Chapter 1. Impulsif
***
Mingyu menjatuhkan punggungnya ke kasur. Ia masih tidak menyangka kejadian hari ini bisa sangat di luar ekspektasi. Dimulai dari menyusun plot sedemikian rupa untuk menyatakan perasaannya pada Lisa, gadis yang ditaksirnya sejak masa OSPEK dulu, namun rencananya harus pupus begitu melihat Lisa menerima lamaran pria lain, hingga berakhir memacari seorang gadis yang tidak dikenalnya.
Oke, ia tahu semua kekacauan ini berasal dari keputusan impulsifnya.
Kalau saja ia mengungkapkan perasaannya sejak lama, tidak mungkin Lisa keburu dijodohkan dengan pria pilihan orang tuanya. Pun ketika tahu gadis incarannya sudah berpunya, seharusnya ia segera membuang buket bunga yang telah ia persiapkan dan bukan malah menembak gadis random untuk menutupi kekalahannya.
Dan Sakura... kenapa gadis itu malah menerimanya?
Gadis itu sangatlah aneh. Mingyu yakin Sakura sudah mengetahui kebohongannya, bahwa bunga itu sebenarnya bukan untuknya dan gadis yang ingin ia tembak adalah Lisa. Terbukti dengan kalimat yang gadis itu bisikkan padanya.
"Di antara semua protagonis di sini, lo justru milih gue buat dijadiin kambing hitam?"
Ia merasa sangat terganggu dengan ucapan gadis itu. Benar juga, dari sekian banyak orang yang ada di lapangan saat itu, kenapa harus Sakura?
Sakura adalah seseorang yang keberadaannya seperti angin, tidak terdeteksi ada dan tiadanya. Ia adalah tipe orang yang mudah disingkirkan. Mingyu pikir, gadis itu akan langsung menolaknya seperti gadis-gadis inferior di buku novel, yang merasa tidak pantas menerima cinta dari protagonis pria. Tapi di luar dugaan, gadis itu malah balik menantangnya.
Ini tidak seperti Sakura yang dia kenal saja. Sejak awal, gadis itu bukanlah seseorang yang menonjol dalam segi apa pun. Dia tidak secantik irene, tidak sepintar Jihyo, tidak sepopuler Lisa, tidak seramah Wendy dan tidak juga segalak Eunbi yang menjadi bendahara sejak tahun pertamanya. Standar. Ditambah kacamata tebal yang selalu menempel di wajah. Jarang sekali ada yang memperhatikan eksistensinya. Teman yang benar-benar dekat dengannya pun sepertinya tidak ada.
Tadinya, Mingyu merasa sedikit bersalah melibatkan gadis itu. Tapi entahlah, ia pusing. Untuk sekarang, biarkan saja seperti ini dulu. Solusinya biar ia pikirkan lagi besok.
*****
Satu hal yang paling dibenci Sakura adalah perasaan dipermainkan. Sayang sekali, Mingyu tidak mengetahui itu dan memilih jalan yang salah. Jika pemuda itu ingin bermain-main dengannya, Sakura sama sekali tidak keberatan untuk menemaninya. Dia pastikan, dia tidak akan menjadi pihak yang kalah.
Sakura menatap langit-langit kamar yang berwarna putih bersih. Mengangkat sebelah tangan dan melepas kacamata dari wajahnya. Tak lagi di support oleh alat bantu penglihatan itu, pandangannya pun mengabur.
Di rumah, ia lebih senang tidak menggunakan kacamata, tidak peduli jika hal itu akan semakin memperburuk kondisi netranya. Baginya, benda itu adalah topeng untuk menutupi kebusukannya dari luar. Menjadi si anak pendiam yang jauh dari masalah.
Ia terkekeh pelan. 'Masalah' justru sudah menjadi bagian dari dirinya. Lucu sekali betapa ia berusaha menutup masa lalunya dan bertingkah seperti anak baik di luar sana.
Sebenarnya, Sakura berpikir ini cukup menyenangkan. Setelah sekian lama menyembunyikan diri yang sebenarnya, ia bisa menunjukkan sisi itu walau hanya pada satu orang saja. Seperti mendapat angin segar, ia jadi tidak sabar. Kira-kira apa yang harus dilakukannya pada pemuda itu ya?
Tak lama berselang, terdengar suara ketukan di pintu kamar yang membuat lamunannya terhenti. Itu pasti Bi Dira ART yang sudah bekerja di rumah ini sejak lama.
"Nona Sakura, Tuan besar sudah pulang."
Pupil matanya seketika mengecil.
"Oke."
*****
'Munafik' adalah kata yang ia rasa paling tepat untuk mendeskripsikan gadis itu. Bagaimana tidak, beberapa saat lalu di depan orang-orang, gadis itu masih menatapnya sambil tersenyum malu. Namun, saat mereka tinggal berdua di ruangan kelas, senyum gadis itu berubah jadi sinis.
"Kita putus aja."
"Ga mau."
"Gue yang mutusin lo, kesalahannya ada di gue. Terserah gimana lo mau jelasin ke orang-orang."
"Tetap nggak."
"Lo mau apa sih? Lo ga bener-bener tertarik sama gue kan?"
Sakura malah tertawa terbahak-bahak, seperti sedang menonton acara komedi.
"Udah ngaca?"
Tawa itu tidak berlangsung lama, karena setelahnya gadis itu berjalan menuju 'pacar'nya sambil terus berbicara.
"Kenapa sih ngotot banget buat putus? Bukannya lo bilang jatuh cinta sama gue sejak pandangan pertama? Kok cepat banget berubahnya? Emang ya, omongan lelaki itu ga bisa dipercaya."
Jarak yang menipis membuat mereka bisa mengamati wajah satu sama lain dengan baik. Pertama kalinya Mingyu menyadari kalau gadis itu memiliki mata yang indah. Sakura ini... entah bagaimana Mingyu harus mendeskripsikannya. Namun ia bisa mengatakan bahwa gadis itu 'berbahaya'.
"Takut?"
Mata mereka bertumbukan selama beberapa detik.
"Memangnya apa yang gadis kecil ini bisa lakuin? Gue ini anak baik-baik Mingyu," matanya yang besar terlihat polos, namun pendapat kalian akan berbeda jika sudah melihat sudut bibirnya yang terangkat tinggi, seolah meledek.
Sial! Di saat seperti ini, kenapa ia justru merasa terpana?
YOU ARE READING
VILLAINESS
Fanfiction"Diantara semua protagonis yang ada di sini, lo malah milih gue untuk dijadikan kambing hitam? Fine. I'll be your villain, just for you~" #villainess