Chapter 3: Cash atau Credit?
***
"Mau apa lo ke kosan gue?"
Sebelum menjawab, gadis itu melihat sekelilingnya, memastikan tidak ada orang yang dikenalnya yang bisa menguping pembicaraan mereka. Setelah dikeroyok dengan berbagai nasihat dari teman kosannya, akhirnya pemuda itu membawanya ke luar kos. Kali ini mereka ada di kafe dekat kosan Mingyu.
"Kebetulan lewat, jadi sekalian mampir."
"Buat apa?"
"Sebagai bentuk sopan satun? Lo pacar gue kan?"
Sakura menjawabnya ringan, seolah dia tidak merasa melakukan hal yang salah. Mingyu mendengus. Siapa yang coba gadis itu tipu?
"Lo yang paling tahu kepalsuan dalam ucapan lo barusan."
Sudut bibirnya terangkat, gadis itu terkekeh pelan.
"Bagus kalau lo sadar, lo gak sepenting itu. Gue cuma lagi iseng aja."
Di depannya, Mingyu menatap Sakura tajam. Gadis itu memutar bola mata dan tanpa permisi berlalu meninggalkan Mingyu sendiri.
"Jadi ini sifat asli lo? Dibalik image good girl yang lo bangun itu?" tanya Mingyu cukup keras.
Sakura berhenti. Pemuda itu memang sangat menyebalkan. Bukankah sejak awal dia duluan yang mengusik Sakura? Ia hanya mengikuti permainan Mingyu, tapi kenapa sekarang pemuda itu justru playing victim? Si gadis pun menghela napas dan melirik pemuda itu dari balik bahu.
"Seenggaknya gue masih cukup baik hati, dengan nyelametin muka lo dari malu karena cinta yang tertolak tanpa sempat tersampaikan. Sebab Lisa... cuma nganggep lo sebagai temennya, ga lebih."
Mingyu mendelik kesal mendengarnya. Gadis itu seperti menyiram asam ke lukanya yang belum mengering. Sakura sepenuhnya berbalik, menatap balik pemuda di depannya dengan tatapan yang sama tajamnya.
"Gue ga ngerti kenapa lo semarah ini, saat yang seharusnya marah justru gue. Ingat, lo sendiri yang memilih gue untuk jadi kambing hitam lo di sidang gue kemarin. It's not my fault, Mingyu. It's yours."
"Ya, kesalahan gue karena nargetin cewek gila macam lo."
"I know right? Dan cewek gila ini, yang akan memastikan lo membayar apa yang udah lo lakuin ke gue. Jadi, pembayarannya mau cash atau credit?"
*****
Sakura pulang ke rumahnya dengan perasaan senang. Memang, tidak ada yang lebih menyenangkan dibanding menjadi diri sendiri.
"Kenapa tertawa begitu?"
Sakura terkesiap mendengar suara itu saat akan menaiki tangga. Ia menoleh dan mendapati ayahnya sedang duduk di kursi meja makan dengan segelas kopi di atas meja. Pria itu memegangi iPad yang menunjukkan slide ppt dengan grafik yang menanjak dari tahun ke tahun-tahun.
"Ayah sudah pulang?"
Dia berhenti dan menyapa pria yang terlihat lelah itu.
"Berhenti membuat masalah, Sakura!"
Bahkan ayahnya tidak merasa perlu menjawab pertanyaannya. Ingin rasanya ia memutar mata, namun ditahannya keinginan itu.
"Baik Ayah."
Sakura mengeratkan pegangan tangannya dan kembali menaiki anak tangga dengan bibir yang menipis. Ia mendengus, merasa geli. Sebenarnya, yang seharusnya berhenti membuat masalah itu dirinya atau ayahnya?
*****
"Jadi, pembayarannya mau cash atau credit?"
Mingyu tidak bisa berhenti mengingat kejadian tadi pagi.
Bisa-bisanya gadis itu membuatnya kelimpungan malam-malam seperti ini?
Tidak tahan, pemuda itu pun beranjak dari kasurnya menuju ruang tengah. Kosannya terdiri dari tiga lantai, dengan total 13 kamar yang disewakan. Kamarnya sendiri berada di lantai satu, sehingga dekat dengan ruang tengah tempat penghuni kosnya sering berkumpul.
Saat sampai, ia melihat dua orang sudah lebih dulu berada di sana. Sungcheol dan Jeonghan, dua mahasiswa S2 dari kampus yang sama dengannya.
"Masih melek aja lo, tumben?"
Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Di hari-hari biasa, Mingyu pasti sudah berpetualang dalam mimpinya. Tapi, kali ini kasusnya di luar biasanya.
"Iya bang."
"Tau deh, yang baru jadian mah gitu. Abis sleepcall sama ayang ya?"
Jeonghan menggodanya, yang ditanggapi Mingyu dengan ekspresi kesal. Dia tidak suka dikaitkan dengan gadis itu.
"Berisik!"
"Eleuh eleuh, gitu aja ngambek."
Saat itulah terdengar suara kunci pintu dibuka. Seketika lepas sudah beban di pundak Mingyu, karena perhatian teralih pada pemuda yang baru saja pulang hampir tengah malam itu.
"Darimana Wonwoo?"
"Yah biasa, abis diusir dari perpus terus lanjut ngegawe di Almet kan, sampai kafenya tutup dan lo diusir lagi?"
"Ada project yang harus gue selesain hari ini, supaya besok bisa free."
"Bener kan gue?"
Jeon Wonwoo memang terlalu berdedikasi pada pekerjaannya. Semua temannya tahu bahwa pemuda itu seorang perfeksionis dan hanya bisa memakluminya.
Dia sebenarnya sudah lulus tahun lalu, namun karena tempat kerjanya dekat dengan kampus, ia memutuskan tidak pindah dari kosan. Alasan lain, ia sebenarnya sudah nyaman dengan tempat ini. Kosan ini adalah rumah kedua baginya. Meskipun kadang situasinya chaos, ia justru merasakan kehangatan yang sudah lama tidak dirasakannya.
Dulu, tak jarang ia sampai tidak tidur demi menyelesaikan tugas kuliahnya setelah pulang dari tempat kerja. Apalagi, beberapa tahun terakhir dirinya selalu bekerja gila-gilaan agar bisa menyisakan waktu luang setiap minggunya.
"Jangan terlalu diforsir, santai aja. Waktunya masih panjang kan? Jangan sampai kerjaan ngerusak pola hidup lo. Overwork itu ga baik."
"Iya. Gue naik dulu."
Mereka bertiga hanya melihat Wonwoo yang berlalu ke kamarnya.
*****
"Mingyu, mau ke kantin ga?"
Kelasnya baru saja berakhir dan Lisa yang duduk di sebelahnya menawari pergi bersama ke kantin yang ada di lantai dasar. Tentu ia tidak akan menolak, selain karena ajakan itu datang dari pujaan hati, perutnya memang sudah keroncongan sejak tadi.
Tapi, belum sempat ia menjawab, seorang gadis datang dan berhenti tepat di depannya. Refleks ia menengok dan menemukan Sakura sedang berdiri dengan senyuman manis di wajahnya.
"Mingyu, kita jadi pergi? Oh, hai Lisa," tanya gadis itu sembari menyapa Lisa yang dibalas dengan sapaan yang sama.
Mingyu menaikkan sebelah alis, tidak mengerti maksud gadis itu. Sakura hanya menunduk menyembunyikan senyum sambil mencuri pandang ke arah pemuda itu. Sorot matanya menajam ketika menangkap basah akting gadis itu, yang tidak gentar dan malah membalas dengan tatapan sok polos dari mata Sakura.
Lisa tersenyum canggung. Ia yang tadinya ingin mengajak pemuda itu ke kantin pun terlihat mengurungkan niat. Ia pun memilih pamit dari sana, tidak mau menjadi nyamuk diantara dua sejoli yang baru saja meresmikan hubungan mereka.
"Oh, kalian udah ada janji ya. Gue ga mau ganggu kalau gitu, have fun."
Sakura tersenyum sopan. Sembari matanya mengikuti kepergian gadis itu, ia mengernyit. Tadi, sekilas ia seperti melihat tatapan terluka di mata gadis itu.
Ia lalu melirik Mingyu dari sudut matanya, yang menatap kepergian Lisa dengan tatapan sedih. Dua orang ini... memang tidak punya semangat juang ya? Terlalu legowo. Sakura menggelengkan kepalanya prihatin.
Jangan harap ia akan berbaik hati membantu pemuda ini. Never. Namanya bukan Sakura jika ia berubah haluan dan mendukung Mingyu memperjuangkan cintanya pada Lisa. Akan ia pastikan sisa waktu Mingyu di kampus ini tidak tenang. Terutama kehidupan cintanya.
"Jadi, kita pergi?"
YOU ARE READING
VILLAINESS
Fanfiction"Diantara semua protagonis yang ada di sini, lo malah milih gue untuk dijadikan kambing hitam? Fine. I'll be your villain, just for you~" #villainess