Dua

3 0 0
                                    


Tari saat ini memutuskan tinggal di salah satu hotel di pinggiran kota. Ia telah meninggalkan semua pemberian Alan. Rasanya sangat tidak sebanding dengan sakit hari dan trauma yang diberikan oleh mereka berdua. Mengapa? Pertanyaan itu masih saja berputar di kepala Tari tanpa tahu jawabannya apa.

Kepala Tari mulai berdenyut, harus segera memejamkan mata. Ia tidak kuat setelah hampir dua puluh dua jam tidak memejamkan mata sama sekali. Setelah kejadian itu, Tari seolah dipaksa berpikir banyak hal. Apa yang ada dipikiran Alan dan Irma? Apa mereka tidak tahu bagaimana sakitnya berada di posisi Tari?

Sementara itu, gegas, Alan segera membuka pintu apartemen milik Tari. Nihil, lampu sudah dimatikan semua. Tari tidak suka gelap, tetapi tak satu pun lampu yang menyala. Kamar yang biasa dipakai Tari pun kosong. Hati Alan mencelos saat melihat beberapa benda pemberiannya untuk Tari tertata rapi di atas meja rias wanita berwajah manis itu.

Sudah bisa dipastikan jika Tari pergi. Alan mengusap wajah dengan kasar saat ini. Ia merasa sangat bodoh karena terlalu gegabah. Ah, ya, tetapi Alan selalu menikmati tubuh molek Irma.

Alan merogoh ponsel dan langsunf menghubungi Tari. Nihil, operator yang menjawab panggilan itu. Alan berusaha mengirim pesan, sama saja, hanya centang satu. Alan lantas mengecek media sosial milik Tari; hasilnya sama.

Tari dan semua tentangnya seolah hilang bak ditelan bumi. Media sosial Tari mendadak tidak aktif, atau Alan yang diblokirnya. Laki-laki berkulit kuning langsat itu kini mulai sangat frustasi. Menyesal? Entahlah, nyatanya hati Alan sudah terbagi saat ini.

Dering ponsel membuat Alan mengembuskan napas kasar. Lagi dan lagi, Irma yang menghubungi. Alan menerima panggilan itu dengan malas. Embusan napas kasar langsung bisa terdengar ke telinga Irma.

"Kamu di mana?"

"Ck! Aku ada urusan. Kamu ngapain sih?!"

Nada tidak bersahabat keluar begitu saja dari mulut Alan yang saat ini sedang ingin sendiri. Ia tahu, Irma pasti akan mengajaknya keluar karena hari ini akhir pekan. Ya, seperti jadwal yang biasa mereka lakukan. Alan selalu berbohong kepada Tari perihal kencan gila mereka.

"Kita keluar, yuk. Aku suntuk."

"Keluar saja sendiri!"

"Ini kok aku nggak bisa buka apartemen milik Tari. Apa dia ganti kode masuknya?"

"Maksud kamu apa?"

Alan mengernyit bingung saat mendengar ucapan Irma saat ini. Ia baru saja mengganti kode masuk pintu apartemen Tari. Alan punya kartu cadangan agar bisa masuk. Entah dari mana Irma juga mendapatkan kartu yang sama dengan Tari.

"Aku mau pakai apartemen milik Tari, tapi ini nggak bisa masuk. Masa gitu aja kamu nggak paham."

Alan mematikan sambungan telepon itu secara sepihak. Kini, ia tahu di mana keberadaan Irma. Alan tidak akan keluar hingga wanita itu pergi. Semua mendadak berubah saat ini, semua terjadi begitu saja.

"Halo, halo!"

Irma menatap nanar benda pipih yang ada di tangan kanan. Alan sudah mematikan sambungan telepon. Ia pun mengeram, menahan amarah yang luar biasa. Irma merasa punya hak untuk tinggal di apartemen. Tari bahkan dulu mendapatkan semua fasilitas mewah dari Alan yang notabene anak seorang konglomerat.

Sementara itu, mata Tari perlahan terbuka. Ia terbangun dari tidur dan mengerjab beberapa kali. Beberapa kali mencoba melupakan, tetap saja pemandangan menjijikan itu akan selalu ada. Di mana salah Tari selama ini?

"Permisi, maaf, saya dari hotel. Ada makanan. Ini mau ditaruh di mana, Bu?" tanya pelayan wanita paruh baya itu dengan ramah.

"Oh, di meja saja. Nanti saya baru akan makan." Tari berusaha beranjak dari duduknya.

Tari langsung duduk lalu berdiri untuk menyambut kedatangan pelayan hotel itu. Ia lantas membuka dompet dan memberi tips pada pegawai itu. Pegawai wanita paruh baya itu lantas mengucapkan terima kasih. Selepas pegawai hotel keluar, Tari segera mengunci pintu kamar.

Pukul tujuh malam, Tari memutuskan untuk keluar dari kamar hotel. Ia tidak pergi jauh hanya di sekitar hotel saja. Ia tidak suka dengan makanan yang disediakan oleh pihak hotel. Saat hati tidak baik-baik saja, Tari biasanya cenderung akan makan makanan yang pedas.

"Tari?" Suara bariton itu membuat Tari menghentikan langkah.

Tari jelas tahu siapa pemilik suara bariton itu. Terpaksa, ia harus menoleh dan tersenyum pada laki-laki paruh baya itu. Baskara--papa Alan ada di hotel ini bersama dengan seorang wanita. Tari tampak sungkan saat ini.

"Kamu di sini? Alan mana?" tanya Baskara yang mencoba mencari keberadaan sang putra yang memang belum pulang sejak pagi.

"Hah! Oh, bagaimana?" tanya Tari sangat gugup ketika ditanya perihal laki-laki penghianat itu.

Wajah Tari langsung berubah sendu saat mendengar nama sosok laki-laki yang baru saja menyakiti hatinya itu. Mengapa harus secepat itu mendengar namanya kembali? Atau semesta sedang bercanda pada Tari? Rasanya wanita berwajah manis itu ingin lari sejenak dari kenyataan yang ada.

"Kamu baik-baik saja, Tari?" Baskara tampak mencemaskan wanita muda yang akan menjadi calon menantunya. "Sin, kita papah tari dulu ke kursi itu," lanjut Baskara sambil menunjuk salah satu kursi yang ada di lobby hotel.

Rasanya seperti mimpi saat ini, bahkan untuk melupakan sejenak tentang rasa sakit saja, Tari kesulitan. Mengapa harus ada Baskara dan Sintia di sini? Mereka tidak dekat sejauh ini. Tari hanya menghormati Baskara sebagai papa dari sang kekasih dan tidak lebih dari itu. Wanita bernama Sintia itu tampak kesal saat ini.

"Mas ... ngapain sih? Dia udah dewasa, lagian ada Alan pastinya. Acara makan malam kita jadi terganggu." Sintia mulai merajuk pada Baskara saat ini.

"Tari ... kamu datang ke sini sendiri atau dengan Alan? Atau kalian sedang bertengkar?" Tebakan itu rasanya tepat dan memang sedang bertengkar.

"Tidak, kami tidak bertengkar. Saya hanya ingin menginap saja di sini. Kadang, saya ingin melepas penat setelah banyaknya pekerjaan di kantor," kata Sintia sambil mendongak dan berusaha menatap Baskara.

Baskara tampak mengembuskan napas kasar saat ini. Mereka jelas ada masalah. Entah seberat apa masalah itu, Baskara yakin, Alan pasti membuat kesalahan fatal. Tari bukan perempuan yang akan kabur jika ada masalah.

"Sudah dengar, 'kan? Pacar anak kamu hanya ingin healing sejenak dari rutinitas kerja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan saat ini," kata Sintia dengan ketus.

"Itu benar, Om. Saya hanya ingin menyendiri," kata Tari memberikan dukungan pada Sintia.

"Baiklah. Gini saja, kamu ikut kami makan malam bersama. Nanti biar saya yang hubungi Alan agar ikut bergabung," kata Baskara sambil merogoh saku jas yang dipakainya.

Tari langsung memegang tangan Baskara. Ia tidak ingin laki-laki yang usianya hampir menginjak lima puluh lima tahun itu menghubungi Alan. Sungguh, hati Tari mendadak sangat kacau. Tatapan tidak suka Sintia membuat Tari segera melepaskan tangannya.

"Tidak usah, Om. Saya memang pengen sendiri saja." Tari berusaha tersenyum lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan lobby hotel ini.

Bersambung

Yuk marathon baca di KBMAPPS, di sana sudah 11 bab.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Wanita Simpanan BosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang