7

516 67 51
                                    

Belum pernah rasanya Damar berteriak sampai ke ujung paru.

"Kau gila!!!"

Sinting. Lunatik. Sakit jiwa.

Damar rasanya tidak bisa berkata-kata lebih dari itu. Otaknya serasa lumpuh bahkan untuk menanggapi.

"Damar, dengar sebentar. Hei."

Tidak ada yang perlu didengar. Riga jelas gila tingkat dewa. Derajat kemiringan otaknya benar-benar di luar nalar. Di luar angkasa. Astaga, Damar tidak mengerti lagi.

"Jadi dari awal poin utamamu ini?! Alasanmu mencari buku prosa, membuat lagu..." Damar meremas rambutnya tidak percaya. Satu hal mengarah ke hal yang lain. Jadi inilah sebabnya Riga tidak pernah merincikan sejak awal apa-apa saja bantuan yang dia perlukan dari Damar, melainkan melakukannya tahap demi tahap. "Kau kerasukan apa sih sampai berpikir begitu?!"

Riga sudah siap dicerca bagaimanapun oleh Damar. Ia tidak akan mendebat. "Ritualnya akan selesai dengan cepat. Kau tidak akan kenapa-kenapa, aku janji."

"Ritual---ha?" Pupil Damar mungkin akan pecah sebentar lagi. "Kau benar-benar ... sedeng."

"Kita punya perjanjian," tegas Riga. "Aku mohon, Damar," bisiknya.

Damar menggeleng telak. Menolak mentah-mentah. Sesinting-sintingnya Riga yang terpikir untuk menghidupkan orang mati, maka lebih sinting lagi dia kalau mengira Damar akan mau membantunya. Atau bahkan siapa pun mau membantunya.

Bodo amat dengan perjanjian mereka. Di titik ini, ia tidak peduli mau nilai eskulnya nol sekalipun. Khayalan Riga sudah keterlaluan, Damar sekarang curiga pemuda itu punya gangguan jiwa.

"Aku cabut dari perjanjian! Terserah kalau kau mau mendepakku dari Aksel! Aku tidak peduli lagi!"

Dengan itu, Damar pergi meninggalkan Riga dan segala barang yang masih tergeletak di lantai bengkel kayunya.







***







"Kita akan turun di sini?"

Sedan legam mengkilap berhenti di pelataran parkir sekolah usang. Itu bukanlah pemandangan yang cocok dibingkai dalam satu pigura. Leni memandang ke luar jendela. Koridor dan pekarangan sekolah sepi. Wajar karena ini masih jam belajar.

"Jadi kemarin Bapak melihatnya di sini?"

"Ya." Sakra melepas sabuk pengamannya. "Aku yakin dia sering berdiam di sini."

Sakra ke luar mobil dengan yakin. Tidak gentar sama sekali meski segala pengalaman tidak menyenangkannya di masa lalu barangkali berpusat di tempat ini.

Satu hal yang perlu diketahui, Specific Anxiety Disorder dan PTSD umumnya bisa saja eksis secara bersamaan. Terlebih lagi bahwa objek fobia Sakra----sosok tersebut----memang ada kaitannya dengan peristiwa masa lalu Sakra.

Tetapi hal janggal di sini adalah, ketika pasien PTSD umumnya menghindari segala hal yang berhubungan dengan peristiwa traumatis mereka, Sakra malah secara aktif mendatanginya. Menurut pengakuan pria itu, dia ingin memburu sosok tersebut dan melenyapkannya sekali untuk selamanya. Namun di sisi lain ketika ia berhasil melihatnya lagi, dia akan memasuki serangan panik dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berujung menyiksa dirinya sendiri.

Rantai perilaku tidak sehat itu yang saat ini menjadi fokus Leni untuk diputuskan. Tapi sangat sulit ketika Sakra tidak kooperatif. Hanya bertindak berdasarkan instingnya. Lihat saja, baru beberapa saat Leni melepaskan pandangnya, pria itu sudah menghilang entah ke mana.

Tujuan mereka ke sini harusnya untuk terapi eksposur, bukan malah sesi berburu hantu, gerutu Leni dalam hati.

Terkadang sang psikiater begitu penasaran tentang sosok semacam apa yang dilihat Sakra. Semengerikan apa?

AitreyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang