"Aku merindukanmu setiap hari! Semua terasa hampa tanpamu di sini dan hingga saat ini aku terus berharap ini semua hanyalah mimpi buruk. Kau tahu? aku terlalu egois ya, ingin berharap bahwa tuhan bisa membawamu kembali kepadaku, tetap mencintai diriku ya! Aku sayang kamu :)" - Mila Andhini
"Bandung, jadikan aku manusia yang kuat untuk menerima semua takdir tuhan, ya!"
.
.
.
.
Mila Andhini, melanjutkan kembali pendidikan S1-nya, mengambil jurusan bahasa dan sastra indonesia di salah satu kampus masih masuk di kawasan metropolitan bandung raya, universitas padjajaran tempatnya. Wanita pintar dan berprestasi ini selalu dikenal sebagai sosok yang tangguh dan mandiri. Meski begitu, kehilangan Rizky meninggalkan luka yang mendalam di hatinya, membuat perjalanan hidupnya menjadi lebih berat dari yang pernah ia bayangkan.
Kedatangannya kembali ke kampus menjadi sorotan teman-temannya, dan menggerakan Selina menghampiri dirinya terlebih dahulu. Selina adalah sosok yang ceria, selalu membawa keceriaan ke dalam lingkaran pertemanan mereka. Meskipun mereka tidak begitu dekat sebelumnya, Selina selalu mengagumi Mila dari jauh, terutama karena kecerdasannya dan kemampuan Mila untuk selalu terlihat tegar.
Selina memeluk Mila dengan hangat, tanpa ragu-ragu. "Mila, senang banget lihat kamu kembali!" serunya dengan senyum lebar yang seolah menular. "Kami semua di sini kangen banget sama kamu."
Mila membalas senyumnya, meskipun masih ada kesedihan dalam hatinya. "Terima kasih, Selina. Aku juga senang bisa kembali, meski rasanya sedikit berbeda sekarang."
Selina pun memeluk erat tubuh Mila. Serlina tahu, bahwa Mila menyembunyikan semua kesedihan di balik senyuman lebar itu, wanita yang selalu kuat, riang, dan penuh itu kini menjadi wanita yang rapuh.
"Mila, kamu nggak harus berpura-pura di depan aku atau yang lain," bisik Selina, suaranya dipenuhi dengan kepedulian yang tulus. "Kalau kamu butuh waktu untuk sendiri, atau untuk bicara, aku ada di sini buat kamu."
Mila menghela napas dalam-dalam, merasakan pelukan Selina sebagai sedikit penenang di tengah badai emosinya. "Aku tahu, Selina," jawabnya dengan suara bergetar. "Tapi kadang aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Rizky adalah segalanya buat aku. Sekarang, dia nggak ada, dan rasanya seperti aku kehilangan bagian dari diriku yang nggak akan pernah bisa kembali."
Selina memejamkan mata, menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya sendiri. "Aku nggak bisa bayangin rasa sakit yang kamu rasakan, Mila," jawabnya lirih. "Tapi aku tahu satu hal, Rizky nggak akan mau lihat kamu hancur seperti ini. Dia mau kamu terus hidup, meski tanpanya."
Dengan tegar, Selina menggenggam tangan Mila dengan erat. "Mil, kamu tahu kan bahwa semua yang hidup pasti akan kembali kepada-Nya?" lanjut Selina dengan suara yang bergetar. "Kehilangan memang tak terhindarkan, tapi bukan berarti hidupmu harus berhenti di sini. Kamu masih punya banyak hal untuk dijalani, banyak mimpi yang belum kamu wujudkan."
Mendengar semua ucapan dari Selina, Mila menundukkan kepala dan matanya terpejam erat.
"Mil," Selina kembali memeluk erat tubuh Mila. Wanita itu kini tidak bisa menahan air matanya.
"Ikhas ya, Mil! Aku gak mau melihat kamu seperti ini terus, sebagai temanmu aku akan gagal untuk menjadi penghibur di setiap lukamu!"
Mila akhirnya membiarkan air matanya mengalir, membasahi bahu Selina. "Aku akan mencoba, Selina," ucap Mila dengan suara serak, "tapi tolong, jangan pergi. Aku butuh kamu di sini. Janji, ya?"