DUA

13 3 0
                                    

"Uji coba AC seri barunya gimana, Mal?"

Pertanyaan itu meluncur dari seorang wanita berpakaian santai yang kini berjalan ke sofa membawa secangkir kopi untuk sang suami yang juga berada di sana.

Kemal yang sedang bergelut dengan hp dan sebenarnya meski raganya di situ, pikirannya melanglang buana, ia nyablek asal.

"Hasil print out-nya bagus, Ma."

"Print out? Sejak kapan kita produksi AC multimedia yang bisa nge-print berkas, Mal? Kamu nih sering gak fokus, mama mulai kuatir sama kamu tahu gak?"

Mata Kemal mengerjap seolah baru bangun ke dunia nyata, dalam hati ia menyalahkan kebodohannya. Kenapa juga ia tidak pernah bisa menahan diri jika sudah menyangkut pekerjaan "rahasia"-nya?

"AC?" gumam Kemal.

hampir saja menyahut dengan jujur bahwa hari ini ia tidak jadi ke kantor untuk melihat uji coba pengembangan produk AC. Teringat betapa Mama-nya sangat rempong dan pasti bertanya sampai ke mana-mana, Kemal menelan kejujuran itu hingga masuk ke empedu. Mau bagimana, ia harus bohong sekali lagi.

"Kayaknya ada yang kurang, Ma. Suhunya sih udah oke, tapi desainnya kurang futuristik."

"Oh, gitu." Reina, ibu Kemal itu ber-oh dengan lesu. Ia jadi kepikiran berat soal desas-desus teman dan bahkan ayahnya sendiri, kakek Kemal.

Terpaksa Kemal menutup hp-nya, tidak mau salah jawab lagi di waktu-waktu khusus kumpul keluarga begini. Ia jarang bertemu dengan orang tuanya karena sibuk, pulang ke rumah hanya untuk tidur, maka dari itu acara kumpul begini perlu dirutinkan dengan jadwal tegas. Jika melanggar, dendanya tidak boleh pulang.

Itu hukuman yang tidak berat, Kemal bisa saja tidur di apartemen. Namun, ini menyangkut perasaan orang tua.

Reina beranjak hendak mengambil sesuatu di kamarnya di lantai atas. Saat itulah pria paruh baya yang sejak tadi diam, bertindak. Bram, Papa-nya Kemal mencari celah sejak tadi.

"Mal, kemarin lusa papa lihat kamu di Rosdu." Bram celingukan ke arah tangga, waspada akan kedatangan sang istri.

Kemal memutar ingatan kafe Rosdu yang ia sambangi bersama dua teman sekaligus rekan kerjaan "rahasia"-nya.

"Kamu bikin kantor penerbitan buku, ya?"

Sontak Kemal mendekat ke arah Papa-nya dengan mata menjegil. "Papa tahu dari mana?"

"Dari temanmu sendiri. Papa ngobrol sama mereka setelah kamu pergi. Gila kamu, Mal. Tiga tahun kamu mengkhianati Kakek." Mata Bram memicing takjub.

Mulut Kemal membuka tapi ia tidak bisa berkata-kata.

"Gimana perasaan Kakek kalau tahu semua ini, Mal? Kamu udah dipasrahin perusahaan bukannya fokus malah bikin bisnis sendiri. MASI ini bisnis keluarga yang Kakek berikan buat kamu lho, Mal. Parah kamu."

"Pa, Papa belum kasih tahu Kakek, kan? Mama?"

Bram berdecak. "Belum."

Biarpun kelabakan karena rahasianya terbongkar, Kemal merasa beruntung yang memergokinya adalah sang ayah. Jika Mama-nya yang mengetahui ini, pasti langsung bocor ke Kakek-nya dan semua bisa kacau.

"Kamu harus jujur sama Kakek, Mal."

"Kakek bisa patah hati, Pa!" dengus Kemal kesal. "Papa tahu sendiri gimana Kakek."

"Udah tahu begitu kenapa kamu nekat?"

"Buku itu jiwa Kemal, Pa. Dari kecil Papa udah tahu, kan?"

Kemal memeriksa tangga, suara langkah kaki Reina mulai terdengar. Makin dekat suaranya makin menegangkan untuk Kemal.

41 and 30 [Ambar & Kemal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang