11 - Anak Ketiga Gue

33 8 4
                                    

Hujan turun bersamaan dengan kedatangan mobil polisi dan damkar yang gue panggil sebelumnya. Orang-orang tadi langsung mereka berantas. Gue sebenernya diharuskan ikut sebagai saksi dan korban, cuman gue bilang bakal nyusul karena mau ngelakuin hal lain dulu. Daritadi Seiki meong-meong terus dari gang lain.

Begitu gue samperin dia, gue langsung melihat salah satu kucing yang menjadi hewan suruhan orang-orang biadap tadi tengah mendorong-dorong tubuh kucing lain menggunakan moncongnya.

Gue deketin kedua kucing itu, kemudian kucing yang mendorong kawannya dengan moncongnya tadi menggeram marah ke gue sambil menunjukkan taring dan kuku-kukunya. Gue baru sadar dia punya kalung nama. Gue perhatikan baik-baik, kucing itu bernama Irma.

Gue paham dia waspada terhadap gue secara dia udah diperlakukan semena-mena sama manusia, jadi gue hanya mendengus senyum.

"Kau boleh mencakarku jika menurutmu aku berbuat jahat," ujarku, Seiki langsung melototin gue gak terima.

"Pertama, aku mau memeriksa temanmu saja. Boleh?"

Tapi kucing bernama Irma itu tetap menggeram marah. Gue mendesah gusar. Daritadi feeling gue dah gak enak sumpil, meski gue dah tau keadaan kucing yang berbaring gak bergerak itu pasti dah gak ada. Mengingat apa yang orang-orang itu lakukan pada kucing ini membuat gue mengepalkan tangan.

At least semuanya selesai, para penjahatnya udah diberantas, dan hewan-hewan di sini akan dibawa ke penangkaran. Gue menghela nafas pelan guna menenangkan diri.

Lalu untuk kucing yang gagal gue selamatkan ini, setidaknya gue mau melakukan sesuatu yang baik padanya. Tapi saat tangan gue mau meraihnya, luka cakar gue dapatkan di punggung tangan. Gue mendesis sakit liat tangan gue lecet dan berdarah sedikit. Belum juga gue tenang dari kaget, tiba-tiba kucing bernama Irma itu nyerang gue lagi dengan gigit lengan gue.

"MRAW!"

Seiki segera membalas serangan Irma dengan menggigit tubuhnya sehingga Irma melepaskan gigitannya dari tangan gue. Mereka berdua saling melotot satu sama lain sambil mendesis dan menggeram siaga serang.

"Meng..."

"Mraw... Hish!"

"MENG!" Irma maju lebih dulu, tapi belum sempat cakarnya menyentuh Seiki, sebuah pencapit leher hewan telah menahan pergerakkan Irma.

Gue juga kaget waktu liat orang-orang damkar tiba-tiba lewat masuk sini. Irma mulai mengeong ngamuk, kemudian dengan hati-hati dia diangkat oleh salah seorang damkar yang udah pake sarung tangan khusus, lalu Irma dimasukkan ke dalam kandang yang lebih layak. Meski gitu dia masih ngeberontak di dalam sana.

"Eh jangan, Pak!"

Si Seiki hampir mau ditangkep mereka juga bejir. Untung keburu gue rebut balik anak gue.

"Yang ini beda. Ini peliharaan saya," jelas gue sambil cengengesan canggung.

"Ohh maaf, Mas, kirain hewan dari sini juga," kata salah seorang damkar.

Gue menjelaskan lagi kalau Seiki tuh kucing peliharaan gue yang ikut bantu ngeberantas orang-orang tadi. Usai gue menjelaskan, gue gak sengaja denger omongan damkar lain.

"Kebanyakan hewan di sini telah dipasang sebuah chip tindik yang bisa menyetrum mereka kalau pemicunya ditekan."

"Bagian polisi menemukan adanya remot kendalinya."

"Kasihan kucing ini. Keadaannya sampai hitam begini karena terbakar sengatan listrik."

Gue langsung paham kucing mana yang dimaksud. Gue noleh dan melihat dua orang damkar mau evakuasi mayat kucing tadi. Tapi lagi-lagi gue menghentikan pekerja pemadam kebakaran ini.

"Maaf, Pak. Kalau boleh biar saya saja yang mengurusnya," ujar gue, "saya gagal membawanya ke dokter hewan karena kejadian ini. Saya mau tebus kesalahan saya." Gue melanjutkan.

Kedua petugas damkar itu saling beri tatap, kemudian dengan senyum mereka mengiyakan gue. Gue juga mengulas senyum lega. Setelah berterimakasih, mereka pergi dengan membawa Irma, sementara gue mengambil mayat kucing malang ini untuk gue kubur.

Singkat cerita, gue balik ke mobil petugas polisi. Gue pun ikut mereka ke kantor buat beri keterangan pasti. Sesampainya di sana, gue yang pertama dipanggil buat diinterogasi. Gue mah B aja, ya, toh bukan pelaku, jadi gue menjelaskan dengan santai apa aja yang gue tau.

Seiki juga ikut. Tuh anak sekarang lagi tiduran di atas meja interogasi. Sempet gue tegor karena takut gak sopan, kan, tapi polisi yang lagi tanya-tanya gue bilang gak masalah. Yowes.

Beberapa lama sampe akhirnya interogasi selesai, gue dibolehin pulang. Gue jalan di lorong dengan helaan nafas panjang, dan Seiki yang masih tidur sekarang di gendongan gue. Begitu sampe di depan, gue liat ada petugas polisi yang lagi ngobrol sama petugas damkar. Tiba-tiba gue keinget sama Irma dan temannya yang mati.

Jujur gue masih ngerasa gimana gitu. Gue yang pemilik pet care gak bisa menjaga hewan, bahkan cuma liatin hewan dianiaya sampai mati. Kedua kaki gue mulai melangkah mendekati kedua petugas itu. Mereka pula noleh ke gue.

Ada dorongan yang bikin gue mau mengatakan sesuatu ke mereka, jadi langsung saja gue katakan.

"Pak, tolong ijinin saya membawa satu dari hewan-hewan tadi."

🐾

🐾

Di lain tempat, nampak seseorang tengah misuh karena motornya yang tiba-tiba mogok. Sekarang ini dia sedang memeriksa bagian mesin motornya.

"Hadeh mogok terus. Orang bengkel serius gak sih benerinnya?" gumamnya.

Semilir angin bertiup membuat orang itu seketika merinding dan tersadar. Dia mendongak melihat pohon besar di depannya. Di saat itu juga dia melihat sesuatu di antara dedaunan nampak seperti sepasang mata.

Orang itu panik. Pelan-pelan dia bergerak untuk mendorong motornya pergi dari sana sambil komat-kamit baca do'a,

dan bersamaan juga sepasang mata itu hilang dari dedaunan.

🐾

🐾

Senyum gue melebar kala gue dibolehin buat bawa pulang satu ekor kucing yang gue mau. Gue masuk ke dalam gudang di kantor polisi yang menjadi tempat sementara menaruh hewan-hewan budak yang akan dibawa ke penangkaran hewan nanti. Gue samperin salah satu kandang yang berisikan kucing yang mendesis galak ke gue sambil mundur mojokin dirinya.

Dia kucing yang sama yang udah cakar punggung tangan gue gegara gue mau bawa temennya yang udah mati. Padahal niat gue mau bantu kubur. Walau gitu gue paham hewan juga punya perasaan. Entah berapa lama dia dan hewan lainnya diperlakukan buruk, yang pasti ada trauma tertanam di diri mereka.

"Irma," panggil gue, "temenmu udah kukubur dengan baik. Dia udah baik-baik aja."

Gue bisa liat yang tadinya dia unjuk taring langsung berubah jadi ekspresi bingung, tapi balik galak begitu gue angkat kandangnya. Walau gitu gue tetap ngulas senyum.

"Gue baru sadar kamu punya kemiripan sama temenmu. Jangan-jangan kalian satu ras," ucap gue.

Irma cuma mendesis sambil masih mojokin dirinya. Bakal susah sih ini, tapi daripada gue stres nyalahin diri, mending gue tebus dengan ngerawat dia.

Nambah anak ges. Welkam anak ketiga gue.

To be continued...

Stabile Paws!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang