─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
"WANNA date, Lili?"
Hangat mentari mendekap dunia penuh kasih usai semalam mengguyur bumi dengan dukanya. Hujan lebat luar biasa, penyiar berita bahkan memberi informasi bahwa tonggak listrik tumbang di sebuah kota hingga warga sekitar harus bersabar beraktivitas tanpa aliran listrik selama perbaikan berlangsung. Bersyukur, rumah, studio balet, kafe dan kampus tempat gadis beriris bulan sabit itu tidak terdampak, pun ia bisa bergerak tanpa hambatan apapun selain menghadapi bayi besar di hadapannya ini sekarang. Menarik napas pendek, cukup pening saat tangannya mengelap sisa makanan di meja, mengangkat piring-piring kotor ke atas nampan lalu melirik tidak acuh pada manusia jangkung nan senantiasa mengekori langkah si manis. Menyahut lugas kemudian, "Gue kerja, Darren."
"Abis kerja? Ya, ya, ya?"
"Gue janji mau ngajarin Nula matematikaㅡselamat sore!" Liliana memasang senyum ramah tatkala dua siswi SMA memasuki kafe. Ah, melihat gantungan kunci berkarakter kucing pada tas pelanggan tersebut mengingatkannya pada Narsha. Adiknya yanh satu itu senang sekali mengoleksi berbagai macam bentuk gantungan kunci. Sementara itu, Darren pasrah dan mau-mau saja di bebani satu nampang piring-piring kotor bekas pelanggan ketika Liliana menyambut pelanggan di meja kasir, sebab yang seharusnya menjaga tengah pergi membeli obat di apotek seberang jalan. Masih bersama senyum secantik bunga nan bermekaran tepat di depan kafe, ia bertanya ringan, "Mau pesan apa, Adek-adek?"
Namun alih-alih dua siswi nan melihat-lihat menu yang tergantung di dinding, justru Darren-lah yang menjawab, "Sebentar aja nggak bisa?"
Gadis tersebut menoleh galak, mengirim sinyal bahwa mereka akan melanjutkan perbincangan nanti lantaran kini sedang melayani pelanggan. Darren mengerang tertahan, suka tidak suka harus bersabar jauh lebih lama lagi, menunggu anak-anak SMA di sana menyebutkan pesanan, mengambil nomor meja dan duduk menunggu makanan mereka datang. Mendapati lawan bicaranya sudah memberikan secarik kertas berisi pesanan pada bagian dapur, laki-laki beriris mata hijau hazel tersebut kembali mengikuti langkah si manis. Seolah lelah dan letih tak pernah ada di kamus kehidupan pemuda jangkung itu. Sembari menjulurkan tangan guna membetulkan posisi jepit pita pada rambut manusia mungil di hadapan, ia kembali bersuara. "Betulan nggak bisa? Mau belajar bareng, Lili."
Liliana memejamkan mata sejenak, mengambil napas penat selagi mengurut pelipis. Keras kepala Darren ini memang tidak pernah berubah sejak pertama kali kenal. Ia mengerti benar bagaimana cara anak ini menjalani hidup, akan tetapi bukan berarti dia harus terus-menerus terjajah begini. Sang puan tentu saja tidak membenci, lebih tepatnya tidak sanggup juga membenci seseorang nan jelas-jelas tulus ketika mengulurkan tangan padanya. Pada zaman sekarang, menjumpai orang-orang setulus ini agak sulit, namunㅡ"Darren, gue serius. Jangan ngarepin apapun sama gue. Gue nggak bisa, sorry."
Darren sudah mendengar kalimat itu ratusan bahkan ribuan kali. Ia sampai hapal bagaimana intonasi tegas, raut wajah serius dan sorot mata yang seolah sedang membangun benteng antara mereka semakin tinggi secara tak kasat kata. Bahkan sensasinya tetap sama, perih dan jantungnya berdenyut kejam seakan-akan ia baru pertama kali mendengarnya. Kendati demikian, ini Darren. Darren Ezekias Vandamme. Penolakan terhadap afeksinya takkan pernah membuat usahanya luntur. Baik ketika mereka masih duduk di bangku kelas 7 SMP maupun hari ini. Menyunggingkan senyuman seolah pernyataan Liliana tidak memberikan efek apapun pada suasana hati, ia menimpali jenaka, setengah jahil juga bersama sebelah alis terangkat. "Padahal gue nggak ada nembak lo, lho, hari ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seasons of The Heart
RomanceHidup bagaikan drama. Terlebih lagi hidup satu atap dengan delapan orang saudari. Ia cukup mengerti kalimat ini. Pada intinya, Liliana memilih percaya pada sebait pendek tersebut. Fase pertumbuhan mirip dengan episode dalam kehidupan, atau barangka...