Prolog

9 1 0
                                    


Kegelapan menyelimuti ruangan, dan suara ketukan di pintu menggema di dalam kepalaku, seolah-olah dunia di luar telah berhenti. Aku duduk terdiam di sudut kamar, napasku tersengal-sengal, jantung berdebar keras seperti mesin yang tak pernah berhenti. Keheningan malam tiba-tiba terasa sangat berat, menindih setiap inci ruang yang kuambil, membuatku hampir sulit bernafas.

Aku menatap ke arah tempat tidur, tempat di mana dia terakhir kali terlihat—Cinta. Pikiranku berputar-putar dalam kekacauan, mengingat kembali detik-detik terakhir kami sebelum semuanya berubah menjadi mimpi buruk. Kemarin malam, saat kami berkumpul di kafe favorit kami, Cinta begitu ceria, tertawa terbahak-bahak, dan tak ada tanda-tanda bahwa hari ini akan berbeda. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menghilang, meninggalkan kami dengan ketidakpastian yang mencekam.

Kejadian itu datang tiba-tiba—seolah ada kekuatan tak terlihat yang mencabik-cabik rasa aman kami. Ponselku bergetar di saku, suara notifikasi yang menyentak dari kesunyian malam. Aku membuka layar, membaca pesan singkat dari Raka dengan tangan gemetar: "Cinta menghilang. Kamu tahu sesuatu?"

Saat itulah aku merasa dunia seolah runtuh di sekelilingku. Selama ini, aku merasa seolah-olah kami hidup dalam gelembung indah yang terpisah dari kenyataan, tapi gelembung itu pecah, meninggalkan kami di dunia yang penuh dengan kegelapan dan rasa takut. Aku menyadari bahwa tidak ada yang lebih menakutkan daripada mengetahui seseorang yang sangat kau sayangi menghilang tanpa jejak. Rasa takut ini seperti tentakel dingin yang merayap ke dalam jiwaku, mencengkeram hatiku dan membekukan pikiranku.

Aku berdiri, melangkah dengan hati-hati menuju pintu, berharap bisa melarikan diri dari perasaan yang menyesakkan ini. Ketukan di pintu semakin cepat, lebih mendesak, seolah memanggilku untuk keluar dari kesunyian. Aku menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian yang tersisa, dan memutar gagang pintu.

Saat aku membuka pintu, gelombang dingin menyapu wajahku, dan aku melihat seseorang berdiri di ambang pintu—rangkaian wajah yang penuh kekhawatiran dan rasa takut, seolah-olah mereka juga telah terjebak dalam malam yang sama mencekamnya. Raka berdiri di sana, matanya merah dan bengkak, dan aku tahu tanpa perlu bertanya bahwa kami berada di titik yang sangat kritis. Kami berdua tahu bahwa tidak ada lagi ruang untuk mundur, tidak ada lagi waktu untuk menunggu. Semua ini harus dihadapi—sekarang juga.

"Cinta..." suara Raka bergetar, penuh kepedihan dan harapan yang memudar. Aku merasakan beban yang sama, dan saat aku menatap Raka, aku tahu bahwa kami harus mencari jawaban, menguak kegelapan ini, dan menemukan jejak yang hilang sebelum semuanya terlambat.

0o0o0

"Dalam kegelapan malam, kita sering kali menemukan diri kita yang paling nyata—ketika semuanya yang kita anggap pasti tiba-tiba hilang, dan kita harus menghadapi ketakutan yang tak terungkap."

Jejak yang HilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang