Mina terpingkal-pingkal mendengar cerita kami berdua. Aku tahu persis apa yang membuatnya tertawa begitu keras—di balik mulut yang terbuka lebar itu, ada ejekan terselip. Saat ini, aku berharap seekor lalat terbang masuk ke mulutnya, menghentikan tawa yang memalukan itu.
"Kalau tahu begini, seharusnya aku tak perlu menceritakan kejadian ini," gumamku, nyaris tak terdengar.
"Ternyata kalian ini hanya dua pria lemah yang tak berdaya," ucap Mina, menyeka air mata yang mengalir karena tawa. Ejekan itu memuaskannya, seolah-olah dia baru saja menang besar dalam sebuah taruhan.
"Kau sendiri merasa begitu kuat?" tanyaku dengan nada geram.
Mina mengernyitkan alis, tawanya perlahan mereda. "Luka di pipimu sudah sembuh, ya? Apa kau ingin aku melukisnya kembali dengan warna keunguan?"
Tanganku refleks mengusap pipi yang sebelumnya dipukul oleh Mina, dudukku di lantai mundur sedikit. Membahas pertemuan pertama kami yang begitu pahit membuat seluruh tubuhku terasa ngilu. Setelah bersusah payah melewati rasa sakit akibat serangan bertubi-tubi dari komplotan Minjae, mana mungkin aku mau mengulanginya? Bahkan, untuk menyelamatkan diri, aku rela menjauh dari Jia.
"Jadi, kalian akan menyerah begitu saja?" tanya Mina.
Remy menggeleng pelan. "Aku tak termasuk dalam cerita itu. Semua hanya menyerang Ian, sementara aku memilih bersembunyi. Hidupku baik-baik saja meski begitu, tapi temanku ini, dia tak seberuntung aku. Jika kau mau membantu Ian, aku akan sangat berterima kasih."
Aku mengernyitkan dahi, lalu berkata, "Apa yang kau katakan? Wanita ini tak mungkin bisa membantu kita. Lagi pula, meminta bantuan pada seorang wanita? Kau sudah kehilangan harga dirimu sebagai lelaki?"
"Mina bilang dia pemegang sabuk hitam. Aku rasa dia cukup kuat untuk membantu kita. Dengan begitu, kau juga bisa menyelamatkan Jia dari tangan Minjae. Bukankah itu rencana yang sangat bagus?"
"Dia bisa saja mengaku seperti itu, tapi kita tak tahu pasti apakah dia benar-benar pemegang sabuk hitam atau bukan. Kita tak bisa langsung percaya padanya."
Percakapan kami terhenti saat bayangan besar menutupi cahaya di sekitar. Saat menoleh, Mina sudah berdiri di hadapan kami, menjulang tinggi seperti hewan pemburu yang siap menerkam dua tikus kecil yang asyik berbisik.
"Namanya Jia, kan?" tanya Mina.
Kami mengangguk pelan, segala perdebatan tadi lenyap begitu saja, termasuk keraguanku terhadap Mina. Yang terlintas di pikiranku sekarang hanya satu hal—kenapa dia tertarik dengan Jia?
"Aku akan membuatmu percaya bahwa aku memang pemegang sabuk hitam, dan aku akan membantu Jia melirikmu."
Aku menyilangkan tangan di dada. "Aku tak butuh kau mengalahkan mereka. Ini adalah urusan kami sebagai pria. Meminta bantuan dari seorang wanita hanya akan meruntuhkan harga diriku. Orang-orang akan berkata bahwa aku mengandalkan wanita untuk mengalahkan Minjae dan komplotannya. Bukannya dihormati, aku malah akan dicap sebagai pecundang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing With You
Romance𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐮𝐧𝐬𝐮𝐫 𝐩𝐥𝐚𝐲𝐛𝐨𝐲 🐰 𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐤𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚, 𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 🔞 𝐝𝐢𝐤𝐮𝐧𝐜𝐢. *** Kehidupan kampus bisa menjadi mimpi buruk bagi seorang korban bullying seperti Caspian. Ketika dia jatuh cinta pada p...