
Aruna sangat terkejut, itu tidak bisa dia bohongi dengan wajah syoknya. Bahkan air matanya menetes seiring kepergian Sadam dari ruang makan. Tau jika Sadam cukup sensitif dengan topik tragedi sepuluh tahun lalu membuat Aruna kecewa. Dia pun juga merasa jengkel karena ingatannya tidak kembali untuk mengetahui kejadian sepuluh tahun yang dia lupakan itu.
Bersambung...
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Love After Love
Roman pour AdolescentsPengkhianatan cinta yang dilakukan kekasihnya bersama sahabatnya sendiri membawa Aruna pada rasa kecewa yang mendalam. Luka yang ditorehkan akibat tikaman kedua orang terdekatnya membawa Aruna pada lembaran baru yang tidak pernah dia pikirkan akan d...