"Kau tahu kan kalau lewat sini bahaya sekali."
Riga hanya bisa mengekori Damar yang keras kepala menyusuri jembatan rongsok. Sesekali menghalau kaki yang hendak menginjak panel kayu busuk nan keropos.
"Hah!" Jantung Damar melonjak. "Nyaris saja," gumamnya tertawa. Tidak gentar pada arus deras yang begitu keruh di bawahnya, anak itu tetap maju. Kadang Riga salut melihatnya.
Kadang juga, Riga ingin menarik kakinya saja agar hanyut sekalian.
"Apa sih yang kau kejar? Kau sudah terlambat hampir satu jam. Daftar ulangnya cuma sebentar. Tadi aku sempat ke sana dan melihat mereka sudah bubar."
Namun Damar tetap menginjaki batang pisang dan melompati tembok tanpa peduli.
"Mending kita mengobrol di kursi kayumu itu seperti sore kemarin---hei."
Damar sudah menghilang ke balik tembok.
Riga menghela napas. Sebenarnya dia juga seharusnya searah dengan Damar untuk pergi ke perpustakaan melaksanakan aktivitas rutinnya. Sebab jam segini adalah waktu optimal untuk dia bekerja di sana. Membuka arsip lama dan menyisir rak yang barangkali terlewat. Mengais-ais cara yang barangkali ada untuk meralat meterai yang ditanamkan di serambi kapel.
Hanya saja----Riga mendongak pada langit yang begitu muram. Matahari kian bersembunyi ke barat. Burung-burung sudah terbang menuju sarangnya.
Sebentar lagi sandyakala.
Untuk beberapa saat saja mereka akan ada dalam satu garis yang bertindihan.
Dan Riga selalu tahu ada enam titik liminal di mana diagram itu tersebar di penjuru sekolah. Membentuk pola yang lebih besar. Tergambar di balik karpet beludru dan menjadi tempat pemusatan frekuensi yang tepat.
Serambi kapel, ruang kepala sekolah, ruang guru, bimbingan konseling, kantor administrasi---
----dan terakhir adalah ruangan yang diwarisi kelompok sastra turun-temurun berpuluh tahun lamanya.
Ruangan yang akan didatangi oleh Damar.
.
Benar.
Riga mengubah pikirannya. Ia beranjak dari jembatan dan melewati tembok sekolah itu. Sebetulnya ia tidak ingin melibatkan seorang pun, tetapi dia juga tidak bisa membuang-buang waktu lagi lebih lama.
.
.
Mereka hanya perlu bertukar nama untuk saling menemukan.
.
.
.
Aitreya
Abiguellix- 𝖿 𝗂 𝗇 𝖺 𝗅 𝖾 -
.
.
.
Sejak tadi Damar memutar-mutar pin tuning gitar dengan tak tentu. Meraba ukir dan tekstur gelombang kayu itu dengan ujung jemarinya. Dia melepasnya satu dan mengantonginya. Menyisakan lima yang masih menempel pada papannya.
Hari itu cerah. Kemarau sudah menapak sejak Maret kemarin. Damar turun ke bengkel. Mencacah fret dari tubuh gitar. Dia mengambil korek dan minyak tanah lalu keluar menuju tanah kosong di area bantaran sungai. Membakar kayu-kayu indah itu di sana. Asapnya membubung memedihkan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aitreya
Mystery / Thriller[R-18] Damar pikir menjadi anggota klub sastra sekolah itu gampang saja, cuma perlu duduk-duduk, baca buku, dan jrengg; nilai A di kolom ekstrakurikulernya. Tapi gara-gara keterlambatannya untuk kumpul perdana dan pendaftaran ulang anggota, semuanya...