Satu

45 0 0
                                    

"Ka-kalian?" Wajah Tari sangat syok ketika melihat sang kekasih sedang berciuman panas dengan wanita yang dianggap sebagai sahabat baiknya.

Tari baru saja pulang dari supermarket dan harus syok melihat pemandangan di depannya. Ya, kebetulan Irma yang dianggap sahabat oleh Tari sering menginap di apartemen pemberian Alan. Alan dan Tari sudah berpacaran kurang lebih hampir lima tahun. Gadis berwajah manis dengan kulit sawo matang itu tidak tahu jika sahabat dan kekasihnya menusuk dari belakang. Entah sejak kapan mereka melakukan hal ini pada Tari.

"Tar, jangan salah paham. Apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan saat ini." Irma sangat gugup dan berusaha merapikan lipstik yang saat ini berantakan.

"Salah paham? Sejauh ini mataku tidak pernah berbohong pada pemiliknya." Selesai mengatakan hal itu, Tari melirik ke arah Alan.

Lipstik Irma menempel di bibir Alan. Tari tersenyum miris saat ini, menertawakan kebodohannya. Ia terlalu percaya pada Irma yang seolah bersikap lugu. Tari lupa, cerita sahabat adalah maut bukanlah sekadar fiksi, tetapi ada di dunia nyata.

Ya, Tari kali ini dihadapkan dengan fakta menyakitkan, sang sahabat menjadi selingkuhan kekasihnya sendiri. Alan bukan tidak mencintai Tari, hanya saja merasa bosan. Tari tidak pernah mau diajak tidur. Berbeda dengan Irma yang dengan suka rela menyerahkan mahkotanya beberapa bulan yang lalu.

"Baiklah ... kamu harus tahu, Tar. Aku sama Mas Alan memang menjalin hubungan. Saat ini aku bahkan hamil anaknya," kata Irma tidak tahu malu sama sekali.

Alan langsung melotot ke arah wanita yang saat ini sedang mengusap perut yang masih tampak datar itu. Apa-apaan ini? Irma seolah merasa menang dan sangat bangga karena berhasil merebut kekasih sahabat baiknya itu. Tanpa Tari, hidup Irma pasti akan berakhir di jalanan.

"Apa?!" Alan membentak Irma dengan nada keras.

"Kalian selesaikan saja masalah kalian. Aku tidak akan ikut campur." Tari menundukkan wajah dan menjatuhkan air mata ke lantai. "Aku pamit," kata Tari dan dengan cepat membalik tubuhnya saat ini.

"Tar, aku bisa jelaskan. Aku ...." Tari menghempas kasar tangan milik Alan dan langsung berlari keluar dari unit apartemen itu.

Tari langsung menuruni tangga dan pergi secepat mungkin. Ia masih punya sisa uang dari belanja mingguan tadi. Sial! Ia sangat membenci situasi seperti ini. Mengapa harus Tari yang mengalami?

Alan berusaha mengejar Tari, tetapi kehilangan jejak. Wanita berwajah manis itu seolah mendadak seperti hilang ditelan bumi. Alan berusaha mencari di parkiran mobil, nihil. Tari tidak ada di sana.

"Udahlah, Mas. Tari butuh waktu untuk menerima semua ini," kata Irma yang ikut menyusul Alan ke parkiran apartemen ini.

"Kamu harusnya nggak usah ngomong kaya gitu ke Tari. Aku emang ada niat buat kasih pengertian sama Tari. Tapi, bukan dengan cara seperti ini," kata Alan merasa kesal dengan sikap Irma yang dianggap membuat kacau semuanya.

Melihat wajah Tari berlinang air mata, dada Alan mendadak sesak. Benarkah ia bosan dengan sikap Tari? Sungguh, zaman sekarang sangatlah langka jika ada gadis yang masih mempertahankan mahkota berharganya. Tari hanya mau melakukan hubungan intim ketika sudah menikah saja.

Terdengar kuno, tetapi prinsip Tari sangatlah kuat. Dibandingkan Irma, kekasih Alan itu lebih banyak kelebihan. Baskara--Papa Alan bahkan sudah memberikan lampu hijau pada hubungan mereka yang saat ini sudah berakhir. Ya, Tari jelas akan dengan cepat memutuskan hubungan itu.

"Gila! Emang aku harus gimana? Toh, cepat atau lambat, Tari akan tahu. Emang cara tahunya menyakitkan. Oh, ayolah, kamu udah janji bakal nikahin aku," kata Irma menagih janji pada Alan.

Alan menatap sengit pada Irma yang saat ini seperti sedang memojokkan.

Pukul dua dini hari, Tari baru saja pulang ke apartemen, setelah sesaat menghilang. Bukan menghilang, Tari hanya butuh sendiri. Tidak mudah bagi Tari menghadapi masalah ini. Beruntung, besok adalah hari Sabtu, ia tidak perlu datang ke kantor. Ya, tari bekerja di salah satu bank swasta sejak hampir empat setengah tahun yang lalu.

Tari tidak langsung tidur setelah sampai di apartemen. Ia mengemas semua barang-barang miliknya. Tari tidak mau lagi tinggal di apartemen ini. Ia merasa jijik karena Irma mengirimkan beberapa video saat berhubungan intim dengan Alan di apartemen ini.

Sementara itu, Alan tidak bisa tidur. Ia terpaksa pulang karena sang Papa menghubunginya kemarin sore. Ada acara makan malam bersama dan Alan dikenalkan pada seorang wanita. Ya, wanita yang kesekian kalinya dikenalkan sebagai calon ibu sambung itu tidak ada satu pun yang disetujui oleh Alan.

'Tar ... kamu di mana sih?' Alan hanya bisa bergumam dalam hati saja saat ini.

Entah pukul berapa, Alan pun akhirnya memenjamkan mata. Hingga suara dering ponsel membuat Alan terkejut saat ini. Satu nama yang tampak pada layar benda pipih itu. Irma, pagi ini wanita itu menghubunginya.

"Apaan sih, Ir? Aku baru saja tidur."

Suara serak Alan menunjukkan jika dirinya belum sepenuhnya sadar. Alan kembali merebahkan tubuh kembali. Mata elang itu masih sangat mengantuk. Alan masih mendengar suara helaan napas Irma pada sambungan telepon.

"Aku lihat Tari meninggalkan apartemen pagi ini."

"Apa?!"

"Itu bagus. Aku bisa tempati apartemen itu, 'kan? Lagian aku capek kalo harus ngekos. Nggak bebas kalo kamu datang, Sayang."

"Enggak. Nggak bisa gitu. Apartemen itu udah atas nama  Tari. Kamu nggak bisa sesuka hati tinggal di sana. Ingat, jangan pernah lancang!"

Alan langsung mematikan sambungan telepon itu. Ia membanting benda pipih itu ke sisi kasur lain. Alan mengusap wajah dengan kasar. Kepalanya kali ini berdenyut sangat nyeri karena menahan rasa kantuk yang luar biasa. Sepagi ini di hari Sabtu, Alan sudah keluar dan mengendarai mobil.

"Alan mau ke mana itu, Mbak?" tanya Baskara saat melihat sang anak sudah rapi dan mengendarai mobil.

"Wah ... kurang tahu, Tuan. Mungkin mau olah raga di area CFD atau yang lainnya," kata salah satu asisten rumah tangga di rumah Baskara.

Baskara hanya manggut-manggut meski tidak sepenuhnya percaya. Rasanya mustahil jika sang anak mau berolah raga sepagi ini. Baskara hanya khawatir jika Alan ada masalah. Kadang, sang anak tidak mau bercerita dan memilih diam.

"Mbak, apa setelah acara makan malam, Alan tampak baik-baik saja? Maksud saya, apa dia di atas langsung ke kamar atau masih keluar lagi?" tanya Baskara ingin memastikan bagaimana sang anak.

"Semalam, Tuan Alan langsung masuk kamar. Tapi, saya nggak tahu, Tuan Alan langsung tidur atau masih melakukan sesuatu di kamarnya," jawab sang asisten dengan sopan.

"Terima kasih, Mbak. Artinya Alan di rumah dan nggak ke bar tadi malam," kata Baskara sedikit lega dengan sikap sang anak.

Maraton baca di KBM APPS sudah bab 7

Wanita Simpanan BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang