SEMOGA HARI - HARI KALIAN MENYENANGKAN
•
•PERINGATAN!
KARYA INI MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN/ DARAH, YANG MUNGKIN KURANG COCOK UNTUK SEBAGIAN PEMBACA.
MOHON KEBIJAKAN PEMBACA DALAM MEMBACA KARYA INI.
***********
AKU BENCI AZURE. AKU SUKA KEGELAPAN DAN KESUNYIAN. AKU BISA MEMBUAT KERAMAIAN. BISA MENGABULKAN KEINGINANMU. KEBAHAGIAN, TEMAN, APA PUN ITU.
AKU ADA DI SEKITARMU. TAPI KAMU MENGHIRAUKANKU. AKU MELIHATMU. ADA DI MANAPUN KAMU BERADA. TEMUKAN AKU, SEBELUM AKU MEMILIHMU.
******
Sangat ketakutan. Hazel berusaha bangkit. Namun seseorang tengah berdiri tepat di hadapannya dengan pisau berlumur darah ditangannya. "Aaa!" karena menghindari sayatan pisau, Hazel tersungkur dan terjatuh ke belakang. "Hah, tolong." Hazel terbangun dari tidurnya. Jantung berdetak cepat, nafas terengah-engah. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
"Sial, ini hanya mimpi. Tapi ...." Hazel melirik ke sekitar. Hanya ada dirinya di gedung itu sekarang. Hazel menatap ke arah panggung di depan. Menatap piano yang ditutupi kain. "Mimpi itu begitu nyata sampai aku berkeringat." Hazel menyisir rambut dengan jari tangan ke belakang. Berdiri sembari menggerakan badannya untuk memastikan jika itu memang hanya mimpi.
Ia pun memilih beranjak keluar dari gedung. Baru menginjak beberapa anak tangga, Hazel merasa jika seseorang sedang mengawasinya dari sudut atas ruang itu. Benar, seorang siswa laki-laki tengah bersandar, menyilang kedua tangannya ke dada. Menatap datar ke arah Hazel. Hazel menutup mulutnya. Terkejut dengan paras siswa laki-laki itu.
Waist, penampilan yang memanjakan mata.
Hazel kembali melewati satu persatu anak tangga. Memilih acuh dengan siswa laki-laki yang masih saja menatapnya. Penasaran sekaligus memang ingin memperjelas pemandangan yang begitu memanjakan mata. Hazel berbalik untuk memastikan.
"Hmm, siapa kau? Maksudku, siapa namamu? Kau juga bolos?" tanya Hazel. Hanya alasan untuk tetap berada di tempat itu, sedikit lebih lama.
"Kael. Apa yang kau lakukan di sini?"
Jika dilihat lebih dekat, dia terlihat semakin tak nyata. Apa jangan-jangan dia ..., ah tidak mungkin.
Kael yang sedari tadi menatap Hazel, mengukir senyum tipis. "Alasan apa yang sedang kau pikirkan? Ini ruang seni yang sudah lama terbengkalai. Jangan ke sini." Hazel mengangkat sebelah alis, heran.
"Memang ini punya bapakmu? Jika kau bisa ke sini, kenapa aku tidak?"
Kael menatap Hazel cukup lama. Sedikit membuat Hazel merasa tak nyaman. Terkadang ia merasa tatapan Kael menjadi kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
DO OR DIE
HorrorHazel terpaksa pindah sekolah karena ayahnya bangkrut, dan posisinya di yayasan yang menaungi sekolah tempat ia mengenyam pendidikan, terancam. Oleh karena itu, ia memilih pindah sekolah, ke sebuah sekolah yang sudah berdiri cukup lama. Memiliki sik...