SEPULUH

13 0 0
                                    

Mengangan kejadian menakutkan itu sekedar mimpi adalah kesia-siaan. Ambar terbangun entah di mana, tidak perlu menunggu lebih dari sedetik untuk air mata merembes lagi dari celah kelopak matanya yang membengkak. Ia menoleh ke samping, menemukan sosok Kemal duduk di kursi menengkurapkan punggung di kasur. Ia dapat melihat punggung pria itu naik-turun beraturan, tertidur.

Jika bayangan yang ia pikir cuma ilusi ternyata nyata adanya, berarti Kemal melihat bagaimana ia dilecehkan. Pria itu melihat tubuhnya yang... Ambar mendadak ingin muntah. Betapa memalukan, ia tahu stereotip tak berbunyi di benak masyarakat luas tentang wanita yang diperkosa--atas dasar kasihani.

Sudah kotor dan rusak.

Buru-buru Ambar menutup mulutnya, menahan gejolak menggelikan di dalam perut yang mendobrak ingin keluar. Bahu Kemal bangkit perlahan, diselingi erangan kecil.

"Mbar, udah bangun?" Pria itu mengelus pipinya penuh sayang.

"Saya butuh kamar mandi." Ambar sungguh mendesak.

Sesaat Kemal menunjuk pintu di ruangan itu dengan lirikan mata, Ambar beranjak dari kasur. Namun ia runtuh di pijakan pertama, Kemal menangkapnya. Tidak ada pilihan selain membiarkan pria itu melihat ia mengeluarkan semua makan siang kemarin yang tak seberapa di kloset. Isi perutnya seolah diaduk-aduk. Ambar kira Kemal akan jijik, pria itu malah mengusap tengkuknya, menggenggam rambutnya di satu tangan yang lain.

Tidak ada yang bersisa ke perutnya. Hal itu cuma membuat energinya makin terkuras habis.

"Sudah?" tanya Kemal lembut. Jarinya menjumput anak rambut Ambar yang lengket dengan dahi.

Ambar menatap Kemal seperti menunggu, pasti ada, pasti bakal dirinya temukan. Tatapan risih dan jijik itu. Dirinya ini korban pemerkosaan, apalagi Kemal melihat dengan mata kepalanya sendiri.

Bibir Ambar bergetar, bukannya menjawab. "Mal, saya diperkosa," bisiknya memberi tahu. 

Di saat yang sama merasakan selimut menggelikan seperti kotoran paling menjijikkan merambati tubuhnya. Ambar mengendalikan dirinya yang mulai bergetar, ingin berteriak kencang. Ia benci dengan tubuhnya!

Akan tetapi, ia menemukan tatapan yang total berbeda, Kemal tidak risih, pria itu malah ikutan menangis. Seolah dunianya yang hancur.

"Sudah ya," bujuk Kemal. Siapa yang tidak goyah mendengar racauan semacam itu dari bibir wanita yang dicintai--saat membopong Ambar, ia meletakkan wanita itu perlahan di kasur.

"Mal."

"Ambar, saya tahu kamu terguncang sama kejadian itu, tapi saya pastikan saya datang sebelum semuanya lebih terlambat. Maafin saya, Mbar." Kemal merengkuh Ambar. 

Karena bibirnya menempel di bahu Kemal, suaranya menyerupai gumaman. "Dia nyentuh saya di mana-mana. Rasanya badan saya kotor, saya risih. Saya gak tahu harus gimana ketemu Raisya nanti. Ini bakal bikin dia malu. Saya gak mau kerja di sana lagi, saya takut."

"Saya udah urus bajingan itu," kata Kemal melepas pelukannya. "Kamu gak perlu kerja lagi. Gak ada yang tahu soal ini, cuma kita berdua." Kemal berusaha keras mendongkrak sikap bijaksana dalam dirinya meski jiwanya hancur lebur.

"Terima kasih," kata Ambar tak punya muka lagi.

"Tadi Raisya nelepon, sekali. Habis itu ada lima belas telepon dan dua pesan dari Lauren. Kamu mau ngabarin putrimu?" tanya Kemal, menyodorkan besi pipih di tangannya pada Ambar.

Dua pesan Lauren bisa dilihat dari notifikasi saja.

(Lauren : Lo di mana? Raisya nyariin lo, Mbar. Gue bilang lo di rumah gue, nemenin gue soalnya mas Deri lagi ke luar kota.)

41 and 30 [Ambar & Kemal]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang