Semesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang.
Dia Karen...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ini, buat kamu." Syifa mengulurkan ponsel baru berwarna hitam di tangannya kepada Karen. "Ponsel kamu yang lama sudah rusak. Sekarang saya belikan yang baru," lanjut wanita itu.
Sedangkan Karen masih belum bergerak. Hanya duduk diam di samping Syifa bagaikan patung. Suasana rumah ini sangat sepi, entah kemana perginya Nadikta dan Om Jordi. Bahkan Karen juga tidak bisa menemukan Bi Lastri dan Pak Man. Ketika bangun tadi, ia hanya menemukan bunda nya yang sudah duduk di meja makan.
"Ambil, Karen! Dan lihat apa yang sedang ramai di perbincangkan oleh orang-orang." Sekali lagi, Syifa kembali bersuara.
Menatap bunda nya sejenak, lalu Karen menerima pemberian tersebut. "Makasih, Bunda." Bahkan lidah nya kelu untuk memanggil wanita di sampingnya dengan sebutan itu. Seperti ada perasaan asing di hatinya, apalagi setelah pengakuan wanita itu beberapa waktu lalu.
Syifa mengulas senyum tipis. "Saya masuk ke kamar dulu. Nanti, kalau kamu sudah selesai melihat-lihat, panggil saya lagi." Tanpa menunggu balasan, Syifa bangkit dan berjalan pergi meninggalkan Karen.
Selepas kepergian bunda nya, Karen menatap benda pipih di tangannya. Seperti permintaan wanita itu, kini Karen mulai menyalakan ponsel keluaran baru tersebut. Ternyata semuanya sudah di setting dengan sedemikian rupa, bahkan banyak aplikasi sosialmedia yang tersedia di sana. Karena masih ingat dengan nama-nama akun nya yang dulu, Karen memutuskan untuk log in kembali.
Seperti yang bunda nya katakan, sosial media saat ini tengah ramai memperbincangkan sesuatu. Muncul satu artikel berita dari notifikasi, yang akhirnya ia baca dan cermati. Jantung nya bertalu-talu setelah selesai membaca itu. Isi artikel tersebut menjelaskan detail tentang berita yang tengah hangat di perbincangkan. Di sana, bukan hanya ada nama Nadikta dan Om Jordi. Tetapi juga ... ada nama bunda nya.
Kenapa?
Akhirnya Karen enggan untuk mencari lagi. Kini memilih berlari ke arah kamar bunda. Mengetuk pintu di depannya berulang kali dengan gelisah. "Bunda!" panggilnya dengan gemetar.
Tak lama, pintu terbuka. Sosok Syifa muncul dengan senyum tipis. Bibir yang biasanya selalu di poles dengan lipstik tersebut, kini nampak pucat dan kering. "Sudah tau? Ayo masuk, saya akan mengatakan semuanya kepada kamu."
Untuk pertama kalinya, Karen menginjakkan kaki di sini—di kamar bunda dan Om Jordi. Bunda nya sudah duduk di kursi meja rias, dan ia memilih duduk di sebuah sofa yang tak jauh dari posisi bunda nya.
"Bund, berita itu ... kenapa ada nama Bunda juga?" Akhirnya, satu pertanyaan berhasil terlontar juga dari mulut Karen.
"Karena saya juga bersalah," balas Syifa dengan tenang. "Kamu ingat cerita saya, 'kan, tentang kematian ibu kandungnya Nadikta dan Nada? Nadikta yang membeberkan semuanya. Bukan hanya itu, dia juga memberikan keterangan bukti tentang kasus korupsi yang dilakukan sama papa nya sendiri."