Sepanjang perjalanan, pandanganku terpaku pada lantai kereta. Di sisi lain, Jia duduk di bangku yang jauh dariku, jarak yang tercipta dengan sendirinya setelah perdebatan panas tadi.
Jia mengatakan bahwa dia tak membenciku, tapi dia juga tak mengatakan bahwa dia menyukai kehadiranku di sekitarnya. Pernyataan ambigu itu membuatku bingung, tak tahu bagaimana seharusnya aku bersikap.
Aku akhirnya memberanikan diri untuk menatapnya dari kejauhan. Ekspresi muram menghiasi wajahnya, sebagian besar adalah akibat ulahku. Rasa bersalah menusuk hatiku. Aku menyesal karena perjalanan pertama kami berubah menjadi mimpi buruk, padahal sebelumnya Jia begitu ceria saat kami bertemu.
Saat aku masih tenggelam dalam pikiran, tiba-tiba Jia berdiri dan berjalan menuju tempat lain. Awalnya, aku tak curiga, hingga pria yang duduk di sebelahnya ikut bangkit, berdiri tepat di belakangnya. Ada firasat buruk menyelinap dalam benakku.
Ketakutanku menjadi kenyataan. Pria itu dengan berani mencoba menyentuh Jia. Dasar bajingan! Sungguh bejat, melecehkan seorang wanita di tengah keramaian kereta. Namun, di satu sisi, aku diliputi keraguan-Jia adalah wanita yang baru saja membuatku kesal. Haruskah aku menolongnya?
Aku bangkit dan langsung mendekati Jia, menariknya ke dalam pelukanku. Dia terkejut, tubuhnya tegang. Sementara aku, hanya memasang ekspresi datar.
"Seharusnya, kau berlari ke arahku saat pria itu mencoba mengganggumu."
Pria di belakang Jia tampak gusar, tapi dengan banyaknya pasang mata yang mengamati kami setelah ucapanku, pria itu akhirnya mundur dengan enggan.
Jia perlahan menjauh dari pelukanku, dan aku baru tersadar bahwa tanganku masih melingkari pinggangnya-sebuah tindakan yang jelas mengambil kesempatan di tengah keadaan.
"Te-terima kasih," ucap Jia dengan ragu.
Aku mengangguk. "Aku tak punya maksud lain, tapi lebih baik kita tetap dekat sampai kereta berhenti. Siapa tahu pria tadi mencoba mengganggumu lagi."
"Baiklah," katanya pelan.
Suasana di antara kami tiba-tiba sunyi. Dari posisiku di sampingnya, aku melirik sekilas. Raut wajah Jia mulai melunak, sementara pikiranku masih berputar tentang perdebatan kami tadi. Anehnya, di tengah kegelisahanku, Jia terlihat begitu tenang.
"Kau bilang tak membenciku, apakah itu artinya kau menyukaiku?"
Jia langsung menoleh, rona merah perlahan menghiasi wajahnya. "A-apa?"
"Jadi, kau sangat membenciku, ya?" Aku terus menggoda.
"Aku tak pernah bilang begitu!" balasnya cepat.
"Lalu, apa?" tanyaku, memaksa jawabannya.
Jia menunduk, wajahnya semakin merah. "Yang aku katakan hanyalah aku tak membencimu. Bisakah kita hentikan topik ini?"
Aku meraih tangannya, dan dia langsung memelototiku. Alih-alih terlihat menyeramkan, ekspresi Jia yang canggung malah membuatnya tampak manis dan lucu.
"Jangan salah paham," ucapku, setengah bercanda. "Ini hanya untuk meyakinkan pria tadi kalau kita benar-benar sepasang kekasih. Agar dia tak mendekatimu lagi."
Tiba-tiba, suara teriakan seorang wanita membuyarkan perhatian kami. Aku menoleh dan melihat pria yang tadi mencoba melecehkan Jia kini menodongkan pisau ke arah para penumpang.
"Semuanya tiarap dan angkat tangan ke atas!" perintahnya dengan nada mengancam.
Kebanyakan penumpang hanya terdiam, kaku dalam ketakutan. Namun, seorang pria di belakang penjahat perlahan mengeluarkan ponselnya, mungkin mencoba meminta bantuan.
"Tiarap atau aku akan membunuhnya!" Penjahat itu menarik seorang wanita muda dan menempelkan pisaunya ke lehernya.
"To-tolong!" jerit wanita itu.
Penumpang lainnya langsung tiarap, menunduk dengan tangan terangkat tinggi. Hanya aku dan Jia yang masih berdiri, menjadi pusat perhatian sang penjahat.
"Apa kalian ingin mati?!" bentaknya.
Jia menggenggam tanganku erat, dan aku bisa merasakan tubuhnya yang gemetar. "I-ian, kita harus menunduk," bisiknya, suaranya penuh kekhawatiran.
Tak ada pilihan lain, aku akhirnya ikut menunduk demi keselamatan Jia. Sebelum kami benar-benar berjongkok, penjahat itu menyeringai licik.
"Hanya kau yang tiarap," ucap penjahat itu, matanya tertuju padaku. Wanita yang tadi dijadikan sandera didorong ke samping, sementara dia melangkah mendekat. "Wanita di belakangmu ikut denganku."
Aku menatapnya tajam, lalu berkata, "Kalau kau ingin membunuh seseorang di kereta ini, aku saja."
Penjahat itu tersenyum mengejek. "Tentu. Aku akan membunuhmu, tapi aku akan memberimu waktu untuk bersiap-siap. Rasakan ketakutan itu sebelum ajal menjemputmu."
Aku tahu, aku harus mengulur waktu. Ada seseorang yang berusaha menelepon tadi, jadi yang bisa kulakukan hanyalah membuat penjahat ini sibuk hingga bantuan datang.
"Sa-sayang, tolong bantu aku! A-ada penjahat di kereta!" teriak pria yang mencoba menelepon, suaranya gemetar.
Sang penjahat dengan cepat berlari, merebut ponsel pria itu, lalu membantingnya ke lantai dan menginjaknya hingga pecah. Dia juga menendang pria itu beberapa kali, mungkin sebagai bentuk hukuman atas kebodohannya.
Melihat kesempatan, aku menarik Jia dan membawanya menjauh, mencari tempat aman di sudut yang tak terlihat dari pandangan penjahat.
Saat penjahat itu selesai menghukum penumpang tadi, sang penjahat tampak bingung. Mungkin karena dia menyadari bahwa Jia tak lagi di tempat semula. Dengan jumlah penumpang yang semakin sedikit, dia pasti segera menyadari bahwa kami satu per satu berhasil kabur menuju gerbong lain.
"Jangan coba-coba kabur!" teriak penjahat, mengejar kami.
Ketika dia berusaha masuk ke gerbong pelarian kami, aku bergegas menarik bahunya dan membantingnya ke dinding. Pisau yang dia pegang terlepas dan jatuh ke lantai.
"Kau seharusnya tak membelakangi musuhmu," kataku dingin.
Penjahat itu bangkit dengan cepat dan mencoba meninju, tapi aku berhasil menghindar. Suara desiran angin dari tinjunya membuatku sadar betapa kuat pukulannya jika sampai mengenai sasaran.
Kepercayaan diriku sedikit meningkat. Aku teringat latihan singkat bersama Mina, yang selalu menekankan pentingnya mengamati pergerakan musuh. Sejak tadi, aku melakukan hal itu.
Penjahat ini terlihat tak terlatih. Caranya memegang pisau dengan kedua tangan mengungkapkan ketakutannya. Tangannya sedikit gemetar, dan aku melihatnya beberapa kali mengganti posisi untuk mencari pegangan yang lebih nyaman.
Dia menyerang lagi, tapi aku berhasil menghindar. Meski begitu, keberuntungan tak selalu berada di pihakku. Saat aku tak sengaja tersandung, dia memanfaatkan kesempatan itu dan memukulku. Aku mencoba melawan, tapi serangannya terlalu kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing With You
Romance𝐌𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐮𝐧𝐬𝐮𝐫 𝐩𝐥𝐚𝐲𝐛𝐨𝐲 🐰 𝐃𝐞𝐦𝐢 𝐤𝐞𝐛𝐢𝐣𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚, 𝐜𝐡𝐚𝐩𝐭𝐞𝐫 🔞 𝐝𝐢𝐤𝐮𝐧𝐜𝐢. *** Kehidupan kampus bisa menjadi mimpi buruk bagi seorang korban bullying seperti Caspian. Ketika dia jatuh cinta pada p...