Bencana di Awal Rencana

721 82 3
                                    

Mimpi apa sih aku semalam? Hingga pagi ini dikejutkan dengan sebuah berita mencengangkan yang rasanya bisa membuatku terkena serangan jantung mendadak.

Aku benar-benar terkejut saat mendengar kabar dari mulut adik sepupuku tentang kabar tak mengenakkan mengenai calon suamiku.

Mataku yang tadinya berat karena semalaman menggantikan tugas jaga seorang teman di rumah sakit tempatku bekerja seketika langsung menyelang terbuka saat kalimat mulai meluncur dari bibir manis Luna.

"Mbak, lo tau nggak sih kemarin ada kejadian heboh di asrama. Gila! Ada perempuan datang nangis-nangis ke asrama nyari Mas Abra. Katanya dia hamil anak Mas Abra dan minta pertanggung jawaban. Heboh banget satu asrama Mbak, sampe dibawa ke kantor itu si perempuan biat ditemuin sama Mas Abra. Gila deh, dia teriak-teriak disana. Dia bilang susah nemuin Mas Abra, menghindar terus."

Aku tak bisa meragukan ucapan Luna, karena adik sepupuku ini tak pandai berbohong dan tidak suka mengarang cerita.

Beberapa tahun lalu Luna menikah dengan salah satu anggotan dari calon suamiku, Mayor Abraham Pramana. Dan Luna tinggal di asrama yang sama dimana Abraham tinggal. Tentunya tiap kejadian yang terjadi di lingkungan asrama tersebut tak akan luput dari pendengaran dan penglihatan Luna.

Aku tidak tau harus mengatakan apa setelah mendengar kabar mengejutkan ini dari Luna.

Jelas aku terkejut, tak habis pikir. Aku inginnya tak percaya begitu saja. Namun aku tak melihat ada raut bercanda ataupun kebohongan di wajah Luna saat menyampaikan kabar ini.

Apa yang harus ku lakukan? Otakku seketika rasanya tak bisa berfungsi dengan baik.

"Pernikahannya di cancle aja deh Mbak, Mas Abra ternyata Red Flag banget!" Luna kembali bersuara.

Aku menatapnya tak percaya.

"Lun, Gue nikah minggu depan! Tujuh hari lagi!" Aku terdengar sedikit histeris.

"Terus lo mau lanjutin pernikahan lo Mbak?! Gila aja!" Luna protes.

Aku segera mengambil ponselku, aku harus menghubungi Abraham sekarang juga. Kami perlu bicara. Aku harus bertanya mengenai kebenaran kabar yang dibawa oleh Luna.

Tapi tentu saja percuma, karena nomor ponselnya tak bisa dihubungi. Sebenarnya sudah sejak semalam pria itu sulit untuk dihubungi, tidak seperti biasanya.

Hal ini semakin membuatku yakin bahwa Luna tidak berbohong. Pasti ada yang disembunyikan oleh Abraham dariku.

Sepertinya keputusanku untuk menerima perjodohan yang disodorkan oleh Ayahku adalah sebuah kesalahan. Seharusnya aku tak mudah termakan bujuk rayu pria tua itu untuk dikenalkan dengan anak dari sahabat karibnya yang juga rekannya semasa menjalani pendidikan kedinasan.

"Bilang ke Pakde aja, Mbak. Atau biar aku deh yang cerita ke pakde soal kejadian di asrama kemarin."

Kepalaku berdenyut kencang. Aku yakin ayahku tak akan senang mendengar apa yang akan disampaikan oleh Luna.

Aku tau bagaimana ayahku begitu mendewakan Abraham dan telah menahbiskan bahwa Abraham adalah calon menantu idaman yang sudah lama ia nantikan.

Aduh, bagaimana aku akan mengatakan ini pada ayahku? Dan tak mungkin pula aku menyembunyikan berita ini darinya.

Aku tidak ingin Ayahku mengetahui hal ini dari orang lain yang bukan keluarga, dan aku yakin bahwa berita buruk seperti ini akan cepat tersebar. Lingkungan pekerjaan dan pergaulan ayahku berada dalam satu lingkup yang sama dengan Abraham. Tak akan ada yang bisa disembunyikan.

"Aku yakin pakde pasti akan batalin. Pokoknya aku bantu mbak ngomong sama pakde."

Luna terdengar begitu yakin. Tapi perasaanku malah jadi kian tak menentu.

Bicara dengan ayahku bukan perkara yang mudah, terlebih untuk hal seperti ini. Aku benar-benar tak bisa mengatakan apapun atau berfikir tentang apapun setelah semua yang ku dengar.

Isi kepalaku rasanya kacau sekali.

****

Cinta Tak Menemukan JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang