Semesta menghadirkan dia, untuk mencicipi pahit manisnya sebuah kehidupan. Dengan tubuh kurusnya yang babak belur di hajar pahitnya kenyataan. Dia di paksa agar terus berdiri menjulang, untuk menjadi pelindung bagi orang-orang tersayang.
Dia Karen...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Lo nggak boleh pergi!" Sekali lagi, Nada mengatakan hal yang sama kepada Nadikta. Saat ini mereka sedang beristirahat di sebuah penginapan dan sedang dalam pelarian. Rencananya, mereka akan pergi jauh ke sebuah desa terpencil yang sebenarnya sudah lama sekali menjadi terget utama pelarian Nada.
"Gue nggak akan kemana-mana." Dan balasan Nadikta tetap sama. Merasa lucu sekaligus patah hati kala melihat tatapan terluka Nada. "Udah, sekarang lo tidur."
"Nggak! Nanti kalau gue tidur, lo pasti bakal ninggalin gue. Gue nggak mau ...," Tangan Nada semakin erat menggenggam ujung jaket milik Nadikta. "Gue nggak mau sendirian, Nadikta. Hidup sendirian terlalu menakutkan buat gue." ucapnya, dengan lirih.
Saat ini, Nada sedang berbaring di kasur sedangkan Nadikta duduk di sebelahnya. Dan dari posisi ini, Nadikta bisa melihat dengan jelas profil wajah adiknya. Kedua mata Nada sembab karena tak berhenti menangis sejak semalam.
"Papa udah ke tangkap, sekarang lagi menjalani pemeriksaan." Nadikta nekat membawa topik sensitif ini ke dalam obrolan mereka. "Gue harap, hukum nggak akan takut lagi sama status Papa. Kalau pun kali ini masih belum berhasil, gue yakin, setidaknya pandangan dunia udah berubah ke Papa. Nggak akan ada tempat yang bisa menerima seorang pembunuh dan pembohong."
"Gue nggak peduli ...," Telah banyak rasa kecewa yang telah dirinya telan, sehingga rasanya kini tak ada lagi rasa sayang untuk papa. Nada tidak peduli pada apa yang akan laki-laki itu alami. Karena ketakutannya kali ini hanya satu, polisi akan menemukan keberadaan Nadikta.
"Nad, lo inget nggak, kalau besok hari ulang tahun kita?"
Bibir Nada bergetar saat melontarkan balasan, "Inget. Gue selalu inget. Biasanya, Mama bakal buatin kita kue dan kita rayain bertiga. Dulu, kita terlalu polos untuk nggak paham sama situasi antara Mama dan laki-laki yang sialnya jadi bokap kita itu. Ternyata selama ini, Mama selalu bohong dan melindungi kebohongan si brengsek itu!"
Mendengar kalimat itu, Nadikta justru tertawa. "Gitu-gitu juga, dia tetep bokap lo, Nad."
"Gue nggak sudi punya bokap pembunuh dan penipu kayak dia!"
"Tapi ... buah jatuh nggak jauh dari pohon nya, Nad. Gue juga bukan kakak yang baik. Nggak ada bedanya antara gue dan dia. Apa lo juga ... benci sama gue?" Tiba-tiba saja Nadikta merasa takut. Nada terlihat sangat membenci laki-laki itu. Lalu bagaimana pandangan Nada terhadapnya saat ini?
Nada menghela napas. "Kalau gue benci sama lo, nggak mungkin gue ajakin lo kabur sampai ke tempat ini, bego!" balasnya dengan emosi, tapi air matanya juga menetes tanpa tahu diri. "Nggak pernah terbesit sedikit pun di otak gue untuk benci sama lo, Dik. Karena gue cuma punya lo."
Tersenyum, tangan Nadikta lalu bergerak untuk mengusap kepala adiknya dengan lembut. "Gue lega denger nya," ucapnya. "Udah, sekarang tidur. Besok pagi kita masih lanjut perjalanan, 'kan?"
"Hm? Oke gue tidur, tapi lo jangan kemana-mana, janji? Jangan tinggalin gue sendirian."