Bab 2 : Titik Awal

20 10 0
                                    

Sion duduk di meja makan dengan kedua orang tuanya, Luna dan Rizal, di hadapannya. Wajah mereka kaku, tanpa senyum yang menunjukkan keramahan atau kehangatan yang diharapkannya. Meskipun rumah itu adalah tempat tinggal barunya, tidak ada sedikit pun rasa nyaman yang ia rasakan.

"Mulai sekarang," Luna membuka percakapan dengan suara dingin. "Kamu harus mandiri. Kami tidak punya waktu untuk mengurus anak remaja yang tidak tahu bagaimana caranya merawat diri sepertimu."

Sion menunduk, mendengarkan dengan penuh perhatian, meski hatinya berkecamuk. Kalimat itu seperti pisau yang menusuknya, mengingatkan pada perasaan ditolak dan ketidakberdayaan yang tak pernah hilang.

"Kamu akan bangun pagi setiap hari untuk menyiapkan sarapan," Rizal menambahkan dengan nada tegas. "Dan setelah sekolah, kamu bertanggung jawab mencuci pakaian dan menjemurnya. Rumah ini harus tetap bersih, jadi kamu juga yang akan menyapu dan mengepel."

Sion mencoba menyerap semua aturan yang diberlakukan padanya. Tak ada ruang untuk keberatan, meski hatinya memohon ingin protes.

Luna melanjutkan, "Kamu juga harus belajar lebih giat. Jangan harap bisa main-main sepulang sekolah. Kamu sudah terlihat bodoh sejak kecil, dan kami tidak ingin melihat itu lagi."

Rasa marah dan sakit hati mulai memenuhi dada Sion, namun dia tetap berdiam diri. Emosi itu menumpuk seperti ombak besar yang siap menghantam, tapi ia tahu tak ada gunanya berbicara. Di rumah ini, suaranya tak berarti apa-apa.

"Dan kalau bisa, kamu harus mencari pekerjaan paruh waktu," Rizal menambahkan. "Kami tak akan menanggung semua biaya hidupmu. Sudah saatnya kamu belajar bertanggung jawab untuk dirimu sendiri."

Kepala Sion terasa berat. Aturannya seakan terus berputar-putar di pikirannya, mengingatkannya bahwa hidup di sini bukanlah kehidupan yang ia impikan.

“Sudah paham?” tanya Luna, memandangnya tajam.

Sion mengangguk pelan, bibirnya tak mampu mengeluarkan kata apa pun. Semuanya terasa seperti beban yang jauh lebih besar dari sekadar aturan rumah. Ini adalah beban yang akan menekannya setiap hari.

Setelah percakapan itu berakhir, Sion segera menuju ke kamarnya. Ruangan itu kecil, tak ada yang spesial selain beberapa barang-barang lamanya yang sudah diatur di sudut-sudut ruangan. Ia mulai membereskan barang bawaannya—menyusun pakaian di lemari, menaruh buku-buku di atas meja belajar, dan membersihkan lantai dengan sapu dan pel. Semua dilakukan dengan gerakan otomatis, seperti robot tanpa perasaan.

Namun, saat ia selesai dan hendak beristirahat, matanya tertuju pada sebuah bingkai foto di atas meja. Di dalamnya, ada foto kenangan bersama neneknya—momen saat mereka tertawa bahagia, makan jagung bakar di taman.

Air mata mulai menggenang di matanya lagi. Rasa nyeri di dadanya begitu kuat, seakan menekan paru-parunya. Sion berlutut di depan bingkai foto itu, tangannya menyentuh kaca bening yang melindungi kenangan indah tersebut. Seiring dengan itu, isak tangis pelan keluar dari bibirnya, meski dia berusaha keras menahannya.

"Maaf, Nek..." bisiknya dengan suara bergetar. "Aku sangat merindukanmu."

Tangisnya semakin dalam. Beban yang menumpuk di hatinya sejak kepergian neneknya, kini seolah meledak tanpa kendali. Rasa marah, sedih, dan kehilangan yang selama ini terpendam, semuanya bercampur menjadi satu. Sion meremas foto itu, seakan berharap bisa mengembalikan waktu, meski tahu itu mustahil.

"Sion minta maaf.. karena lemah.."

Air matanya jatuh membasahi lantai, mengalir tanpa henti. Hanya foto itu yang menjadi saksi dari seluruh rasa sakit yang tak terucapkan. Di ruangan yang sunyi itu, Sion merasakan kesepian yang begitu mendalam, seolah-olah seluruh dunia telah meninggalkannya, tak ada lagi yang peduli.

Di tengah tangisannya, hanya satu pikiran yang terus terulang 'ia sendirian sekarang, tanpa siapa pun yang benar-benar peduli'.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sibling ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang