4

620 86 113
                                    

Malam itu hujan kembali menderas sehingga Damar menyarankan agar Riga menginap saja. Si empunya rumah baru saja kembali bersama nampan teh hangat dengan celana tergulung dan bercak air di bahunya. Jelas dia keluar sejenak tadi bukan hanya untuk membuat teh.

"Habis dari mana?" Riga masih duduk bersila di kasur Damar sambil memetik-metik dawai.

"Ke bawah sebentar mengecek sungai." Damar masih menerawang cemas ke balik jendela.

"Takut banjir?"

"Iya." Dia meletakkan nampan ke nakas. "Sebenarnya aku sudah memasang semacam alat deteksi banjir. Tapi aku takut kalau misalnya alatnya ternyata nggak bekerja..."

Damar duduk di pinggir kasur. Mencoba menenangkan diri. Kecemasannya hanya membuat ia merasa semakin meriang.

"Akan kubantu mengangkat barang kalau ada apa-apa," kata Riga. "Aku mengerti rasanya tinggal dekat sungai."

Oh? Damar sedikit sumrigah entah kenapa. Jangan-jangan rumahnya juga tidak jauh dari sini?

"Namamu Riga kan? Apa itu ada referensi dari ibukota Latvia? Kotanya dekat dengan sungai."

"Kota?" Alis Riga naik sedikit. "Hmm bukan, sebenarnya lebih ke bintang."

Dahi Damar mengernyit. Agak kecewa. Sayang sekali, dia tidak begitu tahu soal perbintangan.

"Aku ingin ke Riga."

Pemuda yang sedang bergitar hanya mengangguk. Mengamini. "Aku sudah sederhanakan komposisi nadanya. Harusnya ini tinggal diulang-ulang."

Damar memandangi jurnal terbuka di antara lipatan kaki Riga. Ada gambar partitur not balok yang tidak bisa Damar baca. Riga tampaknya leluasa sekali menggambarkan semua itu pada lembar jurnal yang masih tersisa.

"Kau mencoret-coret buku orang."

"Hah? Enak saja, bukan aku yang membuat itu." Riga mengambil carikan kertas dari sisi kakinya yang lain. Kali ini isinya gambar garis-garis dan angka---masih tetap tidak bisa Damar mengerti. "Aku cuma melengkapi sedikit kompisisi aslinya dan menyederhanakannya ke akor dasar. Ini. Nanti akan kuajari cara membaca tablatur. Untuk sekarang, coba dengarkan dulu."

Ketika Damar mencoba menyimak, melodi itu terdengar hampir seperti tembang. Tetapi bukan. Bagaimana menjelaskannya? Ada sesuatu tentang pilihan nada dan ritme petikan Riga yang membuat musik itu terdengar sangat rakyat.

Iramanya gampang diingat tetapi liriknya tidak. Hal itu baru Damar sadari ketika Riga mulai memasukkan lirik pada musiknya.

Pada Minggu, Minggu yang luhur
Dia berbaur bertempur
Tapi hai, tidak pada musuh yang jujur
Ia dicurangi dan terbujur

Riga jeda sebentar untuk mengambil pena dari meja. Mengetukkannya sambil memandangi Damar seolah agar pemuda itu tidak memecah fokusnya kepada hal lain.

Ketuk. Ketuk. Ketuk. Ritmenya seperti jalan-jalan di pasar minggu.

"Kau sedang berusaha menghipnotisku atau apa?"

Riga mendecak. "Ini tempo. Sekitar tujuh puluh ketuk per menit." Dia mendemonstrasikannya lagi. "Sudah ingat? Sekarang coba bantu aku mengetukkannya biar aku mainkan melodinya lagi."

Damar menerima pena itu ragu-ragu. Mengetuknya mengikuti insting dan ingatan. "Begini?"

"Betul. Udah bagus. Lanjutkan."

Ketuk. Ketuk. Ketuk.

"Mungkin kita perlu turunkan lagi temponya."

Semakin larut dan mata Damar tampak tidak fokus. Lagu itu membuat kuduk berdiri terutama dinyanyikan di malam-malam gerimis. Tapi Damar tidak kuasa menahan tubuhnya yang melemas. Hangat.

AitreyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang