Malam itu, saat Emily perlahan terlelap, dia merasakan sesuatu yang aneh. Mimpi-mimpinya mulai dipenuhi oleh kilasan ingatan yang tidak familiar—gambar-gambar yang bukan miliknya. Seorang anak kecil berlari melintasi padang rumput, tertawa lepas. Suara air sungai yang mengalir deras, dan seseorang—entah siapa—berdiri di pinggirnya, memanggil nama "Aaron" dengan penuh rasa cemas.
Emily terbangun dengan keringat dingin. Ingatan-ingatan itu terasa sangat nyata, seolah-olah dia benar-benar mengalami setiap momen. Dia terhuyung-huyung bangun dari tempat tidur, menuju cermin di kamar Marcus. Wajah Emily yang dia lihat di sana, tapi dalam pikirannya, dia bisa merasakan dua keberadaan: dirinya sebagai Emily dan bayangan samar dari Aaron.
Hari berikutnya, Marcus memutuskan untuk membawa Emily menemui seorang kenalannya, seorang wanita tua bernama Sienna yang, menurut Marcus, memiliki pengetahuan mendalam tentang hal-hal mistis. Mereka tiba di rumah Sienna yang terpencil, di pinggir hutan. Rumah itu penuh dengan jimat-jimat, lilin-lilin, dan simbol-simbol kuno yang tergantung di dinding.
Sienna menyambut mereka dengan senyuman misterius. "Jadi, kau adalah Emily," katanya, menatap Emily dengan mata yang seolah menembus jiwanya. "Aku sudah mendengar tentang ini dari Marcus. Tapi izinkan aku melihat lebih jauh."
Sienna mengajak Emily duduk di sebuah kursi kayu yang dipenuhi ukiran-ukiran aneh, lalu menutup matanya dan mulai bergumam. Suara gumaman Sienna membawa keheningan mendalam di dalam ruangan, dan perlahan, Emily merasa dirinya seperti tenggelam dalam pusaran cahaya dan bayangan.
Tiba-tiba, suara Sienna memecah keheningan. "Jiwamu tidak seharusnya berada di sini," katanya tajam, matanya terbuka. "Ada dua energi yang saling bersaing di dalam dirimu. Ini bukan tentang takdir, Emily. Ini tentang pilihan."
"Pilihan?" Emily bertanya, bingung.
"Ya," jawab Sienna. "Jiwa yang kuat selalu punya pilihan. Kau terjebak dalam tubuh ini karena suatu kesalahan. Tapi sekarang, kau bisa memilih: tetap sebagai Emily, atau kembali menjadi Aaron. Tapi ingat, setiap pilihan punya konsekuensinya."
Emily merasa tenggorokannya mengering. Selama ini dia ingin jawaban, tapi sekarang ketika jawaban itu datang, dia tidak tahu harus merespons bagaimana. Hidup sebagai Emily memberinya kesempatan untuk menemukan sesuatu yang baru, kebebasan yang tak pernah dia alami sebagai Aaron. Tapi, meninggalkan identitas aslinya juga bukan hal yang mudah.
"Bagaimana aku bisa memilih?" tanyanya, suaranya hampir berbisik.
Sienna tersenyum samar. "Itulah pertanyaannya. Pilihan itu tidak hanya datang dari pikiranmu, tetapi juga dari hatimu. Kau harus menghadapi dirimu sendiri, Emily—atau Aaron—untuk tahu apa yang benar-benar kau inginkan."
Marcus menatap Emily dengan tatapan prihatin. "Apa pun yang kau pilih, aku akan ada di sini untuk membantumu."
Emily menarik napas dalam-dalam, menyadari betapa beratnya keputusan yang akan dia buat. Dengan liontin di tangan dan dunia di depan mata, dia tahu satu hal pasti: ini adalah perjalanan yang hanya dia yang bisa menyelesaikannya. Dan waktu untuk memilih semakin dekat.
Malam itu, Emily duduk sendirian di tepi jendela kamar yang disediakan Marcus. Angin malam berembus pelan, membawa suara dedaunan yang berbisik. Di tangannya, liontin yang dia ambil dari kotak Marcus berkilauan samar di bawah cahaya bulan. Segala sesuatu yang dia pelajari hari itu membuat pikirannya berkecamuk. Sienna mengatakan bahwa dia harus memilih, tapi bagaimana bisa dia membuat keputusan sebesar itu?
Pikirannya terus berputar antara dua realitas—hidupnya sebagai Aaron dan hidupnya sebagai Emily. Di satu sisi, Aaron adalah dirinya yang sejati, identitas yang telah dia bangun selama bertahun-tahun. Tapi di sisi lain, hidup sebagai Emily telah memberinya kebebasan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Sebagai Aaron, dia selalu merasa terbebani oleh harapan dan tanggung jawab, sementara menjadi Emily membukakan pintu-pintu baru yang penuh peluang.
Namun, sebelum dia bisa tenggelam lebih jauh dalam pikirannya, sebuah kilasan lain menghantam benaknya. Kali ini, ingatan itu jauh lebih jelas—Aaron, berdiri di tepi danau dengan Marcus di sisinya. Mereka memegang sesuatu, sebuah buku tebal dengan simbol-simbol yang tidak dikenalnya. Mereka berdua terlihat serius, dan suara Marcus terdengar samar, “Ini adalah satu-satunya cara, Aaron. Kita harus mencoba.”
Emily tersentak kembali ke realitas. Napasnya memburu. Itu bukan sekadar mimpi—itu adalah ingatan yang terpendam dari Aaron. Di situlah semuanya bermula. Di danau itu. Mereka berdua telah melakukan sesuatu yang sangat salah, sesuatu yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini.
Dengan tekad yang semakin kuat, Emily tahu dia harus kembali ke danau itu. Di sanalah kunci dari semuanya, di tempat di mana semuanya dimulai. Dia harus menemukan apa yang sebenarnya terjadi, dan mungkin, menemukan cara untuk menyelesaikan semuanya.
Keesokan harinya, Emily mengajak Marcus untuk pergi ke danau. Marcus tampak ragu, namun setelah beberapa saat, dia akhirnya setuju. Mereka berkendara selama beberapa jam menuju danau, di mana ingatan terakhir Aaron kembali memenuhi pikiran Emily. Begitu mereka tiba, suasana di sana terasa sunyi dan mencekam. Air danau yang tenang memantulkan langit abu-abu di atasnya, dan di tepi danau, Emily bisa merasakan kehadiran masa lalu yang hampir seperti menghantui.
"Aku ingat," kata Emily, memecah keheningan. "Di sinilah kita melakukan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang kita lakukan, tapi aku tahu inilah awal dari semuanya."
Marcus mengangguk perlahan. "Kita berusaha membuka sebuah portal, sesuatu yang memungkinkan kita mengalihkan jiwa. Itu seharusnya hanya eksperimen, tidak ada yang berbahaya. Tapi kita tidak tahu apa yang kita hadapi. Energi di tempat ini... itu lebih kuat dari yang kita bayangkan."
Emily berjalan ke tempat di mana dia yakin mereka pernah berdiri, tempat di mana ingatan itu terasa paling kuat. Dia berjongkok dan mulai menggali di tanah dengan tangan kosong. Marcus mengawasi dengan cemas, tetapi membiarkan Emily melanjutkan. Setelah beberapa menit, jari-jari Emily merasakan sesuatu yang keras. Sebuah kotak kayu kecil, mirip dengan yang dia temukan sebelumnya.
Dengan hati-hati, dia membuka kotak itu. Di dalamnya, terdapat buku yang sama seperti dalam ingatannya—buku tebal dengan simbol-simbol aneh di sampulnya. Hawa dingin menyelimuti Emily saat dia menyentuh buku itu. Marcus tampak kaget.
"Buku itu..." Marcus berbisik, "aku pikir kita telah kehilangannya."
Emily membalik beberapa halaman buku tersebut, membaca mantra-mantra yang tidak dia mengerti. Setiap halaman terasa seperti mengandung kekuatan, sesuatu yang besar dan tak terduga. Hingga dia sampai pada halaman terakhir, di mana ada satu catatan yang ditulis dengan tangan—oleh Aaron.
"Jika kau membaca ini, maka kau sudah tahu apa yang terjadi. Ini bukan kecelakaan. Ini bukan kesalahan. Kau harus memilih, dan ingatlah, tidak ada jalan kembali."
Emily tertegun. Catatan itu terasa seperti pesan dari masa lalu yang hanya bisa dia pahami sekarang. Tidak ada penjelasan lebih lanjut, hanya peringatan yang dingin.
Marcus melangkah maju, menatap buku itu dengan rasa takut dan penyesalan. "Kita tidak seharusnya bermain-main dengan ini. Kita mengira kita bisa mengendalikan kekuatan yang lebih besar dari kita, tapi kenyataannya, kita hanya menciptakan kekacauan."
Emily menutup buku itu dengan hati-hati, lalu menatap Marcus. "Ini adalah akibat dari keputusan kita dulu. Sekarang aku harus membuat keputusan lain."
Dengan liontin yang masih tergenggam erat di tangannya, Emily tahu apa yang harus dia lakukan. Ini bukan hanya tentang menemukan cara untuk kembali atau tetap sebagai Emily. Ini tentang memahami bahwa kekuatan yang dia hadapi bukanlah sesuatu yang bisa dia hindari, melainkan sesuatu yang harus dia kendalikan.
Dia menatap Marcus dengan tatapan penuh tekad. "Aku akan memilih. Tapi kali ini, aku yang memegang kendali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Am I Turning Into a Girl?
ActionPagi itu, Aaron terbangun dengan perasaan yang aneh. Ia meraba wajahnya yang halus dan lentur, tak seperti biasanya yang kasar dan berjenggot. Kamar tidurnya pun tampak berbeda, lebih feminin dengan dekorasi bunga-bunga dan nuansa pastel. Dia tak ta...